Sulit untuk dibantah bahwa peristiwa politik, seperti Supersemar, yang sesungguhnya merupakan sejarah penting, meski masih menjadi misteri, hingga saat ini masih dipandang hanya sebagai sebuah tragedi semata.
Padahal, ada momentum historis yang tak kalah penting daripada sekadar isu komunis belaka, namun kerap diabaikan dan dilupakan, bahkan dimitoskan, hanya sebagai politik suksesi semata. Itulah mengapa hingga kini Supersemar sekadar menjadi catatan atau arsip sejarah yang seakan-akan layak untuk dipelajari, namun jarang, atau bahkan tabu, untuk dibaca kembali dengan pendekatan yang lebih jeli dan kritis.
Dalam kisah pewayangan, politik suksesi yang kerap dibahasakan dengan “lengser keparabon, madeg pandita” sesungguhnya tidaklah selalu berakhir dengan sukses. Di tahun 1965 saja, meski Presiden Sukarno berhasil dilengserkan, namun ada banyak nyawa yang hilang akibat “kudeta” yang dijalankan pada tanggal 1 Oktober.
Itulah mengapa wartawan Brian May menulis dengan amat tragis tentang Indonesia, seperti dikutip Saya Shiraishi (2001), demikian: “Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahirkan kembali dalam kudeta dan dibaptis dengan darah pembantaian.”
Gambaran politik suksesi di tahun 1965 memang masih samar-samar. Bahkan lebih terkesan sebagai sebuah pemberontakan ketimbang upaya pergantian kekuasaan. Maka bukan kebetulan jika Angkatan Bersenjata, terutama Angkatan Darat, tampak sangat berperan di sana.
Sebab dalam setiap perubahan politik yang berpotensi mengundang kekacauan, tugas untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara berada di tangan militer. Pandangan seperti itu tampak mewakili sejenis historiografi kerakyatan yang menjelaskan dan meneguhkan bahwa konsep politik suksesi tergantung pada campur tangan pihak-pihak yang memegang senjata.
Di saat-saat bersejarah yang menentukan pada tahun 1965 tampak bagaimana kudeta 1 Oktober menjadi pemicu yang efektif dan operatif untuk mengerjakan politik suksesi. Dalam dokumen yang bersifat “rahasia” dan kemudian dikenal dengan nama “Cornell Paper” (“A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia”, 1971), ditunjukkan betapa konflik internal di tubuh Angkatan Darat merupakan latar dari panggung politik suksesi termaksud.
Dalam kumpulan dokumen lain yang terkait dengan Gerakan 30 September (G-30-S), majalah Indonesia terbitan Cornell University mengungkap bahwa kudeta tersebut ditujukan bagi “jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang gila kekuasaan yang telah menelantarkan anak buah.” Ungkapan itu didasarkan pada pernyataan awal dari Letnan Kolonel Untung sebagai pemimpin kelompok kudeta yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1 Oktober pagi hari. Jadi cukup jelas jika kudeta itu mirip dengan kemarahan “anak buah” kepada “atasan” atau “bapak” mereka.
Kemarahan yang identik atau isomorfis dengan “ancaman” sekelompok pemuda di tahun 1945 ketika menculik Sukarno dan Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok itu sesungguhnya hanyalah “gertak sambal” belaka. Maka, tak heran jika Sukarno tidak pernah menyalahkan, apalagi menghukum, para anak buah, baik yang menculiknya maupun yang membawa para jenderal ke suatu tempat (Lubang Buaya).
Dalam bahasa Sukarno tatkala dilapori kudeta yang gagal itu adalah “yang semacam ini biasa dalam revolusi”. Itulah panggung tradisi revolusioner gaya Indonesia yang justru ditutup layarnya dengan sebuah politik suksesi gaya Orde Baru yang dilakukan dengan pembunuhan massal dan memanfaatkan Supersemar.
Hal itulah yang telah melahirkan para bapak penguasa yang “reaksioner” dan “tahu segala”. Para bapak yang selalu melarang anak, apalagi menentangnya, tetapi memperbolehkan bapak melakukan apa saja, termasuk kekejian yang ditampakkan melalui pembunuhan.
Namun kenyataan berdarah yang melahirkan Orde Baru itu selalu mampu ditutupi dengan menegakkan bahasa kosong yang dikemas dalam sepucuk surat sakti bernama Supersemar. Surat yang menjadi sumber kebenaran untuk menyembunyikan politik suksesi itu memberi jalan bagi siapapun yang berkuasa selanjutnya untuk membiarkan tragedi sejenis tahun 1965an berlalu, bahkan mungkin dapat berulang, tanpa pertanggungjawaban.
Hingga saat ini, tragedi yang dimanfaatkan untuk menutupi politik suksesi di tahun 1965 memang masih belum terungkap. Meski telah diupayakan dengan berbagai cara untuk mengungkapnya, masih saja ada beragam tantangan yang perlu untuk dihadapi dengan jeli dan waspada. Namun, kembali pada kisah pewayangan tentang politik suksesi, terselip sebuah cerita dan cita-cita besar yang bertujuan agar politik pergantian kekuasaan tidak semata-mata dikontestasikan secara berlebihan-lebihan. Tetapi hal tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menegosiasikan kepentingan dari sejumlah pihak yang terlibat dalam politik suksesi.
Sastra wayang dengan lakon Prasthanikaparwa yang berkisah tentang lengsernya Yudhistira sebagai Raja Hastina agaknya potensial untuk disadur ulang dalam konteks politik suksesi di masa kini. Artinya, cerita dan cita-cita politik suksesi tokoh Pandawa itu dapat dimanfaatkan sebagai sebuah bahasa bersama (lingua franca) dalam dunia politik modern untuk menemukan suatu kesepakatan politik.
Sebagai contoh, mendiang Benedict Anderson pernah membuat buku tentang wayang yang berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2000/2003/2008). Buku yang terbit pertama kali pada bulan Agustus 1965, tepatnya sebelum G-30-S meletus, dengan judul Mythology and the Tolerance of the Javanese itu sempat dikritik oleh sesama koleganya di Amerika sebagai “salah tafsir”, bahkan “salah nujum”. Alasannya, jika orang Jawa benar-benar toleran sebagaimana dipaparkan dalam buku itu, mengapa justru terjadi pembantaian antar sesama orang Jawa?
Jawabannya, tentu saja bukan karena orang Jawa tidak lagi toleran, melainkan lantaran ada pihak atau kalangan tertentu yang berupaya membelokkan atau menunda budaya toleran tersebut agar dilupakan oleh orang Jawa. Upaya-upaya itu dimungkinkan oleh dukungan finansial dan peralatan militer yang secara sistematik dan hegemonik membuat daya pengaruh dari dasar dan tradisi seni sastra dan wayang semakin memudar. Hal itulah yang mengakibatkan toleransi menjadi rapuh dan mudah jatuh ke dalam lubang atau jebakan tragedi kekerasan yang tak terlupakan.
Maka, meski sudah lebih dari 50 tahun berlalu, suatu pembacaan ulang atas peristiwa politik di tahun 1965-1966, termasuk Supersemar, yang mampu merekatkan kembali ikatan-ikatan toleransi yang telah dilonggarkan akibat politik suksesi amat diperlukan agar tidak lagi jatuh pada lubang atau jebakan tragedi yang sama.