Selasa, April 30, 2024

Politisi Islam Indonesia Belajarlah dari Natsir!

Ruhul Amin
Ruhul Amin
Lulusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Aktivis IMM

Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini, selain punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan juga punya andil dalam menopang jalannnya demokrasi. Kepercayaan akan Tuhan dalam sanubari para pemeluknya juga melekat, kepercayaan bahwa negeri ini adalah titipan Tuhan yang harus senantiasa dijaga bersama.

Jejak agama mayoritas ini terpatri dalam perjalanan bangsa dan negara semenjak perjuangan melawan penjajah. Banyak ulama dan pangeran dari kerajaan Islam memainkan peran lewat perperangan, walaupun akhirnya mereka kalah lalu ditangkap, diasingkan dan wafat di tanah yang lain.

Kita bisa menyebut Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, bahkan juga ada perempuannya seperti Cut Nyak Dien dan Laksamana Malahayati, dan yang lainnya.

Pada awal abad 20-an, para tokoh Islam memainkan peran tidak lagi lewat perang fisik. Mereka lebih memilih membangunkan kesadaran rakyat terutamanya para pemuda untuk paham keadaan tanah airnya. Lewat organisasi-organisasi yang didirikan dan pusat pendidikan Islam yang modern, generasi penerus bangsa dibentangkan layar berpotret keadaan bangsa berbanding dengan keadaan dunia kala itu.

Dapat kita menyebut Syarikat Islam (sebelumnya Syarikat Dagang Islam) dengan tokohnya H. Samanhudji dan HOS Tjokroeaminoto, Muhammadiyah oleh K.H Ahmad Dahlan, Nahdhatoel Ulama oleh KH Hasyim Asyarie, Persatuan Islam oleh Ahmad Hassan, dan banyak lagi orgasnisasi Islam lainnya.

Untuk pendidikan Islam modern banyak tumbuh di Sumatera Barat (lebih khusus disebut Minangkabau) lewat Abdullah Ahmad dengan HIS Adabiahnya di Kota Padang, Haji Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang, Rahmah El-Yunusiyah denga Diniyah Puterinya. Ringkasnya para tokoh Islam melalukan perjuangan tidak lagi lewat pertempuran fisik tapi pada perjuangan intelektual lewat organisasi dan pendidikan yang mereka bina bangunkan.

Melewati fase kemerdekaan, perjuangan untuk melanjutkan cita-cita proklamasi tidak mengendur sedikitpun jua. Belanda dengan dibantu para sekutunya masih ingin menguasai Indonesia. Meletuslah perang di Surabaya, Bung Tomo dengan pekik kalimat agung “Allahuakbar” membangkitkan semangat juang rakyat Surabaya yang sebahagian besar adalah para santri untuk melawan Belanda dan sekutunya. Jadilah tanggal pertempuran itu 10 November kita peringati sebagai hari pahlawan.

Ada juga fase sejarah bangsa ini diselamatkan dari kekosongan saat para pemimpin kita ditangkapi Belanda pada agresi militernya yang kedua. PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) ditegakkan Syafruddin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi, di Bukittinggi lalu dibawa jauh ke dalam hutan Sumatera untuk menghindari serangan udara Belanda.

Ketika negara sudah diakui kedaulatannya oleh Belanda, namun Belanda masih sempat mengacak-ngacak kesatuan kita dengan memaksa pembentukan Republik Indonesia Serikat. Tokoh dari partai politik Islam muncul memainkan lobi ke semua fraksi di parlemen menyelamatkan negara lewat mosi integralnya.

Munculnya istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsa dan negara terselamatkan melalui perjuangan konstitusi. Soekarno tanpa ragu ketika menunjuk M. Natsir sebagai perdana menteri, dengan alasan Natsir dan partainya punya konsep menyelamatkan negara lewat konstitusi. Hasilnya rekam jejak politik bangsa dan negara ini tidak pernah absen dari keikutsertaan tokoh-tokoh Islam yang ada.

Sekian banyak tokoh Islam dari berbagai generasi dan fase kebangsaan dan kenegaraan kita, tokoh yang terakhir lah penulis ingin ulas sedikit di sini, yakni Mohammad Natsir atau lebih sering dipanggil Pak Natsir. Natsir lahir 15 Juli 1908 di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Dia merupakan jebolan AMS (Algemeene Middelbare School) jurusan Sastra Klasik Barat di Bandung yang juga merupakan sekolahnya Sutan Syahrir.

Setamatnya dari sekolah tersebut, Natsir mendapat beasiswa untuk lanjut di Rechtschoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum untuk mendapat gelar Mr (Meester in de Rechten). Namun dia lebih bergairah turun serta dalam perjuangan se-generasinya untuk usaha memerdekakan bangsa. Dia aktif pada Jong Islamieten Bond di Bandung.

Mendirikan lembaga bernama Pendidikan Islam untuk ikut serta membangun generasi muda. Natsir belajar Islam secara intensif dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh organasasi Persatuan Islam berketurunan India.

Dengan Ahmad Hassan lah, Natsir banyak memperoleh pengetahuan Islam yang luas lewat diskusi dan pinjaman buku-buku Islam yang banyak (Hassan punya usaha percetakan). Lewat kombinasi pengetahuan Islam dan aktifitasnya di organisasi Islam (Jong Islamieten Bond dan Persatuan Islam), menjadikan dirinya memilih bergabung dengan partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan November 1945.

Natsir memulai karir di Masyumi dengan menjadi anggota Pimpinan Pusat Masyumi pada kongres 1945, setelah itu Natsir terpilih menjadi ketua pada kongres-kongres selanjutnya hingga tahun 1958 digantikan Prawoto Mangkusaswito.

Sebagai politisi Islam, Natsir telah melatih dirinya di organisasi-organisasi yang ada kala dia muda. Intelektualnya diisi dengan baik seiring jalan dengan pengetahuan Islamnya. Penanya tajam, tak membuatnya canggung untuk beradu argumen lewat tulisan. Dia juga dibekali kemampuan orator, sebagai salah satu ciri khas aktivis Islam saat itu.

Terjun ke gelanggang politik pasca proklamasi, terutama selepas agresi militer Belanda II, menjadi salah satu bintang dalam perpolitikan Indonesia. Semenjak menjadi Menteri Penerangan di Kabinet Syahrir II, Natsir menjadi kesayangan presiden Soekarno. Soekarno yang dulu (1930-an) berdebat sengit lewat tulisan tentang Islam dan Negara dengan Natsir, pada saat itu tak mau menerima draft pidato yang belum diteliti oleh pak Natsir.

Bahkan sebagian besar teks pidato Soekarno, Natsir lah yang menuliskan. Puncak karir politik Natsir adalah terpilihnya sebagai Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suatu bentuk atau istilah yang muncul hasil dari perjuangan politiknya juga. Natsir menyelamatkan negara Indonesia yang terpecah-pecah dalam beberapa negara bagian lewat lobi politik dan mosi integralnya tahun 1950.

Kegemilangannya di dunia politik, menjadikannya idola bagi tokoh dan aktivis Islam generasi berikutnya. Tak kurang dari Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Amien Rais menjadikannya panutan walaupun interpretasi dan pengejawantahan ide dan semangat Natsir menjadi berbeda karena tuntutan zaman.

Cak Nur sangat mengidolakan Natsir karena semangat modernisme Islam yang dibawanya. Islam modern yang dibawa Natsir menjadi inspirasi generasi Islam selanjutnya untuk mengisi kemerdekaan Indonesia.

Adalah HAM dan demokrasi yang menjadi poin penting dalam modernisme Islam yang dibawa Natsir. Ketika penyusunan konstitusi baru di Majelis Konstituante pasca pemilu 1955, Natsir dengan partainya Masyumi sangat aktif untuk meloloskan pasal-pasal yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Suatu kegiatan politik mulia yang tidak terekam ingatan bangsa ini karena usaha tersebut digugurkan dengan Dekrit Presiden Juli 1959.

Mengenai masalah demokrasi, Masyumi semenjak ikut serta dalam Demokrasi Parlementer selalu mengupayakan lahirnya pemilihan umum secara langsung untuk menentukan wakil-wakil rakyat. Dan usaha itu berbuah hasil tahun 1955 ketika kadernya Burhaddin Harahap menjadi perdana menteri.

Bahkan terhadap lawan politiknya PKI (Partai Komunis Indonesia), Natsir memilih untuk menghadang mereka lewat pemilu, biar rakyat yang menentukan. Dengannnya Natsir bisa sangat emosional ketika beradu argumen di Majelis Konstituante dengan lawan-lawan politik. Namun begitu cair dan akrab ketika “ngopi” di kantin Konstituante.

Kesederhanaan menjadi ciri lain yang melekat pada pak Natsir. George Mc. Turnan Kahin, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, menyaksikan seorang menteri dengan jas bertambal. Bahkan para staf kementerian pernah patungan untuk membelikan jas yang pantas untuk bos mereka. Sesuatu hal yang menurut Kahin, tak pernah ia saksikan di negara manapun. Pak Natsir juga selalu memakai kemeja yang itu-itu saja, ia cuma punya dua kemeja butut.

Kecintaan Natsir pada negara Republik Indonesia benar-benar dibuktikan dengan konkrit. Setelah tahun 1950 ia menyelamatkan kesatuan negara, pada masa awal pemerintahan Orde Baru, Natsir kembali menyelamatkan hubungan diplomasi Indonesia dengan dan Malaysia. Malaysia yang pernah diganyang pada masa Soekarno, menolak utusan Soeharto untuk bertemu.

Namun utusan Indonesia bisa diterima tatkala Natsir menitipkan sepucuk surat kepada Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman. Jepang mengucurkan bantuan dana kepada Indonesia setelah Natsir berbicara di depan para pengusaha Jepang, Kuwait pun demikian.

Semua bantuan itu dilakukan walaupun aktitifitas politiknya dibatasi bahkan tak diperbolehkan sama-sekali. Namun puncak kecintaannya dibuktikan dengan penandatanganan petisi 50 yang mengecam pidato presiden Soeharto di markas Kopassus, Cijantung. Natsir dan kawannya yang lain mengingatkan bahwa ucapan presiden adalah perintah tak boleh diucapkan sembarangan.

Tulisan ini hanya ingin memotret kembali politik yang dijalankan oleh seorang tokoh intelektual sekaligus politisi Islam terkemuka, disegani lawan dan disenangi para kawannya. Bahwa dunia Islam Indonesia pernah memiliki seorang yang hidupnya lurus-lurus saja, sangat bersahaja dan jauh dari cerita-cerita dramatis ala tokoh-tokoh di perfilman.

Menjalanai kehidupan dengan sederhana dan teguh memegang prinsip, tapi juga sangat pluralisme dalam pergaulan, akrab dengan siapa saja yang dia kenal serta yang terpenting menjadi kampiun demokrasi.

Menaklukkan politik yang penuh jebakan dan godaan dengan caranya sendiri, tak terpengaruh dengan gaya dan cara yang materialisme. Kelembutan menjaga tutur kata, keluwesan pergaulan dan kesederhanaan menyatu dengan kegigihan mempertahankan sikap dan konsistensi pendirian.

Sekarang begitu banyak aktivis Islam yang menyemai diri di organisasi-organisasi kemahasiswaan Islam. Bernaung di bawah organisasi-organisasi Islam terkemuka tanah air, bahkan memilih kendaraan politik pada partai poltik Islam atau yang berbasis masa Islam. Tapi apakah ada yang bisa mendekati Natsir, dalam hal intelektualisme, pengetahuan Islam mumpuni, kelihaian berkomunikasi dan konsistensi serta kegigihan memperjuangkan prinsip.

Kalau sederhana ala Natsir yang ditawarkan mungkin cukup sulit untuk menembus perpolitikan tanah air. Tapi setidaknya politisi sekaligus intelektualisme yang menjadi ciri politisi Islam waktu itu diikuti konsistensi dan kegigihan mempertahankan prinsip, setidaknya akan menarik gurat wajah politik Indonesia agar lebih cerah.

Kita tunggu saja, semoga tak bertahun berbilang masa mungkin tak dapat yang serupa. Semoga substansi Islam modernis yang ditunjukan Natsir kembali ditawarkan oleh para politisi Islam kita bukan jubah, peci, kopiah, sarung atau pernik aksesoris penanda keIslaman lainnya.

Ruhul Amin
Ruhul Amin
Lulusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Aktivis IMM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.