Selasa, Maret 25, 2025

Menyingkap Hakikat Kausalitas

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
- Advertisement -

“Segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki sebab.” Pernyataan ini telah menjadi prinsip mendasar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari filsafat hingga fisika. Kausalitas, sebagai konsep yang menjelaskan hubungan antara sebab dan akibat, merupakan fondasi bagi cara kita memahami dunia dan menafsirkan berbagai fenomena. Namun, perdebatan tentang bagaimana kausalitas seharusnya dipahami masih jauh dari kata selesai.

Dalam filsafat modern, paradigma yang dominan adalah event causation, yang menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat terjadi antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Ketika sebuah bom meledak dan menyebabkan bangunan runtuh, yang dianggap sebagai penyebab runtuhnya bangunan adalah peristiwa ledakan, bukan bom itu sendiri.

Namun, dalam artikel Thing Causation, Nathaniel Baron-Schmitt menawarkan argumen yang menantang anggapan ini. Ia berpendapat bahwa kausalitas yang paling fundamental tidaklah terjadi antarperistiwa, melainkan antara benda atau entitas konkret.

Gagasan ini bukan sekadar sebuah permainan akademik dalam ranah filsafat, tetapi memiliki implikasi luas terhadap berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, hukum, dan etika. Jika benar bahwa benda lebih mendasar dalam kausalitas dibandingkan peristiwa, maka pemahaman kita tentang tindakan manusia, tanggung jawab moral, hingga kebebasan berkehendak harus direkonstruksi ulang.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membedah lebih dalam gagasan thing causation dan melihat sejauh mana argumen ini dapat dipertahankan atau justru dipatahkan oleh konsep-konsep lain yang lebih mapan.

Kausalitas: Perdebatan antara Benda dan Peristiwa

Konsep event causation telah lama menjadi kerangka berpikir yang diterima secara luas dalam filsafat analitik. Dalam pandangan ini, semua hubungan sebab-akibat dapat direduksi menjadi interaksi antara peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu. Ketika seseorang menekan sakelar dan lampu menyala, peristiwa menekan sakelar dianggap sebagai penyebab langsung dari peristiwa menyalanya lampu. Begitu pula ketika sebuah bola menggelinding setelah ditendang, peristiwa tendangan dianggap sebagai penyebab utama dari peristiwa bola yang bergerak.

Namun, Baron-Schmitt menantang gagasan ini dengan menyatakan bahwa justru benda-lah yang memiliki kapasitas untuk menyebabkan sesuatu, bukan peristiwa itu sendiri. Jika kita kembali pada contoh bom yang meledak dan menyebabkan bangunan runtuh, maka pertanyaan mendasarnya adalah: apakah benar ledakan itu sendiri yang menyebabkan kehancuran bangunan? Ataukah bom sebagai entitas fisik yang berperan sebagai penyebab utama, dengan ledakan hanya sebagai mekanisme yang menghubungkan keduanya? Dalam perspektif thing causation, bom bukan sekadar bagian dari peristiwa, tetapi merupakan agen kausal yang aktif menyebabkan keruntuhan bangunan.

Pendekatan ini tidak sepenuhnya baru. Dalam filsafat Aristotelian, kausalitas selalu dikaitkan dengan substansi dan bukan sekadar rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri. Aristoteles membagi kausalitas menjadi empat kategori: material, formal, efisien, dan final, dan dalam banyak kasus, benda atau substansi memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana dan mengapa sesuatu terjadi. Baron-Schmitt tampaknya menghidupkan kembali gagasan ini dengan membangun argumen bahwa peristiwa hanyalah ekspresi dari benda yang bertindak dalam kondisi tertentu, bukan entitas kausal yang berdiri sendiri.

Kekuatan Argumen Thing Causation

Salah satu kekuatan utama dari pendekatan thing causation adalah kemampuannya untuk menjelaskan kasus-kasus kausalitas yang lebih kompleks, terutama yang berkaitan dengan tindakan manusia dan kebebasan berkehendak. Dalam teori event causation, seseorang yang mengangkat tangannya dianggap sebagai rangkaian peristiwa: keputusan untuk mengangkat tangan, impuls saraf yang dikirim ke otot, hingga akhirnya tangan yang bergerak. Namun, jika kita menggunakan kerangka thing causation, maka individu itu sendiri-lah yang bertindak sebagai penyebab utama dari gerakan tangannya. Keputusan dan impuls saraf hanyalah sarana atau mekanisme yang digunakan oleh agen kausal (manusia) untuk menyebabkan sesuatu.

Pandangan ini juga memiliki implikasi dalam hukum dan etika. Jika seseorang melakukan sebuah tindakan kriminal, apakah kita harus melihatnya sebagai sekadar hasil dari rangkaian peristiwa yang menyebabkan tindakan itu terjadi? Atau apakah kita seharusnya melihat individu itu sebagai agen kausal utama yang bertanggung jawab atas perbuatannya? Thing causation memungkinkan kita untuk lebih memahami konsep tanggung jawab moral dengan menekankan bahwa individu sebagai entitas konkret adalah penyebab utama tindakan mereka, bukan hanya hasil dari determinisme peristiwa-peristiwa sebelumnya.

- Advertisement -

Kritik terhadap Thing Causation

Meskipun menawarkan perspektif yang menarik, konsep thing causation juga menghadapi kritik yang cukup serius. Salah satu argumen utama yang diajukan oleh C. D. Broad adalah bahwa penyebab harus menentukan kapan suatu efek terjadi. Jika benda adalah penyebab utama, maka ia harus mampu menentukan waktu terjadinya efeknya. Namun, benda seperti bom bisa tetap ada selama bertahun-tahun tanpa menyebabkan apa pun, kecuali jika ada suatu peristiwa (seperti pemicu atau ledakan) yang mengaktifkannya.

Kritik ini tampaknya mengarah pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah mungkin ada kausalitas tanpa peristiwa? Dalam kehidupan sehari-hari, kita jarang melihat benda menyebabkan sesuatu tanpa adanya peristiwa yang menyertainya. Oleh karena itu, para pendukung event causation berargumen bahwa meskipun benda mungkin memiliki kapasitas kausal, peristiwa tetap menjadi mediator yang esensial dalam hubungan sebab-akibat.

Namun, Baron-Schmitt memberikan tanggapan yang menarik terhadap kritik ini. Ia menunjukkan bahwa fakta tentang suatu benda sudah cukup untuk menentukan waktu terjadinya efeknya. Sebagai contoh, meskipun bom bisa tetap ada tanpa meledak, fakta bahwa bom itu dipicu pada waktu tertentu adalah informasi yang cukup untuk menjelaskan mengapa dan kapan kehancuran bangunan terjadi. Dengan kata lain, benda memang tidak secara langsung menentukan kapan efeknya terjadi, tetapi fakta mengenai benda tersebut dalam konteks tertentu dapat berperan dalam menentukan waktu kausalitasnya.

Menyingkap Dimensi Kausalitas

Perdebatan antara thing causation dan event causation membuka kembali pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita memahami hubungan sebab-akibat dalam berbagai aspek kehidupan. Apakah benar bahwa benda adalah agen kausal utama, ataukah peristiwa tetap menjadi mediator yang tak tergantikan dalam dinamika kausalitas?

Yang jelas, gagasan yang diajukan Baron-Schmitt mengajak kita untuk berpikir lebih dalam dan lebih kritis tentang konsep yang selama ini kita anggap sudah final. Mungkin, pada akhirnya, dunia ini tidak hanya dikendalikan oleh peristiwa atau benda secara terpisah, tetapi oleh interaksi kompleks antara keduanya. Dan di sinilah letak tantangan intelektual kita: untuk terus mempertanyakan, mengkaji, dan memahami mekanisme tersembunyi yang mengatur realitas kita.

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.