Rabu, Mei 8, 2024

Perguruan Tinggi dan Radikalisme

Fransiska Berliani
Fransiska Berliani
Mahasiswi Departemen Sastra Inggris Universitas Airlangga yang berfokus pada Kajian Budaya. Selain berkuliah, juga aktif mengajar, menerjemah, dan menulis lepas.

Menjelang pertengahan bulan Mei 2018, kerusuhan di Mako Brimob oleh ulah napi teroris yang menyebabkan lima polisi gugur dan empat lainnya terluka cukup parah telah mengguncang Indonesia.

Setidaknya, misi teroris telah tercapai untuk mengirimkan pesan kepada masyarakat bahwa unit khusus Polri setingkat brimob pun mampu mereka taklukan. Tanpa pandang bulu, mereka menganiaya secara brutal, termasuk menggorok para polisi brimob sambil meneriakkan pujian-pujian kebesaran Tuhan. Seakan-akan mereka telah menuntaskan sebuah tugas mulia dari langit.

Selang beberapa hari kemudian, teror beruntut terjadi di tiga gereja di Surabaya, disusul ledakan bom di rusunawa yang terletak di perbatasan Surabaya-Sidoarjo, dan esok harinya sebuah bom kendaraan diledakkan di Markas Polrestabes Surabaya.

Selanjutnya, hasil dari investigasi polisi yang mencengangkan adalah bahwa pelaku bom bunuh diri pada tiga gereja tersebut adalah satu keluarga: seorang ayah, ibu, dan keempat anaknya. Keluarga tersebut baru saja kembali dari Suriah bersama ratusan keluarga lain yang telah tertular ideologi ISIS.

Satu hal yang pasti: tragedi Mako Brimob dan runtutan teror di Surabaya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Sayangnya, tidak semua masyarakat sepakat untuk bersimpati kepada para korban, yakni anggota Brimob di Jakarta dan warga sipil di Surabaya yang gugur karena serangan teroris.

Tak sedikit yang mencoba berasumsi ala teori konspirasi: mulai dari teori konspirasi tentang pembebasan salah satu mantan gubernur yang ditahan di dalam sel Mako Brimob hingga teori konspirasi tentang pengalihan isu lemahnya rupiah beberapa saat terakhir.

Asumsi tak berdasar ala teori konspirasi ini sungguh tak jauh dari buruknya dampak yang disebabkan oleh proses radikalisasi. Radikalisasi membuat korbannya tak segan membela apa yang dipercayainya secara membabi buta, bahkan tak peduli jika hal itu melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Alih-alih bersimpati pada saudara sebangsa yang gugur menjadi korban terorisme, mereka malah mencari justifikasi untuk tindak terorisme itu sendiri.

Pendidikan yang sudah dimulai sejak balita untuk menanamkan nilai-nilai moral terkesan gagal, karena kejahatan yang kasat mata dalam bentuk teror bom seperti ini pun pada akhirnya tetap dicarikan pembenaran. Dari sini dapat dilihat betapa radikalisme telah merenggut rasionalitas para pengikutnya.

Radikalisasi bergerak sangat militan namun halus sehingga seringkali kita tak menyadari keberadaannya. Tiba-tiba saja, rekan sekantor kita, teman sekelas kita, tetangga sebelah rumah, sudah terjangkit virus-virus radikalisme, terutama mereka yang masih bisa dikatakan sebagai remaja tanggung.

Diungkapkan oleh Direktur Wahid Institude, Yenny Wahid, bahwa kelompok yang sangat rentan terdoktrin oleh radikalisasi ini adalah anak muda yang sedang dalam proses pencarian identitas. Yang lebih mengejutkan lagi, tak sedikit dari anak muda yang terradikalisasi berasal dari kalangan mahasiswa. Menurut laporan data yang dilansir oleh Badan Intelijen Nasional (BIN) tahun 2018, terdapat 39% persen mahasiswa berpaham radikal. Mahasiswa-mahasiswa tersebut setuju dengan jihad untuk menegakkan negara Islam.

Hal ini tak lepas dari banyaknya pengajian-pengajian kampus yang membawa isu radikalisasi, oleh penceramah-penceramah berppaham radikal. Tak cukup sampai di situ, ada banyak yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan kelompok radikal menyediakan berbagai macam beasiswa untuk mahasiswa lengkap dengan fasilitas asrama.

Beasiswa seperti ini banyak ditawarkan di universitas-universitas negeri terbaik negeri ini. Di dalam asrama, pengelola yayasan sangat gencar memberikan kurikulum ajaran radikal, sehingga tak heran jika proses radikalisasi berjalan sangat efektif.

Pertanyaanya, apa yang salah dalam perguruan tinggi sehingga banyak mahasiswanya begitu mudah terserang paham radikal? Padahal, jika mengingat kembali bahwa perguruan tinggi mengemban tugas untuk mencetak mahasiswa yang terbiasa berpikir kritis, keadaan idealnya adalah mahasiswa tidak muda terserang paham radikal. Apakah keadaan ini merupakan kecolongan sekaligus kegagalan perguruan tinggi?

Dalam hal ini, evaluasi proses belajar-mengajar sangat perlu untuk dilakukan oleh prguruan tinggi. Ada setidaknya 3 hal dasar yang perlu dijadikan sorotan:

Pertama, pengintegrasian nilai-nilai nasionalisme, Pancasila, dan budaya lokal kepada mahasiswa dalam setiap mata kuliah dan kegiatan kemahasiswaan. Premis andalan kelompok radikal yang paling sering didengungkan adalah bahwa pemerintah Indonesia saat ini adalah pemerintah thaghut dan anti Islam; sistem negara yang menganut demokrasi harus diganti dengan sistem khilafah Islam.

Premis-premis dasar seperti ini tak akan efektif bagi mahasiswa yang memiliki bekal ilmu pengetahuan yang cukup tentang sistem demokrasi, meliputi tentang bagaimana sistem demokrasi Indonesia merupakan sistem demokrasi Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dalam hal ini, perguruan tinggi mengemban tugas untuk memastikan bahwa muatan nilai-nilai tersebut tidak luput untuk diintegrasikan di setiap kegiatan kemahasiswaan.

Kedua, budaya information cross-checking yang masih harus ditingkatkan di perguruan tinggi. Hal ini dapat dimulai dengan cara yang paling dasar seperti penggunaan sumber-sumber berita dari media yang dapat dipercaya dan memeriksa foto-foto artikel di mesin pencari internet.

Selama ini, mahasiswa masih sangat sering menelan informasi mentah-mentah tanpa melakukan cross-checking terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan mahasiswa sangat mudah untuk dicekoki informasi-informasi palsu atau hoax. Tentu hal ini menguntungkan bagi kelompok-kelompok radikal yang ingin mendoktrin mahasiswa dengan paham mereka, yang didukung dengan informasi-informasi yang salah. Kelompok-kelompok radikal ini memanfaatkan kelemahan mahasiswa yaitu tidak terbiasa memeriksa keabsahan suatu informasi.

Yang ketiga, diperlukan integrasi dari seluruh civitas akademika universitas untuk secara konsisten ikut memerangi paham radikal. Upaya kontra radikalisasi tentu tidak akan mudah terlaksana jika masih ada pengajar-pengajar peguruan tinggi yang masih pro paham radikal, sehingga besar tendensi bagi mereka untuk menularkan paham tersebut kepada mahasiswa.

Upaya lain yang bisa dilakukan oleh pihak universitas adalah sebisa mungkin tidak mengundang penceramah-penceramah agama yang sering menyebarkan ajaran radikal dan intoleran. Tidak dapat dipungkiri, penceramah agama memiliki pengaruh besar bagi cara pandang masyarakat tentang agama, termasuk mahasiswa.

Tiga hal tersebut merupakan lagkah sentral yang bisa diambil oleh perguruan tinggi untuk melakukan upaya kontra radikalisasi yang menyerang mahasiswa. Lebih dari itu, yang terpenting adalah komitmen untuk memerangi radikalisme dipegang dengan satu suara oleh semua pihak universitas.

Fransiska Berliani
Fransiska Berliani
Mahasiswi Departemen Sastra Inggris Universitas Airlangga yang berfokus pada Kajian Budaya. Selain berkuliah, juga aktif mengajar, menerjemah, dan menulis lepas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.