Sepak bola di Indonesia sudah menjadi salah satu cabang olahraga yang paling banyak diminati sejak lama oleh masyarakat Indonesia. Pada awalnya sepak bola hanya disaksikan oleh penonton dan penggemar dengan hanya duduk dan menyaksikan pertandingan yang berlangsung.
Kemudian dengan seiring bertambahnya waktu, beberapa orang membentuk sebuah kelompok untuk mendukung tim kebangaannya dengan cara yang tidak biasa, seperti meneriakan chants (yel-yel), menggunakan atraksi gerakan-gerakan, membawa terompet, petasan atau flare, dan lain-lain. Dari sinilah awal terbentuknya supporter kreatif di Indonesia yang diawali pada tahun 90-an muncul beberapa kelompok supporter yang memiliki basis pendukung yang cukup banyak seperti The Jakmania (Supporter Persija Jakarta), Aremania (Supporter Arema Malang), dan Bonek Mania (Supporter Persebaya Surabaya).
Pada era 2000-an kultur mania sangat lekat sekali kepada supporter Indonesia. Kultur mania sendiri merupakan adaptasi dari kultur supporter Amerika Latin yaitu Barrabravas yang dibawa oleh pemain sepak bola yang berasal dari Amerika Latin yang bermain di klub Indonesia.
Saat ini supporter Indonesia sudah berkembang pesat, banyak tim dari tiap daerah di Indonesia yang memiliki basis supporter sendiri yang militan. Beberapa kelompok supporter muncul dengan ciri khas nya sendiri dalam mendukung tim kebanggannya. Bahkan ada yang menggunakan kultur budaya baru yang disebabkan adanya globalisasi. Kultur budaya baru ini lebih dikenal dengan sebutan hooligan dan ultras. Paham hooliganisme merupakan suatu budaya yang dianggap sebagai perilaku menyimpang dan merusak yang dilakukan oleh kelompok supporter sepak bola seperti melakukan intimidasi, vandalisme, dan berkelahi (Hendika & Nuraeni, 2020).
Paham hooligan sendiri berasal dari negara Inggris yang memiliki imej menjadi penyebab kerusuhan karena kebiasannya yang meminum minuman keras sebelum pertandingan. Ciri khas dari hooligan salah satunya adalah berpakaian casual dan enggan mengenakan atribut dari tim kebanggannya agar tidak terdeteksi oleh pihak keamanan. Sementara ultras lebih terorganisir dan menonjolkan kekreatifan nya di dalam stadion dengan mendukung penuh tim kesayangannya saat berlaga. Ultras sendiri muncul pertama kali di Italia dan menempatkan diri mereka di tribun belakang gawang. Berbeda dengan hooligan di Inggris, ultras cenderung memiliki pandangan politik tertentu seperti rivalitas antara kelompok ultras sayap kanan Lazio dengan kelompok ultras sayap kiri Livorno
Kelompok ultras di Indonesia identik dengan menggunakan pakaian serba hitam, membentangkan koreografi yang berisi dukungan ataupun pesan, menyalakan flare, mengibarkan bendera-bendera besar, menabuh snare drum, dan lain-lain. Namun tak jarang beberapa kelompok ultras juga terlibat dalam kerusuhan supporter karena disebabkan banyak hal seperti rivalitas dengan klub lain, tensi yang tinggi saat pertandingan, ataupun dari faktor lain.
Beberapa kelompok supporter di Indonesia muncul dengan membawa kultur ultras dan hooligan yang saat ini sedang populer di Indonesia seperti Brigata Curva Sud (Kelompok Ultras PSS Sleman), B6 Surakartans (Kelompok Hooligan Persis Solo), dan masih banyak lagi kelompok ultras dan hooligan dari daerah lain. Kultur budaya ini sudah menjadi identitas diri kepada para anggotanya dalam gaya hidup yang berbeda dengan kelompok sosial lain yang dianggap kuno dan konservatif. Kultur mania yang dulunya sangat populer di Indonesia kemudian menjadi berkurang peminatnya karena ada nya kultur budaya baru yang lebih dianggap modern dan keren daripada kultur mania.
Namun masih terdapat beberapa kelompok yang masih menganut kultur mania seperti contohnya The Jakmania, Aremania, Bonek Mania, Slemania. Mereka masih menunjukkan eksistensi mereka dengan tetap memberikan dukungan kreatif kepada klub kebanggaannya. Meskipun begitu, diantara kelompok supporter mania tersebut di dalamnya juga terdapat sub-sub kelompok yang beraliran ultras atau pun hooligan, contohnya di dalam kelompok supporter The Jakmania terdapat kelompok ultras yang mendiami tribun utara GBK yang menamakan diri mereka Curva Nord Persija dan terdapat kelompok beraliran hooligan yang mendiami sisi corner kick sektor 16 GBK yang menamai diri mereka sebagai Tiger Bois.
Bahkan, supporter timnas Indonesia juga menganut aliran ultras dan hooligan seperti Ultras Garuda yang selalu berada di sisi selatan gawang, La Grande Indonesia yang berada di tribun utara, dan kelompok hooligan yang anggotanya merupakan campuran dari hooligan-hooligan klub lokal yang bergabung menjadi satu kelompok dan menamai kelompok mereka ROGALI atau Rombongan Garuda Liar.
Dengan maraknya kelompok ultras dan hooligan yang bermunculan di Indonesia, menjadikan supporter mania yang sudah ada terlebih dahulu mulai ditinggalkan oleh beberapa supporter. Supporter yang berusia muda lebih memilih untuk menikuti aliran ultras atau hooligan karena menurut mereka aliran ini dinilai lebih modern, keren, dan sesuai dengan passion mereka dibandingkan dengan kultur mania yang dinilai sudah usang atau tidak kekinian.
Perubahan sosial itu terjadi karena kultur seperti hooligan dan ultras memiliki gaya fashoinnya sendiri. Hooligan memiliki gaya fashion casual dengan barang-barang branded dan selalu memakai sepatu berbanding terbalik dengan fashion yang biasa dipakai oleh kelompok supporter mania yang selalu memakai jersey atau pakaian klub yang didukung, syal klub, dan biasa memakai sendal. Bahkan ada beberapa supporter yang hanya mengikuti orang lain hanya karena ingin merasa menyesuaikan diri dengan kelompok sosialnya. Hal ini sejalan dengan definisi konformitas menurut Rahmayanthi (2017) merupakan perubahan perilaku individu yang mengikuti mengikuti perilaku orang lain supaya dapat diterima di dalam suatu kelompok tertentu.
Salah satu dampak yang timbul dari perubahan kultur mania menjadi ultras dan hooligan adalah munculnya konflik diantara supporter yang memiliki aliran berbeda. Contohnya seperti kasus Aremania dan BCS (Brigata Curva Sud) yang berselisih salah satu faktor penyebabnya adalah chants yang dinyanyikan Aremania untuk menyindir BCS “makan tahu tempe pake bilang ale ale” yang menyebabkan kedua belah pihak bentrok di dalam stadion hingga merusak fasilitas bahkan sampai melukai orang lain.
Tindakan itu jelas merupakan tindakan kriminalitas yang sudah mengganggu ketertiban masyarakat umum yang tidak tahu-menahu mengenai masalah tersebut. Hal ini sejalan dengan definisi kriminalitas yang dikemukakan oleh Khairani & Ariesa (2019) kriminalitas adalah tindak kejahatan yang dilakukan secara sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh pria atau pun Wanita yang merugikan orang lain.
Jadi pada dasarnya multikultural yang ada di dalam dunia persuporteran Indonesia merupakan hal yang wajar dari dampak yang dihasilkan oleh adanya globalisasi. Dengan banyaknya cara berekspresi dalam memberikan dukungan kepada tim kebanggan maka akan timbul gesekan terhadap satu sama lain yang didasari oleh rasa ketidak sukaan atau merasa kelompoknya yang lebih baik.