Mengingat bahwa Indonesia telah melewati 20 tahun sejak reformasi berlangsung yang berarti bahwa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat semakin dijunjung tinggi oleh semua pihak.
Begitupula untuk para calon kontestan pemilu. Baik oleh calon presiden dan wakil presiden, maupun para calon legislatif dalam masa kampanye ini. Akan tetapi, bagaimana bila kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat tidak dilakukan dengan nilai-nilai yang telah ditentukan dan cenderung menjatuhkan lawan politiknya dengan berbagai manuver yang ada? Akankah Indonesia sebagai negara demokrasi hanyalah wacana belaka?
Ada yang berbeda pada pelaksanaan pemilu tahun 2019 nanti. Bila pada pemilu sebelumnya, yakni tahun 2014, penyelenggaraan pemilu dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pemilihan anggota legislatif, barulah selang tiga bulan kemudian dilaksanakan pemilu untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.
Berbeda dengan tahun 2019, pemilu yang akan dilakukan tahun 2019 nanti adalah pemilu pertama yang dilakukan secara serentak. Masyarakat diharuskan mencoblos lima surat suara sekaligus. Mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota.
Dinamika kontestasi partai politik pun dimulai. Sebanyak 14 partai politik bersaing untuk mendapatkan kursi di parlemen. Yang banyak disoroti akhir-akhir ini adalah ‘peperangan’ dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sebelumnya telah berperang pada pemilu tahun 2014 yang kini dihadapkan kembali dalam pertarungan politik tahun 2019, yakni Joko Widodo – Ma’ruf Amin (1) dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno (2). Kedua paslon tersebut telah mulai berjalan langkah demi langkah menghampiri tiap masyarakat untuk meraih simpatisan.
Berbagai strategi pun dilakukan oleh masing-masing kubu pemenangan. Mulai dari mendekati setiap lapisan masyarakat, menghampiri pasa-pasar di penjuru tanah air, hingga penyebaran isu-isu yang kerap kali dilontarkan untuk menjatuhkan lawan politiknya. Lantas, bagi kami yang menjadi pemilih pemula, harus darimana kami memulai?
Tak dapat dipungkiri berbagai kasus yang mencuat ke permukaan belakangan ini tak sedikit menimbulkan polemik di masyarakat. Kata ‘cebong’ dan ‘kampret’ pasti sudah tidak asing di telinga kita semua. Mungkin untuk sebagian orang hal ini bukan menjadi masalah besar. Tetapi, untuk sebagian pendukung yang militan, tentu hal ini bisa menimbulkan amarah karena ketidakpantasan sebutan.
Lain halnya dengan cebong dan kampret, istilah ‘politikus sontoloyo’ dan ‘genderuwo’ sempat menjadi topik hangat. Kedua kata ini dilontarkan oleh calon presiden nomor urut 1, Joko Widodo. Ia menyebutkan kata ‘sontoloyo’ ini dalam sebuah pidato yang ia bacakan karena ia merasa muak dengan semua tudingan yang dilontarkan bahwa Joko Widodo adalah seorang PKI. Sedangkan kata ‘genderuwo’ disebutkannya karena menurutnya ada beberapa politikus yang ‘menakut-nakuti’ masyarakat oleh informasi yang diucapkannya.
Banyak yang menuding pidato yang disampaikan oleh Joko Widodo ini ditujukan kepada rivalnya, Prabowo Subianto yang kerap kali dalam pidatonya menakut-nakuti masyarakat Indonesia akan keprihatinan kondisi Indonesia saat ini. Mungkin hal ini bukan tanpa adanya alasan, masih segar dalam ingatan kita tentang pidato yang diucapkan oleh calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa pada tahun 2030 Indonesia diprediksi akan bubar.
Hal ini pun menjadi topik yang cukup lama menjadi berita utama. Berbagai pihak pun mulai memberikan pendapatnya tentang pidato Prabowo ini. Ada yang menyebutkan bahwa pidato itu menjadi ‘lampu kuning’ untuk bangsa Indonesia agar lebih was-was dengan keadaan kesejahteraan saat ini, adapula yang menyebutkan bahwa pidato yang seperti ini malah menimbulkan pesimisme bagi masyarakat Indonesia dan tidak sepantasnya calon pemimpin bagi masyarakat Indonesia.
Tidak hanya adu jargon, melainkan juga adu penampilan yang tak kalah menimbulkan respon dari masyarakat. Berpenampilan seperti milenial yang dalam KBBI milenial diartikan sebagai generasi yang lahir di tahun 1980an hingga 2000an yang tidak dapat dilepaskan dengan teknologi khusunya internet, dapat di klaim meraih suara para milenial ini. Mulai dari memakai jaket jeans, sepatu sport keluaran terbaru, hingga kendaraan yang digunakan, mereka lakukan dengan apik berharap suara kaum milenial dapat digenggam.
Saat duduk di bangku kelas 3 SMA, mereka sudah dapat menggunakan hak suara mereka dalam memilih. Tapi apa jadinya ketika tahun pertama mereka untuk memilih lalu mereka disuguhkan oleh berita-berita diatas? Berbagai rumor dan isu yang seolah dengan sengaja dibuat untuk ‘membodohi’ mereka-mereka pemilih pemula.
Uniknya dalam proses perebutan suara ini, sosial media menjadi sarana masing-masing kubu untuk saling menjatuhkan. Saling serang di twitter yang dilakukan masing-masing kubu dengan mengangkat topik-topik yang sudah tidak menjadi pokok penting barangkali bisa menjadi semacam ultimatum tersendiri.
Jadi jangan heran apabila suatu berita dapat dengan cepat beredar tanpa memastikan kebenarannya. Berkicau di media sosial twitter, kemudian thread yang menjadi viral dibagikan ulang melalui media sosial line.
Atau pemotongan suatu video dengan sengaja untuk menyebarkan berita yang salah melalui media sosial youtube dan ditambah berkampanye hitam dengan menyebarkan berita bohong di grup whatsapp yang kemudian menjadi bahan perdebatan antar keluarga hingga membuat keluarga terpecah karena berbeda pilihan, atau berusaha membuat video blog yang sengaja dibuat para politikus untuk menunjukkan sisi ‘kekinian’ tanpa ada sisi substansial yang dapat diambil dalam video tersebut.
Kami para pemilih pemula butuh visi misi apa yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan calon. Bukannya adu jargon. Kami para pemilih pemula butuh debat yang substansial mengangkat isu-isu tentang kelaparan,kemiskinan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan data yang ada. Bukannya berusaha siapa yang datang ke pasar tradisional paling sering.
Kami para pemilih pemula butuh diyakinkan oleh janji-janji manis yang terlontar. Bukannya membuat pesimisme bahwa Indonesia akan hancur. Kami para pemilih pemula butuh program kerja apa yang akan dilakukan kelak dikemudian hari. Bukannya mengangkat isu PKI dan penculikan aktivis HAM.
Menilik rekam jejak para pasangan calon bukan menjadi hal yang salah. Tapi janganlah dijadikan ultimatum dan menjadi bahan bakar utama yang digunakan untuk berkampanye.
Pemerintah haruslah tegas menyikapi hal ini. Pemerintah harus menjaga jalannya kampanye dengan cara yang sehat dan kondusif bukannya menampilkan kampanye-kampanye pembodohan masyarakat dengan mengangkat isu yang ‘kurang penting’ untuk dibahas. Kami generasi muda memang kurang tertarik akan narasi panjang dan lebih menyukai satu slide foto dengan lingkaran merah bertuliskan ‘VIRAL’.
Oleh karena itu, hal ini dapat menjadi tantangan sendiri bagi pihak terkait bagaiaman cara untuk berkampanye dengan bersih tapi juga dapat menarik hati para milenial. Dengan usaha bersama, saya yakin pemerintah dapat menciptakan kondisi kampanye yang kondusif dengan tanpa adanya hoaks.