Beberapa hari belakangan, publik dihebohkan dengan tersebarnya video pendek yang berisi adegan hubungan intim yang dilakukan oleh salah seorang artis terkenal di tanah air. Setelah melalui tahapan penyelidikan dan penyidikan, akhirnya dikonfirmasi bahwa pemeran dalam video tersebut adalah benar aktris yang bersangkutan, dan statusnya kini ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan pasangannya yang juga berada dalam video tersebut.
Dalam salah satu dasar hukumnya, para penyidik dari kepolisian menggunakan pasal-pasal yang terdapat dalam UU pornografi untuk menetapkan status mereka sebagai tersangka. Mereka berdua didakwa melanggar pasal 4 ayat 1 dan pasal 8 UU pornografi.
Menurut pandangan dari penulis, penetapan status tersangka dari kasus ini tidak tepat karena beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, dalam ketentuan hukum pidana, dikenal asas dasar yang berbunyi “Geen Straaf Zonder Schuld” yang artinya “tidak ada hukuman bila tidak ada kesalahan”.
Asas ini ditujukan sebagai syarat utama dalam menentukan apakah seseorang layak untuk dijatuhi hukuman pidana. Dalam prakteknya, makna “kesalahan” di sini ditafsirkan sebagai bentuk pengetahuan atau kehendak yang dilakukan oleh pelaku secara sadar dalam melakukan perbuatannya.
Dalam hukum pidana, pengetahuan dan kehendak ini merupakan unsur wajib yang perlu dibuktikan untuk menentukan apakah seseorang bisa dikatakan bersalah dan layak dijatuhi hukuman pidana. Secara turunannya, dalam hukum pidana kemudian dikenal istilah “kesengajaan” (dolus) dan “kelalaian” (culpa). Keduanya memiliki implikasi yang berbeda terhadap konsekuensi putusan pidana.
“Kesengajaan” (dolus) adalah kondisi dimana pelaku secara sadar dan berkehendak untuk melakukan perbuatannya berikut dampak-dampak yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan “kelalaian” (culpa), adalah kondisi dimana pelaku secara tidak sadar dan tidak hati-hati melakukan perbuatan yang dampaknya memiliki konsekuensi tertentu.
Sekarang, mari kita lihat bunyi pasal 4 ayat 1 yang menjadi dasar hukum penetapan tersangka para terdakwa:
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.”
Dan pasal 8 UU pornografi yang berbunyi :
“Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”.
Dalam rumusan pasal ini, perbuatan menyebarkan dan menyiarkan secara luas mesti dibuktikan dilakukan oleh terdakwa secara sengaja oleh pribadi yang bersangkutan. Dan bukan dilakukan oleh orang lain yang menyebarkannya tanpa sepengetahuan dari pemilik asli dari konten tersebut.
Bila unsur kesengajaan ini tidak dapat dibuktikan, maka terdakwa dapat diputus dengan putusan pelepasan dari tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) karena tidak terdapat unsur kesalahan dalam perbuatan terdakwa. Dan hanya pihak yang menyebarkan tanpa sepengetahuan terdakwalah yang mestinya dijatuhi hukuman pidana, karena mereka memenuhi unsur kesalahan dalam pasal tersebut.
Kedua, dalam pasal penjelas dari UU pornografi tersebut terdapat pengecualian dalam ketentuan yang diatur dalam pasal-pasalnya. Dalam pasal penjelas pasal 4 ayat 1 dan pasal 6 dinyatakan bahwa membuat, menyimpan, dan menyimpan konten-konten pornografi dalam pasal tersebut dikecualikan untuk kepentingan pribadi dan untuk dirinya sendiri.
Artinya, selama tidak ditujukan untuk kegiatan komersil yang menghasilkan profit dan tidak diniatkan untuk disebarkan secara sengaja ke publik. Maka secara hukum orang yang memiliki konten-konten tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.
Ketiga, UU pornografi dalam pasal penjelas pasal 8 juga mengecualikan orang-orang yang dalam kondisi ditekan, dibohongi, atau dipaksa untuk menjadi objek atau pemeran dalam konten pornografi sebagai subjek yang tidak dijatuhi hukuman pidana. Jadi ketika ada orang yang merekam atau memfoto seseorang secara sepihak atau memaksa orang lain dan foto atau rekaman tersebut mengandung konten pornografi, lalu kemudian kemudian disebarkan ke publik. Orang yang menjadi objek foto dan rekaman tersebut tidak dijatuhi hukuman pidana.
Beberapa poin penting yang telah diutarakan di atas adalah alasan-alasan penting mengapa pemidanaan terhadap terdakwa dalam hal ini adalah hal yang kurang tepat. Mengingat yang bersangkutan bukanlah pihak yang menyebarkan dengan sengaja rekaman video rekaman mereka dan konten video tersebut ditujukan untuk kepentingan sendiri atau pribadi diri mereka sendiri.
Tidak hanya dalam kasus ini saja polemik tentang pemidanaan video pornografi menyeruak. Beberapa tahun lalu kejadian yang sama pernah menyeruak ketika video salah seorang penyanyi band ternama dengan aktris tanah air tersebar. Sang penyanyi pun divonis hukuman penjara beberapa tahun meskipun ia bukan pihak yang menyebarkan video tersebut.
Sehubungan dengan kasus-kasus yang terlah terjadi ini maka sudah selayaknya penerapan UU pornografi dan penindakannya kembali ditinjau di Indonesia. Karena seringnya pihak yang dalam kenyataannya menjadi korban, justru diposisikan sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman pidana.
Bilamana mekanisme pelaksanaan hukuman dan paradigma yang dipakai terus seperti ini, maka UU ini justru lebih berpotensi untuk mengkriminalisasi korban daripada pelaku, terutama pihak perempuan dan anak-anak. Terlebih dengan peningkatan kasus revenge porn dan kekerasan seksual berbasis digital di tengah pandemi seperti ini, maka sudah selayaknya penegakan hukum terkait UU pornografi ini ditinjau kembali dan lebih menekankan keberpihakan kepada korban yang dirugikan.