Sabtu, April 27, 2024

Peluang Peran ASEAN di Laut Cina Selatan

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional

Rasa pesimisme saya meningkat melihat peran yang bisa dimainkan ASEAN dalam menyelesaikan konflik klaim di Laut Cina Selatan pada saat ini.

Hingga Juli 2020 ini, kawasan LCS mengalami ekskalasi konflik yang memprihatinkan. Provokasi militer Cina telah menenggelamkan kapal Vietnam di Kepulauan Paracel pada April 2020. Kapal eksplorasi Malaysia yang disewa Petronas dipaksa ‘berbaku badan’ dengan kapal survei Cina. Padahal wilayah itu masih termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia. Langkah provokatif Cina itu direspon Malaysia dengan mengirimkan kapal Angkatan Laut-nya ke lokasi itu, padahal selama ini Malaysia diam saja.

Yang lebih mengkawatirkan adalah bahwa respon Malaysia itu memancing keterlibatan Amerika Serikat (AS). AS pun menegaskan dukungannya kepada negara-negara ASEAN dalam konflik dengan Cina di LCS. Kepentingan AS di LCS adalah menjamin kebebasan navigasi, transparansi, dan supremasi hukum.

Potensi konflik antara Cina dan AS pun makin tinggi ketika AS mengerahkan kapal induk terbesarnya di Samudera Pasifik sejak pertengahan Juni 2020 ke kawasan LCS. Ketegangan yang berkepanjangan antara kedua pihak di LCS itu mengarah pada prediksi potensi Perang Dunia ke-3.

Apalagi AS dan Cina memiliki persoalan domestik yang kompleks pada saat ini berkaitan dengan upaya-upaya mereka menangani pandemi Covid-19. Ada kekawatiran bahwa konflik bersenjata di LCS dipakai sebagai pengalih perhatian dari ketidakmampuan pemerintah kedua negara menangani pandemi.

Dalam kondisi seperti ini, saya melihat ASEAN seperti mati gaya. Berbagai perundingan sejak akhir 1990an menemui jalan buntu. ASEAN memang telah menghasilkan Code of Conduct (CoC) yang mengatur kebebasan navigasi berbagai aktor dalam manfaatkan LCS. Cina pun telahsepakat dalam perundingan dengan ASEAN. Namun, ASEAN tidak bisa berbuat apa-apa ketika Cina mengabaikan kesepakatan CoC itu dan bertindak provokatif terhadap kapal-kapal negara pengklaim LCS itu di lapangan.

Sentralitas ASEAN

Di tengah pesimisme tentang peran ASEAN di LCS, menurut saya, organisasi regional ini sebenarnya masih bisa berkiprah dalam melerai pertikaian di LCS. Peran ASEAN, paling tidak, adalah memberi saran atau himbauan agar pihak-pihak yang bersengketa bersedia kembali ke meja perundingan.

Bagi ASEAN, langkah itu merupakan salah satu upaya ASEAN mewujudkan sentralitas dan kepemimpinannya dalam mengelola berbagai persoalan regional di kawasan Asia Tenggara. Berbagai pertemuan tahunan antara ASEAN dengan negara mitra strategis perlu dimanfaatkan untuk membawa pihak-pihak yang bersengketa lebih mengedepankan kepentingan regional, yaitu stabilitas keamanan bersama di Asia Tenggara.

Meski begitu, saya berpandangan ASEAN kurang tegas meminta komitmen Cina atas kesepakatannya dengan ASEAN dalam penyelesaian konflik LCS. Selama ini ASEAN cenderung bersikap diam pada kontinuitas sikap inkonsisten Tiongkok. Padahal inkonsistensi Tiongkok itu menjadikan konflik LCS makin kompleks dan berkepanjangan.

Saya masih berkeyakinan bahwa sentralitas ASEAN lebih memudahkan berunding dengan Tiongkok berdasarkan Declaration of Conduct (DoC) mengenai LTS yang disepakati bersama sejak 2002. Selanjutnya, Tiongkok dan ASEAN harus segera membicarakan hal-hal teknis dari CoC sebagai panduan perilaku di LTS. Selain itu, ASEAN dan Cina juga telah bersepakat untuk terus mendorong penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Dokumen dasar itu menjadi panduan bagi perundingan diplomasi dan di lapangan berkaitan dengan potensi-potensi kerja sama di LTS, kebebasan navigasi, dan keamanan regional. Di akhir KTT ke-36 ASEAN pada Juni 2020, para pemimpin ASEAN menegaskan arti penting upaya-upaya “non-militer dan pengendalian diri dalam membangun perdamaian dan stabilitas regional, serta menghindari tindakan yang dapat memperumit situasi.”

Kesepakatan itu memiliki arti strategis bagi negara-negara anggota ASEAN untuk memperkuat kerja sama dan persatuan mereka sebagai mesin penggerak utama bagi stabilitas dan perdamaian di kawasan. ASEAN harus menjadi pemain utama atau subyek di kawasan Asia Tenggara dan tidak menjadi obyek permainan kekuasaan di antara negara-negara besar.

Penyeimbang Cina

Memang harus diakui bahwa jalan menuju ASEAN bersatu tidak mudah dicapai. Selain faktor eksternal di atas, saya mencatat beberapa faktor internal di dalam ASEAN yang mengurangi peluang ASEAN berperan dalam konflik di LCS selama ini.

Salah satu faktor itu adalah kebersatuan negara-negara anggota ASEAN. Ada inkonsistensi sikap negara anggota ASEAN terhadap Cina. Kamboja, misalnya, merupakan pendukung utama kepentingan Cina. Walaupun akhirnya menyetujui Komunike ASEAN, sebenarnya Kamboja masih mempertahankan dukungannya kepada Cina. Dukungan itu diyakini membuat Cina bersikukuh mengklaim kepemilikan hampir 90 persen wilayah LCS dan mampu ‘memainkan’ kerjasama dengan negara-negara ASEAN.

Faktor kedua adalah urgensi mengenai perlunya ‘partisipasi’ negera-negara lain di kawasan Asia untuk menekan Cina. Upaya menekan Cina terjadi ketika angkatan laut Cina sedang latihan militer di LCS pada awal Juli 2020, AS juga mengirimkan dua kapal induknya (aircraft carrier) ke wilayah sengketa itu. Selain itu, kapal-kapal tempur Jepang, India, dan Filipina merapat ke AS di LCS dengan alasan menjaga keseimbangan kekuatan di teritori tersebut.

Saya melihat upaya-upaya ini dapat mengurangi ketegangan di kawasan LCS. Beijing diharapkan menyadari urgensi stabilitas keamanan di LCS sangat terkait dengan upaya memulihkan citranya di mata dunia internasional sebagai akibat dari episentrum awal dari virus Covid-19. Sementara itu, tindakan provokatif dan intervensionis Cina di LCS justru semakin memperburuk citra internasionalnya sebagai kekuatan regional di Asia.

Dalam kendisi itu, ASEAN masih memiliki peluang untuk mengajak atau, bahkan, memaksa pemerintah Cina untuk kembali ke meja perundingan untuk membicarakan kode etik sebagai cara untuk memulihkan citranya di kawasan itu. Di tengah pesimisme ini, saya yakin bahwa ajakan ASEAN kepada pihak-pihak bersengketa ke meja perundingan menjadi cara paling mendesak dan strategis yang bisa dilakukannya pada saat ini.

Semoga kebersatuan negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan konflik LCS dapat membuat mereka seperti “pasangan kekasih, tidur seranjang, dan memimpikan orang yang sama.”

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.