Jumat, Oktober 4, 2024

Mendukung dan Bermain Sepak Bola dengan Gembira

Septian Pribadi
Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi (BLI) di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan.

Sepak bola adalah olahraga yang paling banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Silakan baca survei terkait olahraga yang paling banyak ditonton, ya sepak bola.

Beberapa hari yang lalu, setiap Timnas Indonesia U-23 berlaga di Piala Asia 2024 terjadi fenomena unik. Disadari atau tidak, ketika Indonesia bertanding melawan negara lain, jalanan terasa amat sepi dan lenggang.

Semula saya janggal, kenapa jalanan kok tidak ramai seperti biasanya ya? Oalah, Indonesia sedang bertanding. Hampir seluruh rakyat Indonesia duduk khusyuk dan bersorak-sorai di depan layar televisi atau layar lebar yang dibuat nonton bersama.

Pemerintah, gerai supermarket seperti Indomart & Alfamart, balai desa, hingga rumah warga di dusun-dusun menggelar nonton bareng. Fenomena yang sungguh menggembirakan setelah gelaran pemilu yang menguras banyak emosi.

Ya meski akhirnya Indonesia tidak lolos ke Olimpiade Paris 2024. Hasil yang mengecewakan, tapi jangan menambah kekecewaan untuk para pemain Indonesia. Bagaimanapun, mereka berhasil mencatat sejarah baru di kancah sepak bola Asia. Bahkan mengejutkan dunia.

Rakyat Indonesia Tak Pernah Ramah

Marselino dihujat warganet karena dianggap bermain egois saat Indonesia dikalahkan Iraq dalam perebutan juara 3 Piala Asia U23. Sontak hal itu membuat kecewa Marselino dan membalas dengan unggahan di Instagramnya, “Hahahaha NEGARA LUCU”.

Begini ya, saya tidak sedang membela Marselino, tapi saya tidak pernah setuju apabila kekalahan tim hanya dibebankan kepada satu orang. Sepak bola adalah permainan tim. Ketika menang, semua pemain berjasa. Pun ketika kalah, semua tim bertanggung jawab.

Saya sangat kecewa ketika Indonesia yang selangkah lagi bisa berlaga di Olimpiade Paris ternyata gagal. Tapi saya lebih kecewa ketika ada warga Indonesia melakukan caci maki terhadap pemain negaranya sendiri.

Kalian pernah nggak sih, ketika sudah sepenuh jiwa dan tenaga dicurahkahkan, banyak waktu yang dikorbankan, berlatih bagai kuda kesurupan, ndilalah gagal meraih tujuan? Kecewa kan? Jelas! Apalagi sudah gagal lalu dihujat habis-habisan oleh pendukung sendiri.

Hal itu seperti berjuang di medan perang, kalah lalu pulang. Eh di kampung halaman bukan dipeluk lalu disiapkan makanan dan minuman enak, eh malah dilempari kotoran. Siapa yang gak ngamuk coba?

Padahal mereka sudah berjuang habis-habisan mengharumkan nama kampungnya, menjunjung harga diri kampungnya di khalayak dunia, juga agar tidak diolok-olok kampung lain karena gak bisa main bola. Eh, pulang berharap pelukan hangat, malah dikasih cacian laknat.

Bayangkan saja, bayangin dulu kalian jadi pemain Timnas dan merasakan kondisi seperti Marselino. Mbok simpati dan empatinya diperbaiki! Padahal warga Indonesia masuk 10 besar negara paling ramah bagi warga asing. Lah, masak untuk warganya sendiri ndak ramah? Sungguh di luar nurul, eh nalar!

Belajar dari Rakyat Brasil

Brasil adalah negara satu-satunya yang paling banyak mengoleksi gelar juara dunia terbanyak, sebanyak lima kali.

Keberhasilan Brasil bukan tanpa halangan. Pada tahun 1950 terjadi tragedi yang memilukan rakyat Brasil yang dikenal sebagai Tragedi Maracana atau Maracanazo. Saat itu Brasil menelan kekalahan di partai final melawan Uruguay. Dan kekalahan itu terjadi di stadion kebanggaan rakyat Brasil, Stadion Maracana.

Kekalahan melawan Uruguay dianggap sebagai kerugian besar karena rakyat Brasil sangat mencintai sepak bola hingga disebut sebagai agama kedua mereka. Selain itu, sepak bola bukan semata olahraga tapi identitas Brasil.

Mario Zagallo, mantan pemain Brasil di tahun itu mengatakan, “Ada sekitar 200.000 orang di stadion dengan sapu tangan putih, yang pada akhirnya menjadi sapu tangan besar untuk mengeringkan air mata karena kami semua menangis saat itu.”

Tragedi Maracana memunculkan efek buruk. Rakyat Brasil banyak menghujat beberapa pemain kulit hitam mereka, seperti kiper Barbosa. Dia gagal menghentikan tendangan Alcides Ghiggia. Bahkan karena tragedi ini, seragam tim nasional Brazil berubah yang awalnya putih menjadi warna kuning-hijau hingga sekarang. Warna putih dianggap tidak mencerminkan semangat negara Brasil.

Butuh waktu 8 tahun untuk mengobati Tragedi Maracana. Pada 1958, Brasil akhirnya menjadi juara Piala Dunia pertama kali di Swedia. Brasil menekuk tuan rumah Swedia di partai final. Saat itu, Brasil diperkuat oleh Pele, Garrincha, dan pemain lain yang disebut sebagai generasi emas.

Rakyat Brasil bersatu karena sepak bola. Mereka amat mencintai sepak bola dan tim nasional Brasil. Rakyat Brasil punya semboyan khusus dalam mendukung negaranya. Yaitu “Sou brasileiro, com muito orgulho, com muito amor”, yang artinya Saya orang Brasil, dengan sangat bangga, dengan sangat cinta.

Tragedi Maracana menjadi titik balik rakyat Brasil untuk bersatu kembali. Dan karena sepak bola, perbedaan ras dan warna kulit di Brasil dapat disatukan kembali.

Selain itu, sepak bola di Brasil adalah cara untuk lepas dari jerat kemiskinan. Kondisi Brasil yang punya banyak masalah sosial dan ekonomi membuat banyak anak-anak dari kawasan kumuh ingin menjadi pemain sepak bola profesional untuk memperbaiki hidup mereka.

Karena kondisi itu, sepak bola dianggap sebagai ideologi atau agama yang membebaskan bagi sekelompok anak muda miskin di Brasil. Oleh sebab itu, filosofi permainan Brasil dalam sepak bola adalah “Futeboll arte”. Filosofi yang berarti bermain bebas dan indah.

Karena filosofi ini pula, rakyat Brasil tidak tertaut pada skor akhir saja, mereka ingin melihat sepak bola yang bebas dari sikap pragmatis dan membosankan. Mereka ingin melihat sepak bola yang menghibur dan menarik. Dalam istilah lain, kita mengenal permainan indah Brasil dengan “Jogo Bonito”.

Bermain Sepak bola dengan Gembira

Ini adalah harapan kita bersama. Suatu saat nanti, Indonesia mampu mengangkat trofi Piala Dunia seperti Brasil. Brasil dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Memiliki jumlah penduduk yang banyak dan amat mencintai sepak bola.

Kita perlu meniru rakyat Brasil yang dengan gembira mencinta sepak bola sekaligus mendukung negaranya. Melupakan sejenak hasil pertandingan dan gegap gempita mendukung pemain sepak bola kita. Kita sudah melihat permainan bola indah yang ditunjukkan Rizky Ridho dan kawan-kawan.

Kita perlu sedikit bersabar lagi agar Indonesia bisa meniru permainan indah Brasil. Sebelum mencapai itu, sebagai rakyat Indonesia kita perlu mendukung mereka dengan sepenuh jiwa dan raga. Brasil butuh 8 tahun untuk meraih piala paling bergengsi di dunia. Dan tidak menutup kemungkinan Indonesia mengikuti jejak Brasil.

Dan tak lupa, semoga pemerintah mampu memberi solusi terbaik untuk sepak bola tanah air. Kita ingin sepak bola “Jogo Bonito” ala Indonesia.

Jadi, mari bersabar, dukung, dan bermain sepak bola dengan gembira.

Septian Pribadi
Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi (BLI) di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.