Gerakan mahasiswa belakangan bangkit ketika usaha DPR (legislatif) dan Pemerintah (eksekutif) berupaya merubah beberapa Undang-Undang. Gerakan ini dinamai Reformasi Dikorupsi. Gerakan dimana mencoba mengembalikan reformasi yang dikorupsi. Tetapi pertanyaan nya adalah, apakah reformasi memang benar-benar dikorupsi? Atau karena Reformasi yang nyatanya gagal membangun sistem?
Gerakan mahasiswa mandek. Mengandalkan kerusuhanan menghasilkan reformasi yang jauh lebih parah buruk nya, dan lebih parahnya lagi manusia-manusia yang menduduki gedung dpr saat reformasi menjadi aktor saat ini. Dan akhirnya gerakan mahasiswa terdiam, karena senior-senior nya duduk santai di ruang dewan dan senator.
Masih banyak lagi kegagalan yang terjadi. Belum selesai dengan gerakan, masalah baru di internal mahasiswa terjadi. Organisasi-organisasi mahasiswa yang pongah –baik itu internal serta eksternal-, dan cenderung feodal bersifat kerajaan senior-junior, belum lagi mudah di tunggangi kepentingan-kepentingan. Kelompok-kelompok mahasiswa yang katanya pembebas, yang nyatanya pikirannya tidak bebas –medioker merupakan kata yang tepat, meminjam istilah Rocky Gerung dalam Essay Pasca 1998: Surplus Fanatisme, Defisit Akal-. Lalu membebaskan siapa?
Hedonisme mahasiswa, yang tidak didukung dengan aktivitas perbaikan masyarakat. Adanya perbaikan masyarakat, itupun berbentuk KKN di kampus, menjijikan. Mahasiswa yang didoktrin ilmu-ilmu positivisme, tanpa pernah diajarkan bertanya, dan berfikir. Hal itu terwujud dalam penelitian-penelitian instrumentalis –meminjam Mazhab Frankfurt dalam Teori Kritis nya- bergaya positivis berbentuk Skripsi, Tesis, Paper Jurnal dan hal-hal lainya yang katanya akademik.
Belum lagi, untuk mahasiswa-mahasiswa yang tidak mengetahui mengenai arti kata ‘intelektual’ yang menghadirkan jiwa intelegensia –meminjam istilah Gie dalam Catatannya-, yang dia urus hanya game dan pacar. Yang penting kerja dan memperbaiki bangsa, bukan betul begitu? Memperbaiki bangsa atau memperparah bangsa dengan kerja-kerja yang tidak membawa perubahan?
Membosankan nya kehidupan mahasiswa, gerakan mahasiswa menjadi ajang momentual, setelahnya dia bersenang-senang, mengetahui tapi bodoamat kelanjutannya, yang penting pernah menjadi mahasiswa dan mengikuti aksi gerakan, betul begitu?
Sedangkan elite mahasiswa, yang sudah ditakar menjadi politisi yang melihat dan mengikuti senior-senior nya yang pongah dan dungu dihadapan kekuasaan yang dilapisi oligarki, sungguh menyedihkan menjadi elite mahasiswa. Lebih parah dari itu, ketika elite mahasiswa yang berasal dari kampus ternama, berkoar-berkoar dimedia massa, yang akhirnya menjadi penganut instagramisme dan menjadi badut bagi fans nya. Yang ini benar-benar menjijikan.
Saya rasa kita perlu bertanya, kenapa menjadi mahasiswa benar-benar menjadi ajang formalitas dalam kehidupan manusia di bumi ini. Apakah benar ini dampak sistem pendidikan instrumentalis menjadikan mahasiswa seperti ini? Atau memang benar-benar yang kita lakukan hari ini sejatinya benar? Rasa-rasanya membiarkan ekosistem mahasiswa seperti saat ini, adalah kesalahan. Perubahan adalah kata yang tepat untuk melengkapi nya. Tetapi dengan apa? dan bagaimana?
Pertanyaan-pertanyaan kritis, pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita beripikir, setidaknya membebaskan yang katanya mahasiswa, dari kepongahan sistem yang ada. Mari kita sejenak berdiam untuk berpikir, melepas pikiran tentang dosen-dosen yang membosankan masuk kelas hanya untuk duduk memberikan materi dari slide power point dan juga materi nya berbentuk point yang sebenarnya bisa kita baca. Sungguh sadis dosen menjijikan seperti ini.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan dan dibahas dalam essay ini. Pertama, terkait Gerakan Politik Mahasiswa, kritik atas apa yang terjadi, kegagalan gerakan mahasiswa, kepongahan organisasi mahasiswa, hilangnya politik moral menjadi politik praktis. Kedua, terkait penelitian mahasiswa, kritik atas penelitian instrumentalis bergaya positivis, yang tidak juga bermanfaat dimasyarakat, cenderung menguntungkan dan melanggengkan kekuasaan yang oligarkis, dan parahnya dibuang ditong sampah atau menjadi bungkus gorengan.
Sebuah Pembahasan: Kritik Gerakan Mahasiswa & Mengembalikan Politik Nilai Mahasiswa
Gerakan mahasiswa sungguh membosankan, jika tidak momentual berdasarkan tanggal kalenderan hari besar atau menunjukan eksistensi sebagai ‘organisasi mahasiswa’ -baik internal maupun eksternal- yang setelah aksi mengeluarkan bendera dan foto-foto bak selebgram, itulah yang terjadi dikampus saya. Tetapi saya rasa hampir keseluruhannya sama, bukan?
Dari skala kampus hingga nasional sama sahaja, membosankan. Gerakan Reformasi? Gerakan Reformasi Dikorupsi? Hanya menghasilkan manusia-manusia pendusta, yang sama dilakukan oleh orang yang dikritik nya dulu. Atau jika berkaca pada Reformasi Dikorupsi, menjadikan salah satunya –mahasiswa UGM- menjadi influencer yang di elu-elukan para fansnya. Sifat ketokohan memang termanifestasi di Indonesia yang diwarisi kerajaan, merasuk cara hidup dari agama, bangsa, hingga gerakan mahasiswa. Sekali lagi, menjijikan.
Atau aksi momentual tersebut dijadikan objek laporan pertanggungjawban program kerja Badan Eksekutif Mahasiswa? Ya, itu tidak mengapa, ketimbang kegiatan BEM yang konsumtif bergaya Event Organaizer dengan segala jobdesknya tanpa membawa nilai perbaikan masyarakat, terlebih menjual mahasiswa baru menjadi panitia dengan embel-embel sertifikat. Sekali lagi, menjijikan.
Perlu adanya perubahan paradigma gerakan dan internal mahasiswa. Setiap tesis (gerakan terhadulu) selalu ada anti-tesis (konsep gerakan terbaru) yang selalu bergerak memperbaiki konsep dan masyarakat. Dengan apa? dan Bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan yang memicu kita berfikir, setidaknya mefrefleksikan diri.
Jika dilihat gerakan mahasiswa berujung kepada hilangnya marwah ‘suatu kehormatan’ sebagai mahasiswa yang di elu-elukan. Terdapat beberapa faktor (1) faktor gerakan mahasiswa dan (2) faktor internal mahasiswa.
Setidaknya dari kedua faktor tersebut, harus terdapat anti-tesis untuk memperbaikinya. Singkatnya terdapat 2 point yang dikaji, pertama, perubahan paradigma gerakan mahasiswa (Politik Nilai dan Politik Keilmuan) sebagai anti tesis dari gerakan mahasiswa lama. Kedua, paradigma penelitian kritis sebagai anti-tesis internal mahasiswa yang instrumentalis (lihat penjelasan di latar belakang).
Dari kedua hal tersebut – gerakan dan paradigma penelitian- dimulai dari Gerakan. Gerakan perlu berpihak, berpihak untuk memperbaiki masyarakat. Dari tujuan memperbaiki masyarakat mendapat nilai, bentuknya banyak. Jika saja, masalah masyarakat adalah krisis ekonomi (bisa berbentuk hukum, pendidikan, dsb) berwujud korupsi (bisa berbentuk pasar, dsb), ialah gerakan politik nilai anti-korupsi.
Dimana nilai tersebut dimanifestasikan kedalam sebuah aktivitas mahasiswa, tidak hanya momentual. Salah satunya ialah keilmuan, jika saja mengambil nilai anti-korupsi. Bagaimana keilmuan berwujud riset (penelitian) menjadikan korupsi sebagai bahasan penting. Tetapi penelitian yang seperti apa? penelitian yang kritis (paradigma kritis) sebagai bentuk memperbaiki masyarakat.