Agama adalah suatu identitas yang seyogianya setiap orang memilikinya. Karena di dalam agama terdapat norma-norma yang menuntun penganutnya untuk mengarungi samudra kehidupan. Islam mengajarkan aspek-aspek sosial tidak terkecuali hubungan dengan sesama manusia “hablum minannas”, juga menyampaikan ajaran yang lebih sakral seperti ketundukan pada Sang Maha Hidup “hablum minallah”.
Tentu jika dirunut lebih jauh, Islam tidak saja membahas tentang dua hal di atas. Sejauh ini semua cukup terakomodir melalui pesan-pesan yang sampai kepada kita berupa Wahyu dan rincian-rincian Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Jika dipahami secara kontekstual maka keduanya akan relevan saja jika diterapkan dengan model kehidupan era sekarang. Namun, ketika dimaknai secara teks, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kontradiksi antara si wahyu dan si realitas.
Pemahaman agama Islam memang cukup rumit. Sehingga tidak semua orang berani berdalil untuk bermaklumat salah dan benar. Walau pada kenyataannya, terdapat orang yang secara sembrono berfatwa dengan dasar satu atau dua ayat yang ia pahami secara subyektif.
Hal tersebut membuktikan bahwa, tidak semua orang mempunyai bekal khusus dalam mengkaji Islam. Karena nampaknya untuk mengetahui makna yang lebih jauh lagi diperlukan sebuah proses panjang, massif dan kontinu. Jadi tidak bisa didapatkan dengan modal instan yang hasilnya akan melahirkan sikap yang serampangan.
Pondok pesantren merupakan salah satu media yang tepat untuk mendapatkan asupan-asupan Islam yang lebih mendalam. Karena di sana akan diajarkan secara sistematis dalam mengkaji pesan-pesan Allah.
Dikupas tuntas hingga akar-akarnya. Berbeda dengan apa yang terdapat di sekolah formal pada umumnya, yang kajiannya masih bersifat permukaan. Namun begitu, tentu tidak semua pondok pesantren memiliki kultur dan ideologi yang sama.
Ada pula justru melalui pondok pesantren, santri-santri diajarkan kepada nilai-nilai Islam yang serba eksklusif, tertutup dan relatif kaku. Maka dalam hal ini, yang penulis maksud ialah pondok pesantren yang memiliki kultur ke-Islaman yang menjunjung tinggi nilai kemoderatan.
Siapa yang Paling Menentukan ?
Lalu bagaimana nasib untuk orang-orang yang belum pernah sama sekali mencicipi kajian dengan kultur pondok pesantren ? Apakah orang-orang yang belum pernah mondok akan mengalami keterbelakangan atas agamanya sendiri ? atau justru malah akan menjumpai model Islam yang lebih modern yang sesuai perkembangan zaman.
Banyak yang berkata, bahwa rata-rata orang yang menginginkan sebuah pentotalan diri terhadap syariat Islam ialah orang yang baru mengenal apa itu Islam. Hal itu ada benarnya, walau tidak sepenuhnya.
Karena berawal dari ketidakpahamannya untuk memaknai Islam, maka memunculkan sebuah celah, celah itu adalah kebimbangan. Kondisi ‘rapuh’ dialami oleh orang yang merasa minim dalam pengetahuan keberislaman.
Mereka terseok-seok dalam pusaran tanda tanya, apalagi saat di mana mereka menemukan adanya kenyataan hidup yang bertolak belakang dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal tersebut akan memberikan sumbangsih dalam pembentukan sebuah pola pikir yang kaku.
Biasanyaa hal itu terjadi kepada remaja-remaja yang telah selesai menjalani masa pendidikannya di bangku SMA. Masa ini menurut saya merupakan titik yang paling riskan untuk penentuan nasib ke-Islaman mereka ke depan. Karena di fase inilah mereka akan berhadapan langsung dengan sebuah fakta-fakta Islam yang beragam. Berbagai aliran lengkap dengan segala coraknya.
Lalu sebenarnya berada ditangan siapa nasib ke-Islaman mereka ? Terlepas dari pengaruh kultur lingkungan dan teman bergaul, tentu yang paling dominan adalah penentuan dari mereka sendiri. Karena bagaimana pun pengaruh eksternal itu menghampiri, jikalau mereka tetap teguh pada pendiriannya, maka semua akan mentah. Sayangnya kebanyakan orang tidak seperti itu.
Berangkat dari celah yang bernama kebimbangan tadi, maka pengaruh yang datangnya dari luar akan sangat berdampak pada pilihan mereka. Akan berbeda jika dibandingkan remaja yang sudah lebih dulu menjumpai kajian Islam yang didapat dari pondok pesantren. Karakter mereka sudah mulai terbentuk. Jadi ketika ia mulai masuk ke dalam suasana hidup yang corak Islamnya lebih kompleks, ia tidak merasa heran jika mendapati sebuah perbedaan-perbedaan pemahaman atas Islam itu sendiri.
Cara yang paling sederhana untuk menjelaskan seperti ini ; andai kata remaja yang notabene lulus dari sekolah umum, pertama kali bertemu dengan corak Islam yang lebih dominan pada spirit penegakkan syariat, maka kemungkinan besar ia akan larut ke dalam golongan yang mempunyai spirit serupa.
Akhirnya ia akan bersikap serba Islam, sebut saja ihwal berpakaian. Islam seolah dipersempit ruang geraknya, hanya sekadar apa yang tersurat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebalikannya, yakni remaja tersebut pertama kali berhadapan dengan corak Islam yang lebih ramah dan fleksibel. Jadi dengan model yang dominan kepada kerukunan antar umat manusia, lintas aliran, lintas budaya bahkan lintas agama sekalipun. Maka kemungkinannya ia pun juga akan mempunyai sifat yang kemudian lebih toleran terhadap segala perbedaan.
Maka dari itu, terkhusus untuk remaja yang berasal dari non-pondok pesantren, sebenarnya penentuan nasib mereka berada pada fase transisi dari pendidikan SMA ke dunia kehidupan secara riilnya. Apalagi jika latar belakang keluarga juga tidak memiliki basic agama Islam yang mumpuni. Karena ketidakpahaman orang tua lah yang kemudian membiarkan sang anak mencari jati dirinya seorang diri.
Maka idealnya, terutama untuk pelajar non-pondok pesantren harus lebih memberanikan diri dalam meninjau sebuah realitas-realitas terutama ihwal keagamaan. Karena kalau bukan melalui diri sendiri, siapa lagi yang akan membawa kita ke dalam teori Islam yang lebih mengintepretasikan rahmatan lil ‘alamin, yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bukan saja rahmat bagi orang-orang yang beragama Islam, bahkan bagi semua orang di luar Islam sekalipun.