Jumat, April 26, 2024

UU Pemilu Baru dan Legitimasi Demokrasi

Anwar Saragih
Anwar Saragih
Penulis Buku Berselancar Bersama Jokowi

Semangat perubahan undang-undang pemilu rutin setiap 5 tahunan yang ditata kembali bertujuan menjamin prinsip keterwakilan, keterpilihan, akuntabilitas, legitimasi dan demokratisasi yang lebih luas. Nyatanya undang-undang pemilu yang disahkan kemarin tak lebih baik dari undang-undang pemilu sebelumnya.

Di mana fokus kebaruan hanya terletak pada pelaksanaan pemilu secara serentak antara pileg dan pilpres 2019. Sementara, substansi undang-undang masih jauh dari prinsip yang menjadi tujuan dan semangat pemilu itu sendiri.

Lebih lanjut, pemilu yang rutin dilaksakan setiap 5 tahun sebagaimana amanah pasal 22 E UUD 1945 masih jauh dari prinsip adil, terbuka dan demokratis. Bukan tanpa alasan. Sebab, regulasi pilpres 2019 nanti yang menggunakan rujukan hasil pileg 2014 tentu suara partai politik tersebut sudah “kadaluarsa” bila dilanjutkan sampai 2024 menjadi 10 tahun.

Lebih lagi, undang-undang pemilu kita selalu berjalan dengan ketidakpastian yang ditentukan oleh kepentingan elit partai dan dinamika politik ang kerap berubah setiap 5 tahun sekali.

Pilpres yang transaksional

Sejak kran sistem multipartai dibuka pasca reformasi 1998. Salah satu hal  yang mustahil dicapai adalah partai pemenang pemilu dengan suara 50%+1. Hal ini tentu masalah besar mengingat sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensil.

Dampaknya akomodasi kepentingan partai politik tidak bisa dihindari demi memuluskan kebijakan pemerintah dengan berbagai transaksi politik. Hal ini pula yang belum juga dibenahi undang-undang pemilu yang baru.

Kondisi serupa tampaknya kembali menjadi masalah utama di pilpres 2019 nanti. Bahkan jauh sebelum seorang capres terpilih menjadi presiden lalu menjalankan amanahnya  di pemerintahan.

Betapa tidak, jika rujukan pilpres 2019 adalah pileg 2014. Maka bisa dipastikan, tidak ada satupun partai politik yang bisa mencalonkan capres secara sendiri (tunggal). Pilihan koalisi sebelum  masuk ke gelanggang pemilu menjadi pilihan terakhir. Mengingat tidak ada satu partai pun yang di pileg 2014 yang lalu meraih 20% suara nasional atau 25% kursi di DPR.

Dampaknya capres yang akan bertarung tersandera oleh kepentingan partai politik yang wujudnya berupa transaksi politik sebelum pipres dengan deal jabatan; menteri, duta besar hingga komisaris BUMN tidak bisa dihindari.

Potensi semakin banyak suara yang hilang

Prinsip utama dari sistem pemilu proporsional adalah one man, one vote and one value. Artinya, setiap suara dari pemilih memiliki nilai yang berharga. Tentu sistem proporsional dengan menggunakan parlemantary theshold berpotensi membuat jutaan suara rakyat Indonesia menjadi tidak bernilai.

Belajar dari pemilu 2014, dua partai politik yang tidak lolos parlemantary threshold yaitu PBB dengan raihan 1.825.750 suara (1,46%) dan PKPI dengan raihan 1.143.094 suara (0,91%). Artinya total 2.968.844 suara rakyat Indonesia hilang dan tidak bernilai sama sekali karena absenya kedua partai tersebut di DPR.

Lebih lanjut, undang-undang pemilu sudah mengesahkan angka parlemantary threshold sebesar 4% suara nasional yang tentunya akan menambah suara yang hilang di pileg 2019 nanti.

Jika sudah demikian tentunya sudah mengabaikan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sebab rakyat yang suaranya diberikan pada partai politik, tapi tidak lolos parlemetary threshold tidak pernah tahu kemana suaranya.

Legitimasi Demokrasi

Regulasi undang-undang pemilu sejatinya menjamin hak warga negara dalam sistem demokrasi dengan melibatkan partisipasi rakyat. Meminjam istilah Robert Dahl (1982), pemilihan umum memiliki empat unsur substansi yaitu universal, konstituen aktif, hak universal serta bebas dan adil. Artinya kualitas pemilu sebuah negara bergantung kepada prefensi pemilih. Pemilih dapat memberikan sangsi kepada wakil-wakil di parlemen yang terpilih. (Heywood, 2014)

Lebih lanjut, Salah satu perdebatan panjang soal pasca DPR mengesahkan UU pemilu adalah terkait konstitusional atau tidak konstitusionalnya undang-undang tersebut.

Klaim bahwa sebuah undang-undang konstitusional selalu ditentukan oleh proses-proses politik seperti kompromi, konsiliasi dan negoisasi elit partai sebelum dibawa ke paripurna DPR. Padahal esensi legitimasi demokrasi, berada dipundak rakyat yang pengimplikasiannya rakyat terlibat pula dalam pembuatan-pembuatan keputusan penting yang mengatur kehidupan dan nasib mereka.

Hal tersebut, harusnya terdapat pula dalam setiap keputusan politik. Terutama terkait pengesahan undang-undang yang harus  didukung proses politik jangka panjang dengan tujuan demokrasi yang berkemajuan. Bukan kepentingan jangka pendek individu atau kelompok elit partai politik yang sifatnya sesaat.

Sebab secara substansi, hal yang ingin kita selalu ingin capai pada setiap pembuatan undang-undang pemilu adalah legitimasi yang lebih luas terkait pemilu yang jujur, adil, bebas dan rahasia.

Disamping itu, legitimasi demokrasi selalu berkaitan dengan demokrasi perlindungan hak-hak rakyat, demokrasi yang berkemajuan dengan implikasi pembangunan yang merata dan demokrasi yang dipimpin oleh rakyat itu sendiri.

Sebab, hanya dengan begitu legitimasi demokrasi kita selalu menjunjung tinggi hak warga negara dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Anwar Saragih
Anwar Saragih
Penulis Buku Berselancar Bersama Jokowi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.