Jumat, April 19, 2024

Membiarkan Anak-anak Ikut Bela Diri dari Kecil?

Anggita Ayunda Sakuntala
Anggita Ayunda Sakuntala
Mahasiswa DPPS Magister Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Tidak dapat dipungkiri bahwa bela diri menjadi hal yang melekat pada masyarakat Indonesia. Entah dalam bentuk pencak silat, karate, atau apapun lainnya. Pencak silat sendiri merupakan salah satu cabang olahraga yang telah diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya tak benda asli dari Indonesia, pada tahun 2019 lalu.

Pencak silat sendiri di Indonesia terdiri dari ragam yang cukup banyak, katakanlah ada Setia Hati (SH) baik Winongo maupun Terate, Cempaka Putih (CP), Perisai Putih, Ilmu Kera Sakti, atau milik Muhammadiyah Tapak Suci, hingga milik NU Pagar Nusa dan tentunya masih banyak lagi yang keseluruhannya berada dalam naungan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Sejatinya mengikuti pencak silat atau bentuk bela diri lainnya memiliki banyak nilai positif yang bisa diambil. Namun, apabila nilai filosofis dan visi misi yang diajarkannya tidak dipahami dan dimaknai dengan sungguh-sungguh hal ini bisa saja menjadi sebuah petaka yang berkonotasi negatif.

Apabila kita mau memahami, bukankah setiap beladiri sejatinya didirikan dengan tujuan baik? Dalam hal ini saya teringat sebuah filsafat Jawa yang dikemukakan oleh RM. Sosrokartono yang berbunyi demikian, “nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake” yang dalam bahasa Indonesianya dapat diartikan sebagai menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Filsafat ini apabila dimaknai dengan sungguh-sungguh dan dilaksanakan oleh setiap pendekar bela diri di Indonesia, tentu akan menghasilkan seorang pendekar yang memiliki nilai norma yang baik dan tentunya akan bersahaja dan bijaksana.

Berbicara mengenai nilai norma dalam sebuah pencak silat ataupun bentuk bela diri lainnya. Sejatinya apapun bentuk beladirinya semua pasti memiliki nilai norma pengajaran yang baik dan saya meyakini hal ini. Ketika ikut berlatih dalam salah satu padepokan beladiri seperti pencak silat, kita akan memperoleh nilai norma untuk menjadi manusia yang disiplin, menghormati orang tua, serta berani karena benar.

Tidak jarang dalam bela diri kita juga akan diajarkan mengenai ketakwaan kepada Tuhan sebagai pondasi utamanya, kemudian juga mengajarkan cinta kepada tanah air. Sejatinya banyak sekali nilai norma yang baik lainnya. Belajar bela diri juga sangat baik dalam melatih mental dan kewaspadaan kita. Begitu banyaknya hal-hal baik itu, tentu akan membawa norma kebaikan juga dalam bertindak sebagai makhluk sosial. Namun, kembali lagi hal ini bisa terjadi apabila pelakunya, tak lain adalah pendekar-pendekar pencak silat maupun bentuk bela diri lainnya mau memaknai dan mengilhami serta menerapkan dengan sungguh-sungguh ajaran yang telah mereka peroleh. Sebab, saya yakin tidak ada padepokan bela diri apapun itu yang mengajarkan nilai keburukan.

Namun, berbanding terbalik dengan nilai falsafah, visi dan misi yang dimiliki pada tiap-tiap organisasi bela diri yang ada. Beberapa anggotanya tentu ada yang memiliki perilaku berbanding terbalik atau dapat dikatakan kurang memiliki nilai norma sosial yang baik. Hal ini biasanya terjadi pada mereka yang ikut bela diri sekadar ikut-ikutan atau hanya ingin memperoleh eksistensi sebagai seorang pendekar dan dianggap jagoan. Sikap demikian tentu sejatinya kekanak-kanakan dan mampu mencoreng harkat dan nilai baik dalam sebuah bela diri yang diikutinya.

Berbicara perihal norma dalam sebuah organisasi bela diri, hal ini biasanya sangat erat kaitannya terhadap anak-anak. Saya sendiri menemui fenomena yang kurang mengenakkan terkait hal ini. Beberapa waktu lalu dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat desa, kasak-kusuk dari ibu-ibu terdengar. Mereka membicarakan mengenai anak-anak yang acapkali berkelahi, kalau istilah jawanya tukaran/ladakan. Kalau sekadar saling mengejek tentu ini tidak seberapa. Meski juga menyakitkan dalam hati. Namun lebih dari pada itu, yang menjadi keresahan adalah ketika anak-anak itu sudah berani main fisik.

Tetiba menendang temannya, hingga saling pukul, saling dorong dan sebagainya. Ketika saya menanyakan hal ini kepada ibu-ibu, “Kenapa bisa terjadi hal demikian terhadap anak-anak itu?” Kontan ibu-ibu itu menjawab bahwa “Biasa, mereka kan ikut bela diri, ikut pencak silat, ikut inilah, ikut itulah bentuk bela diri lainnya.” Saya seketika terlonjak, mau kaget namun ini bukan hal baru. Mau menganggap remeh, namun ini sungguh perlu ditindak dan diberikan pemahaman.

Singkatnya saya lantas teringat dengan obrolan dengan seorang teman saya yang aktif mengikuti salah satu pencak silat. Kala itu ia menanyakan dan berargumen mengenai kesiapan anak-anak dalam mengikuti bela diri. Menurut teman saya, mengizinkan anak-anak berlatih bela diri dari usia dini itu seperti simalakama. Diizinkan bisa jadi hal buruk, tidak diizinkan juga bukan menjadi hal baik yang mutlak.

Begini, ketika anak-anak diizinkan mengikuti dan berlatih bela diri. Tidak sedikit yang akhirnya menyelewengkan ilmu yang di dapat, kontrol diri mereka dinilai masih kurang sehingga hal seperti yang terjadi di atas bisa saja terjadi. Inilah efek buruknya ketika anak-anak yang belum siap menerima ilmu namun sudah terlebih dahulu memperoleh. Sebab, mau bagaimanapun anak-anak kadangkala suka adu kekuatan. Merasa satu dan lainnya lebih jagoan. Sehingga mereka merasa bahwa menunjukan kekuatannya itu adalah hal hebat.

Sedikit berbeda dengan obrolan bersama teman saya itu, pada suatu kesempatan ketika saya bertemu dengan salah seorang pelatih pencak silat tempat saya pernah belajar bela diri dan ngobrol perkara ini, jawaban beliau cukup bisa dicerna dengan dua sisi yang berbeda.

Menurutnya, membiasakan anak ikut latihan pencak silat sedari kecil itu sejatinya bisa membentuk norma yang baik pula pada mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan menjadikan padepokan sebagai tempat belajar yang juga mengarahkan mereka pada hal-hal baik, menerapkan nilai agama pula kepada mereka sehingga karakter dasar mereka dapat terbentuk sebagai pendekar yang bijaksana yang akan terus melekat pada perkembangan hidupnya. Hal ini tentu bukan teori semata, sebab tidak sedikit pula pendekar yang telah memperoleh ilmu bela diri dari kecil tumbuh menjadi orang yang bersahaja.

Permasalahan yang mengikuti sehingga menjadikan anak-anak yang ikut bela diri merasa dirinya jagoan, tidak secara mutlak bisa dikarenakan mereka yang ikut perguruan bela diri dan memperoleh nilai kesombongan itu di tempatnya menimba ilmu. Melainkan perlu juga meninjau, bagaimana lingkungan keluarganya membentuk anak itu? Kemudian bagaimana pergaulan anak itu? Intinya akan ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya kenapa anak bisa berperilaku baik atau buruk.

Lantas yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, penting atau tidak membiarakan atau membawa anak berlatih bela diri dari kecil? Kembali lagi semua itu tergantung bagaimana padepokan dan keluarga memberi pemahaman mengenai harkat dan nilai bela diri itu sendiri. Dalam konteks tulisan ini, dapat dimaknai bahwa penting bagi orang tua ataupun pelatih pencak silat menanamkan nilai moral kepada anak-anak sebelum mengizinkan mereka ikut bela diri. Sehingga mereka memiliki nilai tanggung jawab dan norma baik sebagai seorang pendekar.

Penting pula untuk menekankan dan memberikan pemahaman pada mereka, bahwa jangan menjadi pendekar yang mengamalkan ilmu pada keburukan, melainkan gunakan ilmu hanya untuk membela diri dan melindungi yang lemah. Sebab, pendekar yang sejati ialah yang berguna bagi sesama, pendekar sejati ialah yang memiliki nilai toleransi terhadap sesama, dan tentunya tidak menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai sarana berperilaku sombong, menjadikan pencak silat atau bentuk bela diri lainnya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan dan menjauhi larangannya. Seperti filsafat Jawa “digdaya tanpa aji. Sepi pamrih, tebih ajrih”. Berdaya tanpa ajian, tidak gila hormat atau tidak sombong, dan mengharapkan imbalan hal baik yang diperbuat, sehingga jauh dari ketakutan duniawi.

Maka, jadikanlah anak-anak yang mengikuti bela diri itu tumbuh sebagai pendekar yang bijaksana. Selain itu, perlu dipahami pula bahwa tiada daya upaya selain kekuatan dari Allah, dari Tuhan. Kalau dalam Islam Lahaula walakuata illabillaah.

Anggita Ayunda Sakuntala
Anggita Ayunda Sakuntala
Mahasiswa DPPS Magister Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.