Kamis, Mei 2, 2024

Filsafat Tak Segenit yang Kamu Cita-citakan

Stefanus Poto Elu
Stefanus Poto Elu
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bung Karno

Belakangan minat terhadap filsafat meningkat. Orang-orang, terutama di kalangan Gen Z, filsafat banyak dirujuk dalam obrolan di tongkrongan. Dan, tak sedikit yang mulai melirik peluang untuk belajar filsafat. Obrolan di warung kopi pun sering nyerempet tokoh-tokoh filsafat. Aroma kopi jadi lebih bernilai kalau ada bau-bau filsafatnya.

Di media sosial, apalagi. Konten-konten seputar filsafat menjamur, dengan kolom diskusi penuh dengan tanggapan, atau sekadar kiriman jempol. Quotes dan potongan video obrolan filsafat tersebar di berbagai kanal media sosial.

Melihat fenomena filsafat jadi obrolan masyarakat maya tersebut, saya jadi tertarik bikin asumsi. Setidaknya saya berpendapat bahwa ada dua kelompok yang terlibat dalam hiruk-pikuk obrolan filosofis ini.

Yang pertama adalah kelompok yang memang memutuskan secara sadar, dalam pikiran dan tindakan, untuk belajar filsafat melalui lembaga pendidikan formal. Sementara yang kedua diisi oleh mereka yang mau belajar filsafat hanya lewat konten-konten yang berseliweran di media sosial.

Buat mereka yang pilih jalur akademis buat menekuni filsafat, saya kategorikan sebagai orang-orang yang memang serius mau mencicipi ilmu paling tua di muka bumi ini. Tidak mungkin kan seseorang mau kuliah filsafat karena iseng.

Selain ada nominal yang harus ia korbankan, waktu tempuhnya pun panjang. Buat yang ambil S1 ya harus delapan semester atau empat tahun minimal. Dan buat yang ambil S2 filsafat, waktunya mungkin lebih singkat, hanya dua tahun. Tapi jangan lupa, beban belajar filsafat itu berat. Bisa bikin kepalamu pusing tujuh keliling. Ancaman rambut uban atau kepala botak mengintai di halaman terakhir literatur-literatur filsafat.

Sementara buat mereka yang belajar filsafat hanya karena melihat konten keren di media sosial dan obrolan filsafat sedang tren di medsos, sebaiknya periksa ulang motivasimu. Menurut saya, kamu harus berpikir lebih matang, apakah betul kamu pengen belajar filsafat? Atau, mungkin juga kamu kepengen belajar filsafat karena di TikTok sedang banyak potongan omongan seputar filsafat? Atau mungkin ada quotes filsafat yang kebetulan nyambung dengan suasana hatimu? Atau karena tokoh idolamu sering muncul di YouTube atau TV dan bicara seputar filsafat?

Apa pun motivasimu, pesan saya coba pikir baik-baik. Karena kalau salah jalur nanti bukan tambah bijaksana tapi malah berisik sana – berisik sini. Ingat, filsafat tidak segenit yang kamu banyangkan. Filsafat bukan alat buat menyerang pribadi tertentu. Filsafat bukan untuk membantumu tampil makin keren, dapat tepuk tangan meriah saat manggung di kampus. Kualitas filsafat tidak ditentukan oleh jumlah viewers dan banyaknya like. Jangan reduksi filsafat untuk alasan humanis rendahan.

Lihat Mereka

Lihat tuh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, Profesor Emeritus STF Driyarkara dan salah satu filsuf paling dihormati di Indonesia. Dia dapat banyak apresiasi karena konsisten dalam mengajarkan dan menerapkan prinsip dan ajaran filsafat. Sejumlah penghargaan tanah air, ia sabet. Misalnya, Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menganugerahinya penghargaan Philosophy Award sebagai Filsuf Terkemuka Indonesia 2017.

Saat penganugerahan tersebut, Dekan Fakultas Filsafat, Dr. Arqom Kuswanjono mengatakan, “Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas dedikasi, kontribusi, dan pengaruh positif Romo Magnis terhadap pengenalan dan perkembangan studi filsafat”.

Katanya lagi, Prof. Magnis-Suseno terima penghargaan ini setelah dilakukan proses verifikasi empiris atas karya-karyanya dalam bidang kefilsafatan Indonesia dan pengaruhnya dalam perkembangan keilmuan filsafat di Indonesia.

Karyanya dalam bentuk buku filsafat pun mudah kita temukan. Misalnya, “Keagamaan Masa Depan – Modernitas – Filsafat: Harkat Kemanusiaan Indonesia Dalam Tantangan” (Kompas, 2021), “Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern” (Gramedia Pustaka Utama, 2016), “Menalar Tuhan” (Kanisius, 2006), “Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi” (Gramedia, 1984), dan masih banyak lagi.

Atau, coba tengok Prof. Dr. Francisco Budi Hardiman. Ia adalah filsuf sekaligus pengajar di Universtias Pelita Harapan. Ia banyak melahirkan buku-buku filsafat dengan kualitas mumpuni, yang banyak digunakan di fakultas atau jurusan filsafat. Beberapa bukunya yang bisa saya sebut adalah “Aku Klik Maka Aku Ada. Manusia dalam Revolusi Digital” (Kanisius 2021), “Demokrasi Deliberatif” (Kanisius, 2016), “Alam Moncong Oligarki” (Kanisius, 2013), dan masih banyak lagi.

Dan ada juga Dr. Budhy Munawar Rahman, dosen Islamologi dan Filsafat Islam yang mengajar di kelas saya di STF Driyarkara. Sebagai seorang tokoh dan pemikir Islam progresif, ia adalah sosok yang punya nama besar lewat kontribusi dan karya-karyanya. Jabatan akademisnya pun seabrek, yang bisa saya klasifikasikan sebagai salah satu pemikir Islam yang patut diperhitungkan.

Di luar tiga nama yang saya sebut ini, masih banyak filsuf dan tokoh pemikir di Indonesia yang secara akademis sangat mumpuni. Namun, lihatlah. Mereka tidak menjadikan filsafat sebagai alat untuk gagya-gayaan di ruang publik. Mereka tidak sekadar bicara kutip sana-kutip sini biar terlihat keren.

Mereka bahkan melahirkan karya-karya terbaiknya dalam ruang-ruang senyap. Mereka mengajarkan kebijaksaan kepada generasi penerus tanpa justifikasi. Mereka berkontribusi mendidik generasi milenial dan Gen Z untuk tetap menjaga tradisi kritis dan kuat dalam berargumentasi, bukan dengan kata-kata profokatif, tapi dengan suara lantang penuh adab.

Filsafat yang sesungguhnya

Saya sepakat. Di satu sisi, filsafat tidak boleh lari dari dunia. Filsafat jangan sampai hanya bertengger di menara gading. Filsafat jangan mengawang-ngawang. Namun, di lain sisi, filsafat juga tidak perlu datang ke pasar lalu mengobrak-abrik pasar supaya jadi pusat perhatian. Filsafat tidak perlu bikin gaduh dengan dalih membangkitkan kesadaran.

Justru filsafat mengajarkan agar mereka yang mempelajarinya tetap berjarak dengan realitas sehingga punya point of view yang lebih luas. Ia harus suka masuk ke ruang-ruang reflektif yang intens. Karena dari ruang-ruang seperti itulah ia akan keluar menjangkau realitas sosial, mengoreksi dengan nalar kritis, dan mengajak peminatnya untuk mengambil keputusan yang solutif-humanis. Filsafat berada di dunia, berjalan-jalan di pasar, namun menjaga ritme bicara agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Kalau merujuk pada muasalnya yakni filsafat adalah ilmu tentang kebijaksanaan, maka mengutip Boni Hargens, filsafat bukan alat untuk bergenit ria. Filsafat adalah ilmu yang merapikan pikiran dan menjernihkan hati sehingga sanggup melahirkan tindakan dan perkataan yang bijaksana dan menyejukkan. Inilah level filosifis yang mumpuni dan dapat kamu jadikan acuan.

Stefanus Poto Elu
Stefanus Poto Elu
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bung Karno
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.