Sabtu, April 20, 2024

Perbedaan Makna antara Jihad dan Teror dari Khairul Ghazali

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)

Jihad, kata tersebut selalu dilingkupi oleh ketakutan bagi siapapun yang mendengarnya. Terutama kalangan awam akan menganggap pekikan Takbir dan penggunaan kata Jihad sebagai slogan atau istilah yang akan mengancam nyawa mereka.

Hal itu terjadi karena adanya penyesatan terhadap makna jihad yang selalu disandingkan dengan peperangan. Dalam Islam sendiri, Jihad tidak semata-mata berperang melawan musuh fisik, namun ada penjelasan lebih lanjut, dan dalam buku ini, Khairul Ghazali akan mengutarakannya dengan gamblang.

Sebagai negara yang sudah mengenal pemberontakan dibalut dengan agama (DI/TII), Indonesia memiliki tendensi yang sedikit negatif terhadap kata Jihad. Kartosoewiryo yang merupakan pimpinan DI/TII juga menggunakan kata ini guna melawan pemerintahan berdaulat Republik Indonesia. Permasalahan semacam ini terus berkembang hingga Jamaah Islamiyah dan yang terbaru adalah Jamaah Ansharut Daulah.

Khairul berargumen bahwa pemahaman terhadap terorisme sangatlah lemah dipemikiran kelompok teroris yang meskipun sudah masuk ke Lembaga Pemasyarakatan, masih bersikukuh untuk melakukan tindakan serupa apabila bebas. Para teroris ini, selalu memiliki pembenaran dengan caranya sendiri yang tidak terlepas dari penggunaan dalil-dalil agama sebagai balutan tujuan politisnya. Kaidah agama akan ditafsirkan dan dimanipulasi untuk keuntungan mereka.

Bisa dilihat dari penjelasan diatas, Khairul berusaha menekankan bahwa agama (Islam) tidak menyuruh untuk melakukan teror, melainkan dijadikan instrumen dengan tafsiran yang cenderung sembarangan untuk membenarkan sebuah aksi teror. Terorisme selalu menggunakan kekerasan dan sasarannya adalah masyarakat sipil. Pandangan terorisme semacam inilah yang berbahaya. Terorisme tidak memiliki sasaran tertentu sehingga pelaku teror tidak terikat dengan Konvensi Jenewa, yang implikasinya, tindakan terhadap mereka tidak bisa dilaksanakan dengan pedoman Konvensi tersebut.

Terorisme menyasar penduduk sipil juga karena bertujuan untuk menanamkan rasa takut kepada khalayak umum. Cara untuk menyebarkan rasa takut ini dapat melalui bom bunuh diri (istisyhadiah) atau gerilya (ightiyalat). Teror jelas berbeda dengan Jihad menurut Khairul, karena untuk melaksanakan Jihad harus memiliki tujuan yang mulia dan dilakukan dengan cara yang mulia dan beradab, karena Jihad adalah amalan puncak Islam, dan tidak mungkin amalan puncak ini memiliki tujuan yang biadab seperti aksi teror.

Guna mengartikan Jihad secara komprehensif nan singkat, penulis mengutip dari Raghib Al-Ishafani, Ibnu Qayim Al-Jauziyah & Fakhrudin Al-Razi. Ketiganya memiliki persamaan yakni mengartikan Jihad sebagai perjuangan. Adapun perjuangan ini diutamakan melawan hawa nafsu. Perjuangan dengan menggunakan segenap kemampuan dan potensi demi sebuah tujuan yang mulia. Tujuannya ialah: kebaikan, kebenaraan, kemuliaan dan kedamaian.

Penulis juga menyebutkan beberapa surat Al-Qur’an berkenaan dengan Jihad yakni Al-Furqan ayat 52, surah Lukman ayat 41, Al-Ankabut ayat 8, at-Tahrim ayat 9 dan At-Taubah ayat 41. Seluruh surat beserta ayatnya ini turun sebagai surat Makkiyah, sebelum Rasulullah Muhammad S.A.W melakukan hijrah dan menekankan perjuangan sebagai suatu hal yang bukan berperang fisik, tapi lebih kepada penyucian diri.

Selain mengulas tentang Jihad, Khairul juga berusaha mengaitkan teror dalam kaidah Bahasa Arab yang bukan Jihad, melainkan Al-Irhab, karena Al-Irhab memiliki makna “menggetarkan” yang sesuai dengan kata “teror” yang bertujuan untuk menebar ketakutan. Dengan pemaknaan ini, maka pelaku teror tidak sah disebut sebagai mujahidin, melainkan Irhabi (pelaku teror).

Tidak hanya secara kaidah bahasa Arab, penulis juga mengartikan terorisme melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating International Terrorism di tahun 1999 yang keduanya menekankan sisi “ketakutan” dalam tindak teror. Pemaknaan secara harfiah maupun tafsiran diatas memperlihatkan bahwa Islam sendiri tidak memiliki hubungan dengan tindak terorisme. Namun dalam beberapa rujukan masih ada bias yang mengaitkan terrorism dengan Islam, menjadi Islamic Terrorism.

Khairul juga memperlihatkan bahwa penanganan terorisme di Indonesia hanya berada di hilir, yakni bersifat reaktif, hanya keluar ketika terjadi tindakan terorisme saja. Padahal ia berargumen bahwa bibit-bibit radikalisme yang menjelma menjadi terorisme terus berkembang dikalangan pemuda di Indonesia. Kelompok pemuda inilah yang utamanya harus menjadi sasaran kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia.

Adapun penulis juga mengulas tentang fakto sosial dan psikologis dimana seseorang berkenan melakukan tindak terorisme. Faktor sosiologis disebabkan karena bertempat tinggal di wilayah yang sedang dilanda konflik membuat individu mau melakukan kekerasan bahkan sampai pada titik menteror musuhnya. Dicontohkan oleh penulis di negara seperti Irlandia, Palestina, Syiria, Iraq, dan Libia. Lalu contoh di dalam negeri mengambil daerah Aceh, Poso, dan Papua.

Faktor psikologis yang dijelaskan penulis menekankan kepada pencarian identitas, kurang lebih sama dengan penjelasan Farhad Khoskovar dan Gilles Kepel dalam bukunya masing-masing mengenai bagaimana seorang pemuda yang mencari jati diri jatuh ke dekapan radikalisme. Penulis berargumen bahwa adanya konsep loyalitas yang kuat (baiat) terhadap pimpinannya (amir) agar mendapatkan tempat di Surga menjadi tawaran yang menggiurkan bagi mereka yang bergabung dengan kelompok teroris.

Seseorang dapat bergabung dan bertahan dalam sebuah kelompok teroris karena merasa adanya kesamaan misi antara dirinya dengan kelompok tersebut, urai Khairul Ghazali. Ditambah dengan kebencian yang sudah mengakar dalam individu tersebut yang dapat disalurkan melalui tindakan kelompok teroris, membuat anggota-anggota kelompok ini juga semakin loyal dan militan.

Perlunya menanamkan ajaran untuk mencintai dan mengampuni musuh juga perlu ditanamkan dalam benak individu yang terpapar radikalisme. Inspirasi kelompok radikal ini didapat dari kelompok Khawarij yang selalu mengkafirkan sesama umat Islam yang tidak sesuai dengan pandangannya.

Masih banyak permasalahan lain yang diulas secara mendalam oleh Khairul Ghazali mengenai seluk-beluk radikalisasi dan usaha beliau untuk membedakan Aksi Teror dengan Jihad. Buku ini pada Bab 2 memiliki kesamaan dengan karya Farhad Khoskhovar: Radicalization yang mengulas mengenai alasan-alasan kenapa seseorang menjadi radikal. Terutama pada penjelasan mengenai pencarian identitas yang keduanya menjelaskan tentang permasalahan itu di benak pemuda yang gabung dengan kelompok teroris.

Karya Ghazali ini dapat menjadi pedoman singkat guna memahami makna Jihad, mencegah pemikiran radikal masuk dan mengasah nalar kritis kita terhadap ajaran-ajaran dogmatis kelompok teroris yang kerap menyasar para pemuda. Agenda-agenda yang bertujuan melakukan deradikalisasi dan mencegah terorisme harus memasukkan buku ini dalam daftar rujukannya.

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.