Jumat, April 26, 2024

Manifesto Distopia Vol. I Simbol Media Kapitalisme

Irfan Suparman
Irfan Suparman
Seorang pemikir yang menyukai seni, politik, hukum, kajian sains dan kajian sosial

Berapa simbol yang bertebaran di dunia saat ini. Apakah simbol-simbol itu bermakna universal atau malah simbol itu malah membawa masyarakat pada kebingungan. Untuk menciptakan simbol itu butuh kekuatan dari kecerdasan alamiah manusia tersebut agar terciptanya suatu simbol yang definitif.

Namun simbol telah berkembang jauh pada substansinya. Hal itu bukan semata-mata manusia tidak mau lagi menggunakan kecerdasan alamiah untuk menemukan definisi dari simbol tersebut.

Apalagi sekarang manusia hidup dengan kecerdasan buatannya, sekali klik langsung menuju tujuannya. Tapi lagi-lagi ilmu pengetahuan berkembang pesat dan supremasi dari media sosial dalan menyebarkan propaganda membuat kecerdasan buatan itu kalah oleh media-media yang bertanggung jawab menggiring opini masyarakat terhadap simbol yang bertebaran.

Selaras dengan itu, kata-kata pun sudah tidak bisa lagi pada ketetapan universal. Meski tidak semua kata-kata seperti yang saya sebutkan di atas. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas paradigma mayarakat mengenai Anarkisme dan simbol A dalam O? Ya, Semua itu karena media dan jaringan. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas media dan jaringan. Media yang mana?

Ya, media-media yang tunduk pada otoritas kapitalis dan pemerintahan. Ini bukan soal anarkisme, tapi ini soal bagaimana media dalam menciptakan konstruksi sosial di masyarakat.

Apakah seseorang bisa disalahkan atas kepercayaannya? Contoh: Gus telah membaca berita mengenai Quick Qount Pemilu 2019 dan tiba-tiba ada berita melalui WhatsApp yang menyatakan paradoksal dari media yang ia baca sebelumnya.

Gus lebih percaya atas berita dari WA. Dan menyebarkannya ke grup keluarga, sekolah, dan lain-lain. Dalam kasus ini, Gus tidak bisa disalahkan atas keyakinannya. Karena dari awal yang membawa dia pada opini untuk mendukung paslon A adalah media.

Sementara media memiliki keberpihakan, tentunya membuat Gus lebih memilih berita yang menguntungkan bagi kepuasan batinnya. Kita tidak bisa mengkaji fenomena Gus ini dengan psikoanalisis dari Sigmun Freud.

Apa yang dilakukan Gus ini adalah bukti keyakinan yang sangat tinggi dan filsafat mengatakan manusia membutuhkan sesuatu untuk dia percaya meski yang dipercaya itu buruk. Dibalik media tentu ada yang memegang kendali. Namun kita harus menyadari bahwa selamanya kehidupan itu tidak di dalangi siapa-siapa. Ini hanya masalah keyakinan kita terhadap kapitalisme yang sangat tinggi.

Semua orang ingin menaikan kelasnya dan menjadi yang unggul dari rasnya. Konsep manusia unggul dari Fredrich Nietzsche telah matang di abad ke-21. Bagiku pola kehidupan masyarakat akan terus seperti ini, sementara kebenaran akan bersembunyi sampai kapitalisme ini hancur dengan sendirinya.

Sangat disayangkan memang kalau tidak ada negara dengan berbagai macam teologi di dalamnya tidak memanifestasikan anarkisme dalam kehidupannya. Yang transendental saja mereka yakin tapi mereka tidak ingin yang kongkret ini terjadi. Jelas saja, mereka adalah orang-orang hipokrit yang berkuasa. Kebijakan-kebijakan mereka akan terus mengacu pada penindasan.

Kapitalisme adalah ideologi terbaik saat ini. Media-media terjerumus di dalamnya. Namun umat manusia menciptakan ideologi Anarkisme untuk menggantikannya apabila surga dan neraka tak kunjung ada.

Dunia kehabisan kata-kata dan angka lebih diminati. Namun, kapitalisme tidak bisa menghalangi perang, kemiskanan, dan kesenjangan sosial. Kapitalisme gagal memberantasnya dan keserakahan manusia hadir dalam sistem ini. Alam-alam dirusak untuk kebutuhan manusia dan perkembangan teknologi.

Kapitalisme bukan lagi membudaki masyarakat tapi juga alam raya. Telah sampailah pada keadaan ‘Distopia’ angan-angan yang gagal. Seluruh sistem telah habis, kerusakan lingkungan dan agama tidak jelas lagi asal usulnya. Semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati.

Al Quran melanjutkan pembedahan atas keadaan distopia ini. Masalah dunia juga merupakan masalah senda gurau. Mahakarya dari agama Islam ini menjadi senjata paling ampuh untuk propagaganda umat manusia untuk menciptakan kehidupan yang damai. Tapi jelas disebutkan bahwa dalam mahakarya ini bertujuan pada kehancuran dunia oleh umat manusia itu sendiri.

Jadi pada akhir paragraf ini saya menyimpulkan bahwa manusia akan mencapai eksistensialnya pada masa kiwari dan segala bentuk yang ada dalam dirinya adalah bentuk makna yang dia hadirkan sendiri dan lupa akan kehancuran alam oleh ulahnya sendiri. Sistem-sistem yang ada akan menjadi hal yang tidak penting lagi. Dan kedamaian akan selalu menjadi narasi besar umat manusia. Perang akan terus ada dalam bentuk dan hirarkinya pada setiap kesempatan.

Irfan Suparman
Irfan Suparman
Seorang pemikir yang menyukai seni, politik, hukum, kajian sains dan kajian sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.