Minggu, November 24, 2024

Radikal dan Radikalisme

Kasra Jaru Munara
Kasra Jaru Munara
Ketua DPW PSI Sultra Mahasiswa Program Doktor, Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
- Advertisement -

Kata radikal, intoleran, ekstrimis kembali menjadi salah satu kata yg paling banyak muncul dalam perbincangan atau tulisan di media paska pengeroyokan Ade Armando. Kata radikal dikonotasikan negatif, bahkan sering dihubungkan dengan ekstrimisme dan terorisme. Walaupun kata radikal sebenarnya bisa juga memiliki konotasi positif. Mengapa demikian?

Kita banyak menyadur kata dari Bahasa Inggris namun seringkali penggunaan kata tersebut kurang tepat sehingga menjadi rancuh atau ditafsirkan lain.

Kata “radikal” disadur dari kata “radical” yang memiliki makna suatu proses perubahan secara total tanpa pengecualian, sesuatu yang ekstrim, drastis, secara fundamental. Dalam Penggunaan kata radikal ini bisa berkonotasi positif, bukan negatif. Contohnya: The new CEO has made some radical changes to the company (CEO yg baru telah membuat perubahan radikal dalam perusahaan). Tujuannya untuk memajukan perusahaan tersebut.
Lantas apakah CEO yang bersangkutan dianggap CEO radikal? CEO penganut faham radikalisme? Tentu saja tidak demikian.

Radikalisme (faham radikal) berasal dari kata radicalism; kepercayaan/pemikiran atau perilaku/aksi yang menganjurkan perubahan secara ekstrim kalau perlu melalui gerakan revolusi.

Penggunaan kata radicalism sudah ada sejak akhir abad 18 ketika faham demokrasi mulai disebarkan. Radikalisme itu bisa dikategorikan berbasis ideologi. Kemudian muncul istilah radikalisme berbasis politik, berbasis agama, dan lain-lain.

Sehubungan dengan radikalisme berbasis agama, mengapa timbul istilah Islam radikal? Kalau kita memahami arti kata radikal dengan baik maka menyandingkan kata radikal dengan Islam adalah sangat keliru. Islam adalah agama yang membawa kedamaian. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta beserta isinya (Qur’an Surat al-Anbiya ayat 107).

Bagi seorang muslim, Islam adalah “way of life”, jalan kehidupan yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah agar bisa selamat dunia akhirat. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi muslim maka sepatutnya ia akan selalu berusaha menjalankan syariat Islam secara ‘kaffah’ (menyeluruh, totalitas), tidak simbolis atau ritual saja. Ia harus mengikuti syariat Islam yaitu hukum atau peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam, baik di dunia maupun di akhirat.

Namun perlu difahami bahwa dalam syariat Islam ada dijumpai Ikhtilaf, sebuah istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti perbedaan, perselisihan, dan pertukaran. Kata ikhtilaf sering pula disebut dengan kata “khilafiyah” yang memiliki arti perbedaan pandangan di antara ulama terhadap suatu persoalan hukum. Oleh karenanya tidak pantas jika seorang muslim mengklaim lebih benar (lebih Islami) dari saudara muslim yang lainnya.

Apalagi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang heterogen (secara agama, sosial, politik, budaya), apa yang difahami dan diyakini tidak bisa dipaksakan kepada orang lain yang berbeda keyakinan. Boleh jadi ada konsensus umum yang telah disepakati dan mengikat. Konsensus itu bisa berupa norma dan aturan yang diyakini bisa menjaga keselarasan dan keharmonisan. Contohnya adalah NKRI.

Nah bilamana ada orang yang hendak memaksakan kehendak dalam melaksanakan keyakinannya, ingin merubah tatanan yang sudah dibangun melalui konsensus, tanpa kompromi, maka yang bersangkutan bisa disebut sebagai radikal radikal dan hal ini tentunya memiliki konotasi negatif. Seringkali orang yang seperti ini juga disebut kaum ekstrimis (extremist) atau kaum intoleran (intolerant). Dan apabila gerakan memaksakan kehendak itu menggunakan kekerasan membabi buta maka ia disebut teroris.

- Advertisement -

Namun perlu diingat bahwa orang yang radikal bisa saja memiliki agama selain Islam atau bahkan tidak beragama. Bisa juga terkait non-agama seperti aliran politik. Ada orang radikal penganut faham/aliran republik, demokrat atau monarki, dll.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”. Dengan hewan saja tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia.

Kasra Jaru Munara
Kasra Jaru Munara
Ketua DPW PSI Sultra Mahasiswa Program Doktor, Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.