Dampak dari penerbitan novel Max Havelaar bagi rakyat Indonesia (waktu itu masih bernama Hindia Belanda) bisa dikatakan sama dengan dampak yang ditimbulkan dari terbitnya novel Uncle Tom’s Cabin bagi rakyat Amerika Serikat khususnya yang berkulit hitam atau Noli Me Tangere bagi rakyat Filipina.
Max Havelaar yang pertama kali terbit di negeri Belanda pada tahun 1860 ini menimbulkan kegemparan di negeri Belanda. Selanjutnya melahirkan tuntutan-tuntutan dari dalam negeri Belanda sendiri, agar pemerintah Belanda memberlakukan politik etis bagi rakyat negeri seberang (dalam hal ini Indonesia).
Pemberlakuan politik etis inilah yang memberikan kesempatan bagi segelintir rakyat Indonesia untuk mencicipi pendidikan yang lebih tinggi. Dan sejarah menceritakan kepada kita bahwa generasi itulah yang pada akhirnya memimpin Indonesia bebas dari penjajahan Belanda. Sehingga, dengan pengaruhnya yang sebegitu besar tidak salah Pramudya Ananta Toer mengatakan bahwa novel inilah yang menghabisi zaman kolonialisme.
Max Havelaar memang secara eksplisit bercerita tentang kolonialisme. Novel yang ditulis Eduard Douwes Dekker pada tahun 1859 di sebuah losmen sederhana di Belgia, dengan gayanya yang sangat realis menceritakan ketimpangan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap rakyat di daerah jajahannya.
Douwes Dekker menulis novel ini sebagai bentuk kefrustrasiannya melihat praktik eksploitasi lewat sistem tanam paksa serta kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda yang menindas bumiputra. Dengan nama pena Multatuli yang berarti aku menderita, dia mengisahkan kekejaman tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin dan menderita. Mereka diperas sedangkan pejabat kolonial Belanda dan pejabat pribumi sibuk memperkaya diri dengan praktik-praktik korupsi.
Diceritakan dalam novel itu, bahwa Douwes Dekker sempat menduduki jabatan controleur di Natal, Sumatera Utara. Kemudian dimutasi ke Padang tepatnya di Sumatera Barat dan Rangkas Bitung, Lebak, Banten. Dia selalu menentang kebijakan atasannya yang selalu merugikan kaum pribumi.
Ketidakadilan dan perampasan hak yang dilakukan Belanda membuatnya bersikukuh untuk melakukan perlawanan dan terus mengkritik model tersebut. Meskipun seorang Belanda, dia justru lebih memilih untukbersimpati pada rakyat pribumi yang teraniaya dan tertindas. Kelakuan pemerintah Belanda terhadap penduduk dianggapnya tidak berkemanusian dan justru memperlihatkan bahwa Negeri Belanda sebagai negeri yang tidak berperadaban.
Akibat dari tekadnya yang sangat keukeuh dalam membela penduduk itu Douwes Dekker pernah diskors. Karena hal itu juga, gajinya hanya dibayar separuh oleh pemerintah Belanda. Pada akhirnya, perlawanannya pada tahun 1856 membuat dirinya diberhentikan dari jabatannya. Bahkan pemerintah Belanda mengajukan Douwes Dekker ke pengadilan.
Setelah kalah dalam perkara ini Douwes Dekker dipulangkan ke Eropa. Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Hal ini membuat pemerintah Belanda kesulitan untuk menghilangkan ideologi Douwes Dekker. Dengan menyewa sebuah apartemen sederhana di Belgia, dia memulai melakukan perlawanan. Sifat antikolonialnya ditunjukan tetap dengan cara non-kooperatif, yaitu menolak penindasan, perampasan, penganiayaan, antidiskriminasii.
Meski begitu, sebenarnya Novel ini belum berbicara tentang pembebasan politis, namun baru berbicara tentang pembebasan pada kelas pekerja atau buruh tanam paksa dan kelas bawah atas pengusaha dan penguasa. Akan tetapi, setidaknya lewat keberanian yang dipompakan Multatuli lewat buku ini mulai menyadarkan orang akan kebejatan politik kolonialisme.
Seperti yang dikatakan oleh John F. Kennedy bahwa “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya”. Jadi, Max Havelaar sebagai sebuah karya sastra memang layak menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin merdeka dan melakukan perlawanan dari segala bentuk penjajahan ketidakadilan.
Pandangan-pandangan Multatuli dapat membuka perspektif orang orang bahwa kita harus melakukan pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan yang menjadi hak segala bangsa.