Perjalanan pembentukan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) telah dimulai sejak pertengahan bulan Januari tahun 2022. Langkah pertama pembahasan diawali dengan mendengarkan penjelasan pengusul terkait harmonisasi RUU KIA. Seiring dengan berjalannya waktu, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah sampai pada titik pengambilan keputusan atas hasil harmonisasi RUU KIA tersebut. Tepat pada tanggal 30 Juni 2022, DPR RI menyepakati bahwa RUU KIA menjadi rancangan undang-undang inisiatif DPR karena dinilai memiliki urgensi untuk ibu dan anak di Indonesia.
Beberapa poin penting yang tercantum di dalam RUU KIA diantaranya mengatur tentang cuti melahirkan ibu pekerja selama enam bulan, cuti ayah selama empat puluh hari agar dapat mendampingi istri yang baru saja melahirkan, dan perlu adanya penyediaan fasilitas tempat penitipan anak (daycare) di tempat kerja dan fasilitas umum. Tiga substansi penting tersebut dinilai oleh Ketua DPR RI sebagai pedoman bagi negara untuk memastikan anak-anak generasi penerus memiliki tumbuh kembang yang baik sehingga akan menciptakan sumber daya manusia yang unggul.
Pada naskah akademik RUU KIA disampaikan bahwa landasan sosiologis pembentukan rancangan undang-undang tersebut didasari dengan adanya fakta empiris bahwa terdapat perkembangan permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang kaitannya dengan kesejahteraan ibu dan anak.
Permasalahan tersebut dijelaskan diantaranya pertama, tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) berdasarkan Rakernas tahun 2019 disebabkan karena gangguan hipertensi, perdarahan obstetrik, komplikasi non obstetrik, komplikasi obstetrik, infeksi pada kehamilan, dan penyebab lainnya.
Selanjutnya yang kedua, tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) disebabkan karena kematian neonatal, gangguan respiratori dan kardiovaskular, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan premature, kelahiran kongenital, akibat tetanus neonatrum, infeksi, dan lain sebagainya.
Ketiga, diperlukan peran penting gizi pada tumbuh kembang anak. Keempat, belum terlaksana program pemerintah mengenai kesejahteraan ibu dan anak. Dari berbagai problematik tersebut, maka diperlukan suatu upaya untuk memenuhi, melindungi, dan memberikan penghormatan hak agar tercipta sense of equity pada ibu dan anak. Selain itu, kehadiran RUU KIA merupakan penerapan dari lex semper dabit remedium atau diartikan sebagai hukum akan selalu memberikan obat.
Pandangan dari Sisi Pengusaha
Kesepakatan untuk terus melanjutkan proses RUU KIA menuai pro kontra di kalangan masyarakat. Salah satu substansi yang menjadi pembahasan penting di kalangan pengusaha yaitu mengenai cuti melahirkan ibu pekerja selama enam bulan. Sikap penolakan terlihat jelas dari pernyataan Alexander Frans, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menyatakan bahwa hak cuti melahirkan akan memunculkan permasalahan dari sisi biaya dan kinerja.
Selain itu, Alexander Frans juga menyatakan bahwa regulasi mengenai cuti melahirkan saat ini sudah sangat baik. Regulasi yang dimaksud tercantum dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pekerja atau buruh berhak mendapatkan istirahat selama satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan sesudah melahirkan. Selanjutnya, Pasal 84 UU Ketenagakerjaan juga menyatakan secara gamblang bahwa pekerja atau buruh yang melakukan istirahat sebelum dan sesudah melahirkan berhak mendapatkan upah secara penuh. Oleh karena itu, pengaturan tersebut dinilai sudah sangat ideal bagi para pengusaha.
Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan DPN Apindo, Myra Hanartani menyatakan bahwa ketentuan cuti selama enam bulan tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi tingkat partisipasi perempuan dalam dunia usaha. Hal ini nantinya akan menjadi peluang bagi perusahaan untuk lebih menerima pekerja laki-laki daripada perempuan. Kemudian, Pasal 5 ayat (2) RUU KIA menyatakan bahwa setiap ibu yang melaksanakan cuti melahirkan tetap mendapatkan hak secara penuh 100% pada tiga bulan pertama dan 75% pada tiga bulan berikutnya. Dengan adanya ketentuan tersebut, Apindo juga menilai bahwa cuti melahirkan selama enam bulan akan mengakibatkan kesulitan bagi perusahaan untuk membayar gaji dan harus mempekerjakan orang lain untuk mengisi kekosongan posisi pekerja untuk sementara waktu.
Meaningful Participation sebagai Kunci
Sikap kontra yang ditunjukkan dari kalangan pengusaha berbanding terbalik dengan pernyataan Komnas Perempuan selaku lembaga yang berfokus pada penegakan hak asasi perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan menyatakan sikap diantaranya yaitu memberikan apresiasi atas usulan penambahan cuti hamil dan melahirkan sebagai upaya untuk menguatkan hak maternitas pada perempuan.
Dari kedua pandangan yang berbeda ini, maka perlu adanya diskusi lebih lanjut untuk mencari titik tengah agar tercipta suatu regulasi yang nantinya dapat didukung juga dari sisi implementasinya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, di mana beliau menyatakan bahwa tindakan komunikatif dibutuhkan untuk memutuskan hal apapun dengan melibatkan setiap partisipan. Teori ini juga menyatakan bahwa tindakan komunikatif yang ideal adalah dengan menekankan kepada pentingnya kedudukan setara antara setiap individu sehingga dapat mengemukakan pendapat secara bebas, jujur, benar, dan tepat.
Selain dikaji dari sisi teori, substansi yang tercandum dalam RUU KIA juga masih memerlukan keterlibatan masyarakat. Pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU Cipta Kerja menyatakan bahwa perlu adanya meaningful participation dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam partisipasi masyarakat adalah right to be heard, right to be considered, dan right to be explained.
Selain itu, Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga menyatakan bahwa diperlukan adanya partisipasi masyarakat dalam bentuk lisan maupun tulisan mengenai substansi dari rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Ketentuan meaningful participation harus dilaksanakan dalam proses RUU KIA, khususnya dengan pengusaha sebagai pihak eksekutor dari RUU ini. Selain itu, DPR RI selaku pembentuk rancangan undang-undang perlu melakukan pembahasan lebih lanjut dan mendalam agar RUU KIA dapat mengakomodir hak ibu dengan tetap melihat kemampuan perusahaan di Indonesia.
Meaningful participation adalah kunci bagi legislator untuk memperbaiki proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Jangan sampai para pembuat kebijakan mengulang kembali problematik kurang atau tidak adanya meaningful participation pada setiap undang-undang seperti sebelumnya yaitu UU KPK, UU Cipta Kerja, UU MK, dan UU IKN.
Sebagai penutup, penulis akan mengutip adagium yang disampaikan oleh Jurgen Habermas. Beliau menyatakan bahwa perdebatan di ruang publik sepanjang dilakukan dengan menggunakan argumentasi rasional, maka akan ikut mengajak masyarakat untuk berpikir kritis. Dengan demikian kesadaran berdemokrasi dibangun untuk memperbaiki hukum sekaligus mengontrol penguasa dari kesewenang-wenangan.