Jumat, Maret 29, 2024

Pondasi Sains, Antara Data dan Kreativitas

Fadlan
Fadlan
Penulis lepas

Sains mustahil ada tanpa data empirik. Saintis sering kali menganggap data atau bukti sebagai pilar utama pengetahuan ilmiah. Mereka mengatakan bahwa teori yang baik adalah teori yang didasarkan pada data, sedangkan teori yang buruk adalah teori yang memiliki sedikit (atau tidak memiliki) data.

Menurut saya, ini adalah kesalahpahaman umum bahwa teori-teori ilmiah lahir dari data. Padahal faktanya, seperti yang dijelaskan oleh fisikawan David Deutsch dalam bukunya tahun 2011, The Beginning of Infinity, bahwa teori ilmiah hadir untuk menjelaskan data. Dan sumber penjelasannya terletak pada manusianya, bukan data!

Kesalahpahaman bahwa teori-teori ilmiah harus “berdasarkan bukti” akan berpotensi membawa sains cenderung ke arah pemroduksian data-data, alih-alih mencari penjelasan tentang dunia. Saya kira, kita harus meluruskan kesalahpahaman ini terlebih dahulu dengan mengingat kembali visi sains yang sebenarnya: menyajikan kepada manusia penjelasan yang lebih baik tentang dunia.

Empirisme Vs. Kreativitas

Pandangan bahwa sains harus didasarkan pada bukti atau data ini bermula dari gagasan filsafat empirisme. Empirisme adalah gagasan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui inderanya dengan cara mengumpulkan data-data empirik yang ada. Teori pengetahuan yang satu ini kadang dikaitkan dengan beberapa tokoh ilmuwan dan filsuf besar abad pencerahan seperti John Locke dan David Hume sampai pada para positivis logis dan pelopor teori kuantum abad ke-20.

Sampai hari ini, empirisme masih bertahan pada gagasan umum bahwa data adalah pondasi penting ilmu pengetahuan. Namun terlepas dari itu, empirisme sebenarnya termasuk pandangan yang sudah usang. Empirisme menegaskan adanya pengalaman langsung atau nyata dengan mengklaim bahwa pengetahuan berasal dari data-data atau bukti luar yang kemudian diterima oleh indera kita. Padahal semua pengalaman realitas dimediasi oleh runtutan-runtutan proses kompleks dalam sistem saraf kita. Artinya, kita memahami realitas bukan melalui persepsi inderawi kita, namun melalui penjelasan yang ada pada diri kita sendiri: kreativitas.

Maka dari itu, menurut saya, teori-teori ilmiah tidak muncul dari data, namun muncul dari pemikiran kreatif yang kita gunakan untuk menghasilkan penjelasan konkret tentang data atau informasi yang masuk melalui indera kita. Fungsi kreativitas memungkinkan kita untuk mengajukan pertanyaan, memperkirakan jawaban, mengkritisi, dan kemudian mengajukan pertanyaan lain. Sains dibangun atas kemampuan alamiah ini untuk memberikan penjelasan yang relevan tentang bukti atau informasi yang didapatkan.

Teori ilmiah biasanya mencoba untuk menggambarkan suatu fenomena atau proses yang tidak dapat dicerap oleh indera secara langsung. Misalnya, kita tetap bisa menjelaskan secara detail suhu, ketebalan, komposisi dan informasi lain tentang mantel bumi meskipun tidak ada satupun manusia yang pernah melihat mantel bumi itu secara langsung.

Sekalipun, katakanlah, kita bisa melihat mantel bumi, kita masih perlu menjelaskan apa sebenarnya yang kita lihat. Dan tentu saja, untuk menjawabnya, kita membutuhkan kreativitas, karena data tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan Deutsch: Kreativitas memberikan kita kemampuan untuk “menjelaskan yang terlihat dalam hal yang tidak terlihat.” Saat kita melihat aktivitas gunung berapi, secara naluriah kita juga mampu menggambarkan seperti apa bumi di bawah kaki kita: panas, padat, atau cair. Ini adalah contoh sederhana bahwa kreativitas selalu berada di balik setiap penemuan ilmiah.

Membuat teori memang membutuhkan imajinasi, karena pemahaman kita tentang realitas dipenuhi dengan entitas dan proses yang belum pernah kita amati. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, manusia menciptakan pengetahuannya melalui proses kreativitas. Karena dengan kreativitas kita dapat mengajukan pertanyaan, memperkirakan jawaban, mengkritik, dan kemudian mengajukan pertanyaan lain. Ini adalah proses yang digerakkan oleh imajinasi, bukan data.

Jadi, pemahaman bahwa sains itu berbasis data atau bukti boleh dikatakan keliru, karena telah salah memahami hubungan antara data dan penjelasan atau teori ilmiah. Oleh karena itu, jika sains terdiri dari teori-teori imajinatif dan asumsi-asumsi kita tentang dunia, maka kurang pas rasanya jika kita menantang suatu teori dengan cara menuntut suatu data atau bukti, karena semua penjelasan yang diberikan tidak lebih daripada asumsi-asumsi kreatif yang berasal dari pikiran manusia, bukan pada data.

Menerapkan kreativitas dengan memisahkan antara data dan penjelasan, kita bisa terus mengembangkan suatu teori ilmiah. Namun begitu, kita tetap menghargai data-data empirik, karena meskipun ia tidak dapat memberikan dasar bagi teori ilmiah, namun ia selalu memberikan sesuatu yang penting bagi perkembangan sains: penjelasan yang beragam, misterius, dan indah.

Fadlan
Fadlan
Penulis lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.