Rabu, Oktober 9, 2024

Taman Nasional Komodo Terancam

Venan Haryanto
Venan Haryanto
Peneliti Sunspirit for Justice and Peace

Seandainya negara-negara anggota G-20 tahu bahwa Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) tahun 2023 yang akan berlangsung di Labuan Bajo-Nusa Tenggara Timur (NTT), berpotensi sangat berdampak buruk bagi ekologi Taman Nasional Komodo (TNK), mereka pasti segera menyurati Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan rencana tersebut.

Pasalnya, hal tersebut sangat kontraproduktif dengan agenda ekologi yang justru menjadi salah satu keprihatinan utama pada KTT sebelumnya pada tahun 2017. Sebagaimana yang dikethaui, KTT G-20 yang berlangsung di Hamburg (Jerman) itu mengangkat dua isu ekologi yaitu soal perubahan iklim dan ancaman terhadap pembangunan berkelanjutan.

Utak-Atik kawasan TNK

Indonesia mendapat giliran  sebagai tuan rumah KTT G-20 pada tahun 2023. Sebagai tuan rumah, Pemerintah telah menetapkan Labuan Bajo sebagai lokasi berlangsungnya pertemuan tersebut. Untuk itu, melalui koordinasi lintas Kementerian, Pemprov NTT dan Pemda Manggarai Barat, Pemerintah pusat pun telah merencanakan sejumlah pembangunan infrastruktur penting.

Menariknya rencana pembangunan infrastruktur tersebut justeru memicu kontroversi. Musababnya, pembangunan itu  justeru berpotensi menghadirkan ancaman besar bagi ekologi Taman Nasional Komodo, sebagai satu kesatuan ekosistem alami satwa Komodo serta satwa dan vegetasi lainnya baik di darat maupun di laut.

Sebagaimana yang telah diketahui, atas dalih KTT-20, Pemerintah setidaknya merencanakan dua pembangunan infrastuktur utama yang sangat bertentangan dengan keberadaan TNK sebagai kawasan konservasi. Pertama, sebagai tempat berelangsungnya pertemuan tesebut, Pemerintah akan membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di atas lahan seluas 560 hektar di Tana Mori dan Tana Naga, di Desa Golo Mori-salah satu Desa yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Komodo.

Di atas lahan tersebut, Pemerintah akan membangun kawasan vila (15 unit villa), satu hotel bintang empat, dan satu convention hall dengan kapasitas 2.000 orang yang dilengkapi dengan dermaga.

Tak hanya itu. Sebagai bagian dari KEK ini juga, dua Pulau terdekat, Pulau Muang dan Pulau Bero, yang masing-masing tercatat sebagai zona rimba dan zona inti dari kawasan TNK, juga akan dikeluarkan dari kawasan TNK. Pulau Muang secara khusus merupakan tempat bertelur penyu dan Pulau Bero/Rohbong merupakan habitat burung Kakatua Kecil Jambul Kuning.

Kedua, pemerintah juga akan merombak penataan kawasan Loh Buaya di Pulau Rinca. Penataan ini dilakukan dengan cara meruntuhkan semua bangunan yang ada di kawasan Loh Buaya, lalu digantikan dengan  pembangunan sarana dan prasarana baru yang mengambil model bangunan Jurassic Park.

Proyek yang membuang-buang anggaran negara sebesar Rp 67 Milyard ini, jelas akan sangat berdampak buruk bagi keaslian bentang alam kawasan Loh Buaya dan mengancam ekosistem satwa Komodo serta satwa-satwa lain yang berada di area itu.

Pasalnya, dengan betonisasi, di kawasan itu Pemerintah akan membangun jalan gertak elevated (3.055 M2), penginapan petugas ranger dan peneliti, area pemandu wisata (1.510 M2), pusat informasi (3895M2), pos istirahat (318 M2) dan pos jaga (216 M2), pemasangan pipa (144 M), pengaman pantai (100 M) dan dermaga (400 M2). Pembangunan sumur bor juga akan sangat berdampak buruk bagi sumber mata air yang selama ini dimanfaatkan oleh satwa-satwa yang hidup di tempat itu.

Bertolak dari informasi di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa atas dalih tuan rumah KTT G-20, Pemerintah Indonesia menggadaikan keutuhan ekologi kawasan Taman Nasional Komodo.

TNK dalam Perlindungan Warga

Atas dalih KTT G-20, desain pembangunan yang berdampak buruk bagi ekosistem alami kawasan TNK ini ditentang keras oleh warga. Pada 12 Februari 2020 yang lalu, segenap elemen pelaku wisata dan pegiat konservasi melakukan unjuk rasa di Kota Labuan Bajo, tepatnya di gedung Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) dan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOP-LBF). Hingga kini, kedua rencana pembangunan ini, terus berada dalam pantauan warga setempat.

Sementara itu, bersamaan dengan penolakan kedua pembangunan tersebut, warga juga menolak keras sederet rencana pembangunan lain dalam kawasan TNK. Sejak tahun 2018, warga terus mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera mencabut izin PT Segara Komodo Lestari dan PT Komodo Wildlife Ecotourism di dalam kawasan TNK. Kedua perusahaan ini masing-masing mendapatkan lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca dan 426,7 hektar di Pulau Padar dan Pulau Komodo untuk bisnis pariwisata alam.

Selain itu, warga juga menolak dengan keras menolak pengelolaan eksklusif Pulau Komodo serta rencana relokasi penduduk setempat dalam rangka pariwisata eksklusif dengan entrance fee sebesar 1000 USD. Warga juga menolak keras rencana Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk mengelola Pulau Komodo seperti Taman Nasional di Afrika yang justeru banyak menimbulkan krisis ekologi di Afrika di sekarang ini.

Dengan demikian, seandainya negara-negara KTT G-20 tetap menghargai keputusan bersama mereka pada KTT 2017 untuk menjunjung tinggi pembangunan berkelanjutan, mereka pasti menyurati Presiden Jokowi untuk membatalkan segala bentuk pembangunan yang membahayakan ekologi Taman Nasional Komodo.

Venan Haryanto
Venan Haryanto
Peneliti Sunspirit for Justice and Peace
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.