Kamis, Oktober 2, 2025

Sound Horeg, Budaya Baru atau Bom Waktu Kesehatan Generasi Muda?

Narendra Bisma
Narendra Bisma
Narendra Bisma Saputra, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang memiliki minat pada isu sosial, budaya, dan kesehatan masyarakat. Aktif menulis opini dan esai seputar dinamika sosial-budaya di Indonesia.
- Advertisement -

Fenomena sound horeg belakangan ramai di media sosial. Bukan sekadar hiburan, ia hadir sebagai fenomena budaya baru yang memecah opini publik: sebagian menyebutnya ekspresi kreatif dan perekat sosial, sementara sebagian lain menilainya ancaman bagi kesehatan dan ketenangan masyarakat. Pertanyaannya, apakah sound horeg sekadar tren sesaat, atau justru bom waktu yang bisa merusak generasi muda?

Di sejumlah daerah, seperti Desa Sumbersewu, Banyuwangi, parade sound system sudah menjadi tradisi turun-temurun, bahkan digelar menjelang perayaan besar seperti Idul Adha dan Idul Fitri. Kegiatan ini memperkuat kebersamaan warga sekaligus menggerakkan ekonomi lokal—UMKM tumbuh, pedagang mendapat pembeli, dan desa menjadi ramai pengunjung dari berbagai kota sekitar. Hal serupa juga terlihat di Blitar, di mana parade sound horeg melibatkan karang taruna, perangkat desa, hingga seniman lokal.

Namun, di balik manfaat ekonomi dan aspek kebersamaan itu, fenomena ini menyimpan sisi gelap. Sound horeg biasanya memproduksi tingkat kebisingan hingga 130–135 dB, jauh di atas ambang batas aman 85–90 dB. Paparan sesaat saja bisa menimbulkan kerusakan permanen pada pendengaran. Ini bukan sekadar “tidak nyaman”, tapi risiko nyata terhadap kesehatan masyarakat, terutama generasi muda yang terpapar berulang kali.

Konflik juga muncul di tingkat sosial. Generasi muda cenderung melihat sound horeg sebagai hiburan keren yang membanggakan daerah. Sebaliknya, kelompok yang lebih tua merasa terganggu, bahkan resah dengan suara keras yang berlangsung hingga larut malam. Perbedaan persepsi ini bisa memicu gesekan antargenerasi di tengah masyarakat.

Lebih jauh, fenomena ini menimbulkan pertanyaan soal peran negara dan kebijakan publik. Regulasi tentang kebisingan sebenarnya ada, tetapi implementasi di lapangan lemah. Pemerintah daerah sering kali ragu bertindak, karena kegiatan ini dianggap sebagai tradisi lokal dan sumber ekonomi. Padahal, membiarkan sound horeg tanpa pengawasan berarti mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan tenang.

Di sinilah tantangannya: bagaimana menempatkan sound horeg sebagai ekspresi budaya sekaligus memastikan keselamatan publik? Negara seharusnya hadir melalui regulasi yang adil—misalnya dengan pembatasan durasi, lokasi khusus, atau penggunaan teknologi peredam suara. Dengan begitu, kebebasan berekspresi bisa berjalan seiring dengan perlindungan kesehatan masyarakat.

Sound horeg mungkin terlihat sebagai sekadar hiburan, tetapi dampaknya jauh lebih kompleks. Jika tidak dikelola, ia bisa menjadi bom waktu yang merusak kesehatan generasi muda dan menimbulkan ketegangan sosial. Saatnya pemerintah, komunitas, dan masyarakat bersama-sama mencari titik tengah: menjaga budaya tanpa mengorbankan masa depan.

Narendra Bisma
Narendra Bisma
Narendra Bisma Saputra, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang memiliki minat pada isu sosial, budaya, dan kesehatan masyarakat. Aktif menulis opini dan esai seputar dinamika sosial-budaya di Indonesia.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.