Ada kebiasaan menarik dari penduduk yang tinggal di Kepulauan Solomon: Meneriaki pohon.
Untuk apa? Untuk menebang pohon yang mengganggu. Jika pohon itu terlalu besar, kayunya keras, sulit ditebang, mereka meneriaki pohon tersebut. Itulah cara mereka mematikan pohon yang akarnya sangat kuat, batangnya keras, dan sulit ditebang.
Praktiknya: beberapa orang yang fisiknya kuat dan sehat memanjat pohon sampai atas. Ketika sampai di atas pohon, bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka berteriak sekuat-kuatnya. Mereka berteriak selama berjam-jam tiap hari, selama kurang lebih empat puluh hari.
Apa yang terjadi kemudian pada pohon itu, sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki perlahan-lahan daunnya mengering. Setelah itu dahan-dahannya rontok. Perlahan, pohon ia mati. Dan mudah ditumbangkan.
Apa yang dilakukan penduduk Kepulauan Solomon itu, bisa jadi pelajaran.
“Jangan suka berteriak di hadapan makhluk hidup. Apalagi anak-anak. Mereka akan mati. Mungkin bukan fisiknya yg mati seperti pohon besar di Kepulauan Solomon, tapi jiwanya yang mati.”
Saya masih ingat waktu kecil di SD punya teman. Namanya Samaun. Tiap hari ibunya berteriak, marah-marah kepadanya. Bahkan sering dilempar sendal, digebuk, dan macam-macam. Kalau sudah begitu, Samaun pun lari.
Apa yang terjadi kemudian? Setelah Samaun besar, umur 17-an ia adi anak nakal. Terus jadi preman. Suka merampok dan membunuh orang. Ia sendiri kemudian mati dibunuh orang.
Samaun tak punya hati. Jiwanya mati karena sering dibentak-bentak orang tuanya. Seperti cerita pohon yang mati setelah diteriaki tersebut.
Teriakan meninggalkan luka mendalam pada jiwa . Setiap kali kita berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, atau terluka — ingatlah dengan apa yang diajarkan penduduk kepulauan Solomon tadi. Mereka mengajarkan,
bahwa setiap kali kita berteriak, kita mematikan jiwa makhluk hidup. Jika jiwa itu terus menerus dimatikan,maka fisik pun akan mati.
Berteriak adalah tanda kemarahan. Apa pun bentuk teriakannya. Termasuk berteriak dengan kata Allahu Akbar. Saat orang-orang Hawarij berdemo di depan Ali bin Abi Thalib, mereka berteriak: Allahu Akbar. La Hukma Illah Allah. (Allah Maha Besar Tiada hukum selain hukum Allah).
Ali dianggapnya telah melakukan dosa besar karena tidak berhukum dengan Qur’an. Dosanya, kompromi pada tuntutan Bani Umayyah saat melakukan perundingan. Kaum Hawarij protes, mendemo Ali.
Mereka mengecam menantu Rasul itu — Ali halal darahnya karena memakai hukum selain Qur’an. La Hukma Illallah — tiada hukum kecuali hukum Allah. Kata demonstran Hawarij itu.
Ali pun menyatakan, teriakan kalian adalah suara setan. Kau bungkus teriakan setan yang haus kekuasaan dengan memakai kalimat Allah. Kalian sangat keji. Lebih keji dari orang kafir.
Kita tahu ujung ceritanya. Ali dibunuh oleh Ibnu Muljam, seorang hafiz yang di zaman Abu Bakar dan Umar sering diutus ke Mesir untuk mengajarkan Qur’an di bumi Piramid itu. Ali pun tewas.
Jauh sebelumnya, Sayidina Ali wanti-wanti: Jangan pernah marah! Jangan pernah marah! Kemarahan dan teriakan adalah manifestasi setan. Makanan ternikmat di dunia, kata Ali, menelan kemarahan. Jangan biarkan kemarahan berada di mulut dan hatimu. Telanlah. Bunuhlah kemarahan.
Dari pelajaran ini, kita bisa memahami perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun ketika mau menghadap Firaun.
Tuhan berfirman: “Pergilah kamu berdua ( Musa dan Nabi Harun) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia akan ingat dan takut.” (QS Thaha [20]: 43-44). Dengan bicara lemah lembut, ada harapan jiwa dah hati Firaun hidup kembali. Jika jiwanya hidup, ada potensi untuk beriman kepada Tuhan.
Dalam Islam, kita dilarang berteriak Uff (kata negasi atau teriakan) kepada ibu. Karena ibu adalah “kehidupan”. Di hati dan ucapan ibu ada persemaian kasih sayang. Jika seseorang berkata kasar atau berteriak kepada ibu, persemaian kasih sayang itu akan mati. Dan Tuhan melarang keras kita berkata Uff kepada ibu.
Dalam kehidupan sehari-hari, perkataan kasar atau teriakan hanya akan menghasilkan satu hal: pertengkaran. Selanjutnya, silaturahmi pun terputus. Terputusnya hubungan silaturahmi sama halnya dengan terputusnya rejeki. Dan terputusnya rejeki akan membawa kelaparan dan kematian — bukan hanya jiwa tapi juga raga.