Diskursus paham radikalisme semakin ramai dibahas di dunia maya. Beberapa kali saya diskusi dengan orang-orang yang terindikasi paham radikalisme berdasarkan postingan di akun media sosial dan juga kajian agama Islam fundamentalis. Namun menyadarkan atau memahamkan tentang bahaya radikalisme menjadi sulit ketika masuk dalam ranah keyakinan.
Fanatisme dan taklid buta terhadap ideologi paham radikalisme telah menyasar masyarakat muda potensial (berpendidikan) melalui kajian ilmiah di ruang-ruang publik. Mendirikan majelis atau organisasi untuk menginisiasi label-label keagamaan yang mulai digandrungi banyak muslim milenial. Kemajuan informasi dan teknologi semakin menambah gairah menyatukan visi misi perlawanan terhadap konsep demokrasi dan toleransi.
Menariknya, banyak dari mereka yang terpapar ideologi radikalisme tidak menyadari risiko dari paham agama yang dianutnya. Perlahan melalui kajian seputar ketauhidan berubah menjadi ajakan berjihad dengan narasi amar ma’ruf nahi munkar. Pengikut dibimbing menjadi muslim yang antikeberagaman (intoleran). Menghalalkan segara cara untuk berkuasa, baik dalam lingkup kemasyarakatan (masjid/ musala) maupun dalam lingkup politik nasional.
Sepanjang tahun 2020, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat persentase perempuan yang terpapar paham radikalisme mencapai 12,3 persen sedangkan laki-laki 12,1 persen dari total penduduk Indonesia. Angka yang terbilang cukup tinggi yang juga diimbangi dengan keterbukaan informasi dan maraknya informasi hoaks.
Ketika kampanye isu perlawanan radikalisme mulai gencar dilakukan muslim moderat, banyak pembalikan argumen menyerang dengan menyatakan bahwa isu radikalisme hanya permainan politik penguasa untuk melegalkan kediktatorannya. Bahkan perlawanan terhadap radikalisme dianggap sebagai upaya memerangi umat Islam itu sendiri karena melekatnya agama Islam sebagai pelaku tindak terorisme.
Perlu diketahui bahwa radikalisme adalah konsep gagasan (hulu) yang kemudian diaktualisasikan dalam tindak terorisme (hilir). Lembaga yang berperan dalam tindak pencegahan paham radikalisme adalah BNPT, sedangkan proses penindakan biasa dilakukan oleh Densus 88. Jadi radikalisme dan terorisme mempunyai relasi erat mewujudkan revolusi konsep kenegaraan syariah (khilafah).
Permasalahannya adalah negara Indonesia menganut asas demokrasi yang menghendaki setiap penduduknya untuk meyakini dan mengikuti paham tertentu. Ada yang tidak menyadari bahwa kajian yang selama ini dianggap mengajarkan nilai-nilai luhur keislaman nyatanya menjerumus kepada paham radikalisme. Ketika doktrin paham radikalisme sudah mengikat keyakinan seseorang, ekspresi intoleran menjadi membudaya di kalangan kelompoknya.
Ketika BNPT mengajak keterlibatan masyarakat untuk membantu penanganan pencegahan radikalisme, di sisi lain ada hak setiap warga untuk memilih paham yang dianutnya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman spiritual yang dialami masing-masing individu. Tidak ada hak seseorang untuk menjustifikasi paham atau kelompok orang sebagai bagian dari doktrinisasi radikalisme. Ada batasan yang ketika ditindak melanggar kebebasan memilih keyakinan, ketika dibiarkan bisa menjadi bom waktu tindakan terorisme.
Fanatisme beragama muslim modern memang mengagumkan dalam segi tali persaudaraan. Bagaimana ekspresi pembelaan terhadap kelompok minoritas Uighur dan rakyat Palestina dengan kompak menggalang dana kemanusiaan. Belum lagi maraknya demonstrasi dengan label agama seperti bela Islam, melawan kriminalisasi ulama, hingga gerakan politik identitas atas nama keadilan.
Mengatakan bahwa terorisme di Indonesia bukan bagian dari agama terlalu naif ketika mayoritas pelaku terorisme beragama Islam. Meskipun terorisme merupakan aksi yang mencederai nilai agama itu sendiri, namun perlu dipahami bahwa masih banyak orang yang berperilaku taat agama menyetujui tindak terorisme sebagai aktivitas jihad.
Sehingga terorisme tidak bisa dikesampingkan dari kegagalan mencegah paham radikalisme. Adanya ideologi agama yang terdistrosi karena faktor lingkungan dan didukung dengan rasa kekecewaan terhadap ideologi lain yang dianggap melawan nilai-nilai agama Islam. Menghendaki adanya khilafah dan penerapan hukum syariah sebagai solusi mengatasi permasalahan bangsa.
Fase radikalisme menuju terorisme sudah tidak lagi menjadi bahasan privasi. Banyak konten dakwah intoleran tapi bisa menarik jamaah dan membangkitkan fanatisme terhadap ustaz atau ulama tertentu. Peta pemuda-pemudi terdidik sering dijadikan ujung tombak menyebarkan ajaran radikalisme melalui konten-konten di media digital.
Radikalisme dan terorisme bukan hanya mengancam persatuan bangsa, namun juga mengurangi esensi agama yang mengajarkan kedamaian. Perlu diperbanyak konten kreatif yang kontraradikalis untuk menyadarkan mereka yang tidak sadar telah terpapar paham radikalisme. Ada anggapan bahwa kajian yang diikutinya tidak mengindikasikan pada perilaku terorisme sebelum ada ajakan untuk memerangi kekafiran yang kemudian diaktualisasikan dalam tindak anarkisme dan terorisme.
Selain itu juga dibutuhkan banyak ruang diskusi untuk membuka wawasan tentang perbedaan (ikhtilafiyah) agar tidak menjadi bumerang mempelajari agama Islam yang menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad yang mengedepankan kasih sayang.
Satu lagi, radikalisme tidak akan merasa salah dan kalah ketika beradu argumen seputar keagamaan. Sepengalaman saya, butuh waktu untuk membuka pola pikir paham radikalisme agar tidak sempit dan kaku melihat perbedaan. Bukan dengan kitab-kitab kajian moderasi agama, namun dengan keleluasaan wawasan memahami psikologi dan ajaran radikalisme untuk mengimbangi cara berpikir yang fanatik.
Merangkul tokoh-tokoh muda yang toleran untuk mengimbangi diskusi seputar radikalisme. Kadang paham radikalisme merasa lebih terdidik dengan literasi keagamaan yang mudah didapatkan di internet. Sedangkan pesantren yang merupakan pondasi agama toleran dianggap kuno karena masih menerapkan kajian kitab klasik (salaf). Masih banyak jebolan pondok pesantren atau madrasah yang kuliah di universitas unggulan untuk mengimbangi bahasan anak muda modern yang terpapar radikalisme.
Indonesia menjadi negara yang rawan konflik dengan memiliki 1.340 suku bangsa dan 299.617 penghayat kepercayaan. Meskipun sejauh ini masih aman, namun menunggu pecahnya konflik seperti di Timur Tengah akibat perbedaan mazhab akan mengahancurkan semua sektor kehidupan bangsa dan menghilangkan puluhan juta jiwa akibat peperangan saudara.