Tahun 2004, umur saya baru 9 tahun. Dalam kepala saya cuma ada sekolah dan sepakbola. Masih asing dengan istilah manusia dan kemanusiaan, meskipun materi tentang keterkaitan antara manusia, hak dan kewajibannya saya dapatkan setiap minggu melalui pelajaran PPKN di sekolah.
Sebagai anak berusia 9 tahun, saya melewatkan banyak peristiwa penting pada tahun itu. Termasuk peristiwa besar yang sebenarnya melecehkan identitas kita sebagai manusia, dan sebagai rakyat Indonesia. Seorang aktivis HAM, yang hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk kemanusiaan, di”mati”kan layaknya binatang oleh sekelompok (mengaku) manusia. Pembunuhannya sistematis, professional, persis seperti adegan film action ala agen rahasia dunia.
Perkenalan dengan Munir
Sampai kemudian di umur 22 tahun, saya menyaksikan sebuah video singkat di kanal youtube Jakartanicus. Panji Pragiwaksono, yang dikenal sebagai seorang komika tampil berbicara mengenai Munir pada momen peringatan 11 tahun kematian Munir. Dalam video itu Panji berbicara mengenai Munir dan HAM secara sederhana, namun sangat esensial.
Video itu kemudian menggugah saya untuk mencari tahu siapa Munir sebenarnya, apa yang beliau perjuangkan, dan kenapa sampai harus tega seorang manusia memutuskan untuk membunuhnya dengan racun arsenik. Racun yang secara medis, membuat manusia mengalami sakit perut yang parah, sehingga muntah darah, syok kemudian mati.
Bagi Panji, Munir adalah pahlawan. Dalam definisi yang dia berikan, pahlawan adalah orang yang mau mengurangi kenyamanan dirinya, agar orang lain di sekitarnya ikut merasa nyaman. Munir bisa saja hidupnya nyaman. Pulang ke kota Batu, bertani dan menulis buku seperti keinginan sederhana yang sempat diutarakan kepada istrinya, Suciwati. Tapi, ia memilih untuk membela manusia demi kemanusiaan. Meskipun resikonya sangat besar. Suatu hal yang hari ini sangat langka ditemukan, bahkan di dalam gedung merdeka utara di Jakarta, yang sebenarnya dibangun atas nama rakyat.
Munir dibungkam, pelanggaran HAM meningkat
Perjuangan membela kemanusiaan nampaknya menjadi lesu setelah kepergian Munir. Pelanggar HAM seakan kehilangan lawan tanding yang sepadan. Komnas HAM dalam laporan tahunan tahun 2016 mengemukakan terdapat 7.188 pengaduan mengenai pelanggaran HAM selama tahun 2016. Itu yang diadukan oleh masyarakat sipil, yang tidak diadukan mungkin lebih banyak lagi.
Tren peningkatan kasus pelanggaran HAM menjadi semakin ironi karena tidak hanya menyasar masyarakat sipil secara umum, tapi secara khusus juga menyasar mereka para aktivis pembela HAM dan aktivis anti korupsi. Yang cukup populer adalah kasus Novel baswedan.
Tren peningkatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengherankan. Salah satu pemicu terbesar adalah kebijakan dari presiden melalui Perpres No. 3 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Melalui kebijakan ini, pembangunan infrastruktur yang menggusur paksa hak-hak rakyat kerap dilakukan. Terbaru, kasus pembangunan bandara di Kulon Progo menjadi contoh sahih. Penggusuran, penangkapan dan tindak kekerasan kepada warga seakan dibolehkan atas nama pembangunan. Jejak digitalnya bisa kita temukan dengan mudah.
Padahal, pembangunan meskipun telah memperoleh izin AMDAL belum tentu benar-benar tidak merusak lingkungan, dan hitung-hitungan kompensasi (sepihak) terhadap penggantian hak-hak rakyat belum tentu bersifat adil.
Dalam kasus kendeng misalnya, kesejahteraan yang ditawarkan oleh PT. Semen Indonesia yaitu jaminan pengangkatan masyarakat sebagai karyawan, tidak sebanding dengan kehilangan sumber kehidupan yang diderita akibat perampasan lahan pertanian dan sumber mata air. Karena kesejahteraan bukanlah hal yang bisa dikapitalisasi. Apalagi jika semua penelitian dan hitung-hitungan tentang itu bersifat “pesanan”.
Menaruh keberpihakan
Bung Eko Cahyono, Direktur Sajogyo Institute dan dosen IPB dalam Orasi Ilmiahnya mengeluhkan keberpihakan akademisi ataupun aktifis yang kadang abai terhadap nasib rakyat dan memilih untuk melindungi kepentingan penguasa. Beliau menuturkan, terkadang harus bertempur dengan “teman” sendiri karena menaruh keberpihakannya pada rakyat. Suatu hal yang sangat jauh dari semangat perjuangan Munir.
Jika ditelusuri dalam setiap kasus yang diadvokasi, Munir selalu memperlihatkan keberpihakannya kepada rakyat. Tidak peduli lawannya adalah pemerintah ataupun korporasi besar. Bahkan, advokasi yang dilakukan pada saat mendirikan dan menjadi kordinator di KONTRAS dan IMPARSIAL, mengharuskannya berhadap-hadapan dengan militer dan kepolisian, namun nyalinya tak ciut. Kemudian pada akhirnya saya mengerti, mungkin advokasi inilah yang menjadi sebab ia harus dibungkam melalui kematian.
Ikon Perlawanan
Dalam lanjutan Stand up nya, Panji mengatakan bahwa every movement needs a face. Perjuangan melawan penindasan membutuhkan sosok inspirasi, membutuhkan seorang wajah yang melambangkan perjuangan. Sosok atau wajah itu menaruh keberpihakannya pada rakyat yang tertindas.
Karena setiap kebijakan yang diambil, akan ada kelompok masyarakat yang termarginalkan. Padahal, mereka bukanlah merupakan sasaran utama dari kebijakan yang dilakukan. Namun, kekuatan mereka untuk berjuang dan mempertahankan haknya tentu tidak sebanding, jika harus melawan negara yang mempunyai otoritas, finansial dan aparat keamanan.
Saya pun mengangguk setuju ketika Panji mengatakan bahwa tampaknya, wajah perlawanan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia adalah Munir. Maka semoga di momen peringatan hari HAM, tidak hanya dilakukan aksi solidaritas ataupun “sekedar” unjuk rasa. Karena memperingati HAM adalah soal perjuangan membela kemanusiaan, atau menurut Panji memperingati HAM adalah soal melakukan pembelaan bahwa “ngomong benar” di negeri ini bukanlah hal yang dilarang.
Maka perlu usaha untuk lebih mengenali esensi dari HAM itu sendiri. Syukur-syukur, dengan menemukan esensi dari HAM, inspirasi mengenai perjuangan menegakkan HAM membuat kita berkenalan dengan Munir. Sehingga kelak lahir “Munir-Munir” baru yang jelas kepada siapa harus menaruh keberpihakannya.