Senin, April 29, 2024

Polemik Pengesahan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Niswatul Jannah
Niswatul Jannah
Mahasiswi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2022. Jadilah diri sendiri, maka hidupmu lebih berarti.

Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau dikenal dengan istilah RUU KUHP masih menjadi perdebatan. Kasus disahkan atau tidaknya rancangan ini sudah berjalan lebih dari separuh abad. Hal ini bahkan menjadi diskusi panas di masyarakat.

Masyarakat dan pemerintah terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu pro dan kubu kontra. Kubu pro didominasi oleh pemerintah sementara kubu kontra banyak berasal dari kalangan masyarakat. Karena pro kontra inilah, RUU KUHP masih menjadi dilema dalam pengesahannya.

Pihak pro beranggapan bahwa KUHP Indonesia harus segera diperbaharui dan disahkan. Mereka menilai KUHP lama tidak selaras dengan perkembangan hukum di Indonesia saat ini. Mereka menginginkan Indonesia membentuk hukum sendiri yang berasal dari pemikiran bangsa seperti Pancasila, bukan peninggalan kolonial.

Selain itu, KUHP yang digunakan sekarang juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum. Hal ini dikarenakan sejak merdeka, pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), nama asli KUHP.[1]

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (disingkat Kemenkumham RI) sebagai penanggungjawab RUU serta pihak pro dengan ini menjelaskan kepada masyarakat Indonesia khususnya pihak kontra tujuan dari pembaharuan KUHP ini.

Kemenkumham menerangkan adanya RUU ini sebagai upaya rekodifikasi, pengintegrasian hukum Indonesia dari produk lama menjadi hukum baru serta sebagai upaya harmonisasi, yakni KUHP yang telah diperbaharui nanti akan menyesuaikan dengan perkembangan hukum Indonesia saat ini yang bersifat universal.

Perkembangan ini berkaitan erat dengan hukum pidana murni maupun hukum pidana administratif, terutama mengenai 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Packer dalam The Limits of the Criminal Sanctions,[2] yakni perumusan perbuatan yang dilarang, perumusan pertanggungjawaban pidana, dan perumusan sanksi baik berupa pidana maupun tindakan.

Kemudian pihak kontra menolak keras pendapat pihak pro. Mereka sepakat bahwa RUU KUHP saat ini memiliki banyak pasal yang berdampak negatif bagi masyarakat. Di antara dampak negatif bagi masyarakat dari pasal dalam RUU KUHP antara lain yang pertama, berpotensi kriminalisasi.

Banyak pasal perbuatan pidana penjara yang ditangani lembaga pemasyarakatan sehingga over kapasitas serta bersifat represif yakni tindakannya bersifat menindas dengan tujuan menyembuhkan. Kedua, tidak berpihak pada perempuan. Contohnya pasal 467 yang mengenai larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan dan Pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan.[3] 

Pasal ini akan mempidanakan perempuan korban perkosa yang mencoba membunuh anak yang dikandungnya. Hal ini tentunya akan menambah penderitaan psikologis bagi perempuan korban pemerkosaan.

Ketiga, membungkam kebebasan pers. Hal ini bertentangan dengan karakter Indonesia yakni negara demokrasi. Dengan adanya pembungkaman pers ini, maka tertutuplah hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat mereka. Pembungkaman terhadap pers melalui RUU KUHP karena diduga adanya pasal karet (Faisal, 2018).[4]

Keempat sekaligus terakhir, yakni korupsi. Hukuman korupsi dalam RUU KUHP paling singkat hanya penjara dua tahun sedangkan dalam KUHP lama paling singkat adalah penjara empat tahun. Sedangkan denda dalam pasal kontrovesial RUU KUHP minimal 10 juta dan maksimal 2 miliar. Sedangkan dalam pasal KUHP lama, denda minimal 200 juta dan maksimal 1 miliar.[5] 

Hal ini jelas menimbulkan kontra dari masyarakat, pasalnya seakan-akan pemerintah memberikan keringanan hukuman bagi koruptor yang sudah jelas memberikan kerugian bagi negara. Koruptor yang seharusnya diberikan hukuman jera, namun dalam pembaharuan hukum diberikan keringanan. Inilah beberapa hal yang menjadi landasan bagi pihak kontra terhadap RUU KUHP.

Dengan mengambil dari berbagai pendapat pihak pro maupun kontra tersebut, penulis berpendapat bahwa sudah bukan zamannya lagi sekarang bagi masyarakat dan pemerintah untuk berdebat mengenai disahkan atau tidaknya RUU KUHP.

Sebaiknya, yang dilakukan masyarakat dan pemerintah saat ini adalah berdiskusi bersama dalam menyusun RUU KUHP yang baru, hasil karya bangsa sendiri dengan menyelaraskan pada hukum yang sesuai dan berkembang dalam masyarakat namun tetap melihat pada Pancasila, UUD 1945, serta kesesuaian hukum yang berlaku di Indonesia.

Seperti yang dikatakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof Eddy OS Hiariej, yakni perjuangan bangsa kita memiliki RUU KUHP sendiri, harus tetap dilanjutkan. Sebab, RUU KUHP ibarat simbol peradaban suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat serta menjunjung tinggi prinsip nasionalisme dan mengapresiasi partisipasi masyarakat.[6] 

Hukum harus menjunjung tinggi hak masyarakat, bukan masyarakat yang menjunjung tinggi hak hukum. Relativitas keadilan harus dilihat dari sudut pandang masyarakat bukan hanya dari sudut pandang hukum. Hukum seharusnya dapat bersifat progresif. Satjipto Rahardjo pernah menyatakan bahwa hukum progresif adalah hukum untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum.[7] Perbedaan pendapat itu hal biasa, namun ubahlah perbedaan menjadi satu tujuan agar mencapai hal yang luar biasa.

Referensi

[1] Issha Harruma, “Pro Kontra RKUHP” https://nasional.kompas.com/read/2022/07/05/00400071/pro-kontra-rkuhp (diakses pada 23 Oktober 2022, pukul 18.24).

[2] Humas dan Protokol BPHN, “RUU KUHP : Upaya Pembangunan Hukum Melalui Rekodifikasi Hukum Pidana Nasional” https://bphn.go.id/index.php/pubs/news/read/2021050504491389/ruu-kuhp-upaya-pembangunan-hukum-melalui-rekodifikasi-hukum-pidana-nasional (diakses pada 23 Oktober 2022, pukul 18.49).

[3] Fisip UI, “Dampak Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pada Perempuan dan Kelompok Rentan” https://fisip.ui.ac.id/pengesahan-rancangan-kitab-undang-undang-hukum-pidana-ruu-kuhp-dan-dampaknya-pada-perempuan-dan-kelompok-rentan/ (diakses pada 23 Oktober 2022, pukul 19.24).

[4] Ayon Diniyanto, “RUU KUHP: DILEMA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA” https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=403 (diakses pada 23 Oktober 2022, pukul 19.35).

[5] Selly Dwi Octavia, “Pro-Kontra RUU KUHP” https://bermadah.co.id/berita/detail/prokontra-ruu-kuhp (diakses pada 23 Oktober 2022, pukul 19.43).

[6] Humas dan Protokol BPHN, “Kepala BPHN: Sudahi Pro-Kontra, Pemerintah Tampung Berbagai Masukan Terkait RUU KUHP” https://www.bphn.go.id/index.php/pubs/news/read/2021060512462233/kepala-bphn-sudahi-pro-kontra-pemerintah-tampung-berbagai-masukan-terkait-ruu-kuhp (diakses pada 23 Oktober 2022, pukul 20.04).

[7] Ayon Diniyanto, “RUU KUHP: DILEMA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA” https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=403 (diakses pada 23 Oktober 2022, pukul 20.06).

Niswatul Jannah
Niswatul Jannah
Mahasiswi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2022. Jadilah diri sendiri, maka hidupmu lebih berarti.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.