Jumat, April 26, 2024

Merawat Toleransi dari Pulau Bali

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.

Konon katanya Indonesia merupakan negara majemuk yang paling demokratis, bahkan bagi para intelektual Muslim moderat seperti Nur Cholis Majid dan KH. Abdurrahman Wahid, tidak ada negera yang lebih islami dari pada Indonesia.

Ungkapan ini bukanlah tanpa alasan. Betapapun disintegrasi antar golongan beda agama sering tidak dapat dihindari, gejalanya hanya terjadi di satu daerah saja dan tidak sampai meluas apalagi menjadi konflik nasional (peristiwa bentrok antara Sunni-Syiah di Madura, Jember, dan Ahmadiyah di Kuningan adalah contohnya). Ini berbeda dengan apa yang saat ini sedang terjadi di negera Arab. Konflik dua kelompok yang sedang terjadi, misalnya, akan terus meluas dan menjadi konflik nasional di Timur Tengah.

Dalam hal kebebasan berpendapat, misalnya, Indonesia betul-betul memberi ruang kepada siapa saja untuk mengekspresikan pendapat mereka kepada pemerintah tanpa dibatasi waktu. Tak heran terkadang kebebasan ini disalah gunakan oleh kalangan yang belum sempurna pemahamannya tentang demokrasi.

Meski beberapa hal masih perlu ditingkatkan seperti penegakan hukum, kemiskinan, dan keadilan sosial, Indonesia menjadi satu-satunya negara—paling tidak hingga saat ini—yang dikenal akan keunggulan toleransi masyarakatnya. Toleransi ini dipraktikkan oleh masyarakat kita dalam banyak perbedaan baik agama, suku, bahasa, budaya, dan etnis.

Demo berjilid-jilid yang terjadi di Ibu Kota Jakarta beberapa waktu lalu sebetulnya tidak dapat merusak toleransi keseluruhan masyarakat di Indonesia. Kendatipun begitu, kita harus mengakui bahwa peristiwa tersebut telah mencederai nilai-nilai toleransi bangsa kita.

Terlepas dari faktor apa yang menyebabkan isu SARA di Jakarta ini merebak, Indonesia dengan keunikannya tetap dikenal sebagai negara yang paling toleran terhadap keragaman. Media sebetulnya mengerti akan fakta ini, hanya saja kurang banyak memberitakan kadar toleransi di daerah-daerah selain Jakarta. Banyak kelompok minoritas di bagian timur Indonesia, misalnya, yang berhasil merawat sikap toleransi beragama mereka. Kita bisa melihatnya di NTT, Papua, dan Bali.

Penulis sendiri merupakan pribadi yang mengalami keberadaan toleransi ini di pulau Bali. Sudah sekitar dua bulan penulis tinggal di pulau yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Menurut sensus penduduk tahun 2010 lalu, masyarakat Muslim di Bali berkisar sekitar 13% dari jumlah keseluruhan pendudukya. Itupun mereka adalah kebanyakan pendatang dari pulau Jawa dan pulau lainnya. Lantas apa yang membuat toleransi beragama di Bali begitu terjaga?

Masyarakat Hindu di Bali memiliki keyakinan bahwa manusia harus hidup damai dengan Tuhan, alam, dan sesamanya. Keyakinan ini dikenal dalam istilah Tri Hita KaranaPengamalannya sangat melekat diajarkan kepada pemeluk agama Hindu sejak kecil di Bali. Sebenarnya di semua agama memang mengajarkan hal yang sama. Namun harus kita akui, masyarakat Hindu berhasil mempraktikannya dengan baik.

Sebagai contoh: para pendatang yang mayoritas adalah Muslim memiliki tempat yang baik dalam hal pekerjaan mereka di Bali. Pasar, kantor, dan tempat-tempat dilangsungkannya roda perekonomian lainnya hampir seluruhnya lebih dikuasai Muslim pendatang dari pada masyarakat asli Bali. Mereka yang beragama Hindu dan asli penduduk Bali tidak merasa terganggu apalagi terjajah.

Dalam kesehariannya, keduanya bahkan saling bekerja sama. Di daerah Gianyar, misalkan, terdapat satu pabrik penggilingan daging yang khusus dijadikan tempat penggilingan daging halal oleh masyarakat Muslim di sekitarnya. Ini sudah disepakati bersama selama bertahun-tahun oleh masyarakat asli Gianyar dan Muslim pendatang.

Anjing dan babi, misalnya, yang menjadi hewan suci dan dikonsumsi oleh masyarakat Hindu di Bali juga tidak menjadi perkara yang rumit bagi Muslim minoritas untuk beraktifitas. Mereka tetap harmonis dengan menjaga batasan-batasan syariat Islam secara kaffah.

Kendatipun Bali pernah dibom oleh sekelompok Muslim tahun 2002 lalu, masyarakatnya hingga kini masih teguh menjaga toleransi dan menghormati Muslim pendatang. Bahkan dalam urusan shalat, jika kita tengok di masjid-masjid di Bali, setiap shalat Jum’at dan shalat hari raya tidak jarang akan terlihat pecalang atau polisi adat masyarakat Hindu yang membantu mengamankan arus lalu lintas dan ketertiban kendaraan di sekitar masjid.

Hubungan harmonis antara masyarakat Muslim dan Hindu ini sebetulnya perlu banyak diberitakan melaui media-media nasional sehingga semua kalangan tidak melihat apa yang terjadi di Ibu Kota beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah kegagalan pemerintah dalam membina toleransi beragama yang egaliter dan adil.

Muslim pendatang di Bali tidak merasa terkucilkan oleh masyarakat Hindu. Begitu pula sebaliknya umat Hindu di Bali tidak merasa lahan mereka telah diambil dan dikuasai para pendatang Muslim tersebut. Keduanya justru bahu-membahu dan melakukan hubungan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi dengan baik.

Memang, jika kita lihat lebih jauh lagi, peran Nahdlatul Ulama juga tidak bisa dipandang sebelah mata di dalam merawat toleransi beragama di Bali. Ini terbukti dari penolakan Pemuda Ansor Bali beberapa waktu yang lalu terkait kedatangan Habib Rizieq Shihab ketua umum FPI untuk mengadakan ceramah agama di pulau dewata tersebut. Kasus penolakan ceramah agama Ustaz Abdul Somad oleh komunitas pemuda Hindu Denpasar juga berhasil dimediasi dengan baik oleh para pengurus PWNU Bali.

NU bersama masyarakat Hindu di Bali telah berhasil menjaga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah sehingga sekat-sekat perbedaan dalam hal agama tidak lagi menjadi batu sandungan bagi keduanya untuk hidup berdampingan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Tri Hita Karana inilah yang membuat masyarakat Bali toleran dan menghormati para pendatang Muslim di pulaunya. Nilai-nilai tersebut tentu juga berakar kuat dari Kebhinnekaan kita selama ini.

Inilah keunggulan pulau Bali di luar pariwisatanya yang perlu ditiru oleh masyarakat Jakarta. Mereka hidup damai dan toleran dengan sesama tanpa tebang pilih. Bukankah seperti ini memang karakter rakyat nusantara yang telah lama kita miliki?.

Merawat toleransi di Indonesia sesekali patut untuk mencontoh masyarakata pulau Bali. Bagaimana menurut Anda?

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.