Jumat, Maret 29, 2024

Warna-warni Kebijakan Perikanan dan Kelautan yang Berkelanjutan

Firdarainy Nuril Izzah
Firdarainy Nuril Izzah
Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Peminatan studi pada Tata Kelola Sumberdaya Alam, dan Lingkungan.

Sebagai negara maritim, indonesia menyimpan segudang kekayaan sumberdaya perikanan. Secara logika, sudah seharusnya Indonesia telah lama menjadi poros maritim dunia. Tetapi ini masih menjadi mimpi di bawah era Jokowi bahkan dalam dua periode sekalipun. Karena kenyataannya, produksi perikanan Indonesia, baik tangkap maupun budidaya masih berada di bawah negara yang tidak memiliki lautan seluas Indonesia.

Berdasarkan laporan BPS tahun 2021, potensi besar kelautan dan perikanan (KP) pun ternyata baru mampu berkontribusi 2,83 persen dari total PDB Indonesia. Tidak hanya itu, masalah kesejahteraan nelayan pun masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.

Berdasarkan pembagian sifat barang menurut Hess dan Ostrom (2003), ikan di lautan lepas dikategorikan sebagai common good yang memiliki sifat non excludable dan rivalrous untuk memperolehnya. Kesalahpahaman yang menganggap bahwa ikan adalah renewable energy sehingga setiap orang melakukan eksploitasi untuk mengejar keuntungan yang mendorong terjadinya open access.

Dengan demikian, ramalan “The Tragedy of The Commons” milik Garet Hardyn (1968) dapat terjadi sewaktu-waktu, yakni ketika wilayah laut tidak dapat dikelola dengan baik dan setiap orang bebas memanfaatkan tanpa ada upaya pelestarian, maka selanjutnya dapat berakibat pada kerusakan lingkungan dan kelangkaan. Kegagalan tata kelola wilayah laut berimplikasi pada melanggengnya praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU-F) yang tentunya merugikan produksi ikan dalam negeri.

Sistem Kuota Perikanan

Langkah keras penanganan IUU-F dengan sanksi administratif hingga pidana, bahkan ancaman penenggelaman kapal dilakukan sejak dijabatnya MenKKP oleh Susi Pudjiastuti. Selama satu tahun sejak diberlakukannya teriakan “Tenggelamkan” telah ada setidaknya 488 kapal eks-asing teridentifikasi IUU-F yang akhirnya benar-benar ditenggelamkan. Sementara di bawah kepemimpinan MenKPP Sakti Wahyu Trenggono, saat ini pemberantasan praktik IUU-F dilakukan melalui kebijakan perikanan berbasis kuota yang disampaikan dalam pidatonya pada Scotish Event Campus (SEC) di Glasgow tahun 2021.

Kuota tersebut ditentukan berdasarkan hasil kajian stok ikan oleh Komnas Kajiskan bersama organisasi pengelolaan ikan regional (RFMO). Selain itu, kebijakan ini juga akan didukung dengan pemberlakukan zonasi Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang membagi ke dalam tiga zonasi, yakni zonasi penangkapan ikan berbasis kuota, non kuota, dan penangkapan ikan terbatas.

Permasalahannya adalah sampai detik ini masih banyak wilayah yang belum memiliki rencana zonasi pesisir. Desentralisasi pengelolaan KP yang diharapkan meningkatkan pengawasan wilayah, kenyataannya tidak menjamin pemerintah daerah dapat bergerak mandiri. Untuk itu, pencanangan zonasi WPPNRI perlu dilakukan terlebih dahulu dengan pembenahan zonasi pesisir serta peningkatan kapasitas daerah.

Mengacu pada pendapat Arif Satria dalam bukunya yang berjudul “Politik Sumber Daya Alam” untuk menilai baik atau tidaknya suatu kebijakan maka perlu mempertimbangkan tiga hal, di antaranya dasar teori yang melatarbelakangi kebijakan tersebut, pengalaman penerapan oleh negara-negara lain, dan pertimbangan atas kondisi dalam negeri. Menariknya, dalam sisi input, sistem kuota perikanan telah dilakukan dengan penerapan pembatasan jumlah armada. Sementara kebijakan kuota perikanan yang dimaksud adalah melalui sisi output, yakni tentang berapa banyak jumlah ikan yang bisa ditangkap secara legal yang mana penerapannya masih terbatas oleh negara-negara maju.

Negara Uni Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Kanada diketahui telah lama menerapkan sistem kuota untuk memastikan keberlanjutan sektor perikanan tangkapnya.  Tidak seragam, namun sistem kuota yang diterapkannya memiliki perbedaan.  Norwegia memilih model Individual Vessel Quota (IVQ) yang melarang pengalihan kuota, sementara Australia dan Selandia Baru dengan Individual Transferable Quota (ITQ) yang bisa diperdagangkan. Kritik John Parslow (2010) atas model ITQ yang berpotensi pada manipulasi tangkapan dapat dijadikan sebagai pertimbangan.

Keberhasilan negara maju dalam menerapkan sistem kuota perikanan masih perlu penyesuaian untuk dapat diimplementasikan di negara berkembang seperti Indonesia. Sistem Informasi dengan tersedianya data presisi merupakan prasyarat untuk dapat merekam aktivitas pengusaha ikan dengan baik, sehingga jumlah tangkapan memenuhi aturan.

Agar sistem kuota ini berjalan dengan baik, maka sanksi tegas terhadap over-kuota juga diperlukan. Selain itu, usulan buyback milik Lee G. Anderson perlu disiapkan jika Indonesia menganut model IVQ. Terakhir yang terpenting adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan secara adil. Jangan sampai ini dijadikan alat dominasi pihak berkuasa atas sumberdaya sehingga menyebabkan tragedy of enclosure (Forsyth, 2004).

Integrasi Tata Kelola Lokal-Nasional

Seperangkat aturan seperti sistem kuota tidak cukup untuk menjamin keberlanjutan. Beragamnya aktor yang berkepentingan sehingga memerlukan kerjasama untuk menyatukan visi KP yang berkelanjutan. Model pengelolaan kolaboratif dapat menajdi solusinya. Jauh sebelum regulasi resmi dibentuk, masyarakat dengan kearifan lokal telah lama menerapkan sistem pengelolaan sumberdaya pesisir secara lestari. Misalnya di Maluku dengan Sasi Laut, di NTB dengan Awig-Awig, dan di Aceh dengan Panglima Laot.

Panen Teripang dengan Awig-Awig
https://darilaut.id/berita/memadukan-kearifan-lokal-awig-awig-dan-restocking-teripang

Adanya kearifan lokal semacam ini tidak harus terhapus dan digantikan dengan peraturan nasional. Menanggapi hal ini, KKP-RI telah berupaya mengintegrasikan keduanya, misalnya integrasi zona Sasi dalam SAP Kepulauan Waigeo yang dilegitimasi melalui KEPMEN-KP Nomor 60/2014. Namun transformasi ekonomi dan politik lokal perlu diperhatikan untuk memastikan sistem sasi dapat terus berjalan efektif. Pasalnya, intervensi ekonomi ekstraktif dan penyeragaman desa dalam peraturan daerah cenderung menimbulkan polemik dimana kekuasaan pemegang sasi terancam hilang dan sistem sasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kebijakan tertulis yang dilegitimasi pemerintah hanyalah salah satu instrumen dalam kompleksitas tata kelola wilayah laut dan pesisir. Kerjasama multipihak menjadi penentu efektivitas suatu kebijakan yang juga merupakan kunci keberhasilan tata kelola. Inklusivitas implementasi kebijakan diperlukan untuk mencapai harmonisasi 3P (people, planet, dan profit) dalam sustainability dapat tercapai.

Referensi

Anderson, L.G. (1985). Potential Economic Benefits from Gear Restrictions and License Limitation in Fisheries Regulation. Land Economics, 61(3), 409-18. https://www.jstor.org/stable/3146158.

Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Science, 162(3859), 1243–1248. http://www.jstor.org/stable/1724745.

Hess, C., Ostrom, E. (2003). Ideas, Artifacts, and Facilities: Information as a Common-Pool Resource. Law and Contemporary Problems, 66(1–2), 111–146. http://www.law.duke.edu/journals/66LCPHess.

Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology: The Politics of Environmental Science. London: Routledge.

Parslow, J. (2010). Individual Transverable Quotas and The “Tragedy of The Commons”. Canadian Science Publishing, 67(1), 1889-1896.

Satria, A. (2019). Politik Sumber Daya. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Firdarainy Nuril Izzah
Firdarainy Nuril Izzah
Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Peminatan studi pada Tata Kelola Sumberdaya Alam, dan Lingkungan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.