Tahukah kamu, jika hampir seluruh populasi bumi mengakui bahwa 20 November menjadi Hari Anak Sedunia? Mirisnya, anak-anak Palestina tidak mampu merasakan suka cita bersama dunia memperingati hari istimewanya.
Bukannya dilindungi sepenuh hati, mereka malah dihancurkan seakan tiada arti. Hari Anak Sedunia yang telah diakui oleh jutaan orang sekalipun tidak mampu melindungi mereka dari sasaran rudal dan peluru tanpa arah.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pada bulan November lalu berpendapat bahwa Palestina menjadi kuburan untuk anak-anak. Banyak anak yang harus kehilangan orang tua dalam sekali kejapan mata, merelakan mimpi serta cita-cita mereka diambil paksa, bahkan harus kehilangan anggota tubuh tanpa diminta.
Maka, apakah dapat dikatakan waras anak-anak Palestina dengan kondisi tanah airnya, bahkan ketika harapan mereka tentang dunia sudah hancur tanpa sisa?
Apa yang Mereka Alami Sepanjang Hari
Sudahkah kamu makan hari ini? Jika sudah, alangkah indahnya harimu saat ini. Bagi anak-anak Palestina, mereka harus bertahan menahan lapar dan haus. Bagaimana tidak? bulan Oktober lalu Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, memberikan perintah untuk memblokade total seluruh distribusi makanan, aliran listrik, bahkan bahan bakar sekalipun. Tidak berhenti sampai di situ, setiap harinya mereka harus berdamai dengan ledakan yang tak kunjung habis berjatuhan, terpaksa untuk menganggap biasa hidup menjadi sasaran rudal yang mampu menenggelamkan mereka kapan saja.
Dihujani rudal saja sudah selangkah menuju putus asa, ditambah harus bergelut menahan haus dan lapar setiap harinya, bagaimana mungkin mereka tidak hancur baik luar dan dalamnya?
Terlalu Banyak Trauma untuk Hati Kecil Mereka
Sudah sewajarnya apabila anak-anak hidup dalam banyak canda tawa, namun bagi anak-anak Palestina, berbagai macam panorama kesedihan dan kehancuran sudah mereka saksikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut, apakah masih bisa dikatakan mental mereka baik-baik saja? Tentu tidak. Boleh jadi raga mereka terlihat tanpa luka, namun dalam hati menyimpan banyak bekas luka.
Penelitian oleh El-Khodary dan Samara pada tahun 2019 mengatakan bahwa hampir seluruh anak-anak dan remaja di Gaza setidaknya pernah mengalami peristiwa traumatis terkait perang. Setahun berikutnya melalui penelitian yang sama, diketahui bahwa lebih dari separuh anak-anak Gaza memenuhi kriteria gejala PTSD (post-traumatic stress disorder).
Sebuah lembaga internasional, Save The Children, juga melakukan survey terhadap anak-anak Palestina. Faktanya, terjadi peningkatan signifikan dalam survey yang dilakukan pada tahun 2022 ketimbang 2018 lalu. Anak-anak yang terperangkap dalam kondisi ketidakstabilan dan kesulitan yang serius memiliki kesehatan mental yang buruk, bahkan mampu mempengaruhi alam bawah sadar mereka.
Jika kondisi ini terus terjadi, anak-anak Palestina yang seharusnya mampu merasakan kebahagiaan seperti anak pada umumnya, terpaksa harus memulai kehidupan dengan banyak luka dan trauma. Bagi mereka bermimpi itu mahal digapai, mampu hidup hingga hari esok saja sudah suatu pencapaian.
Wajarkah Anak-Anak Mengalami ini Semua?
Menilik atas apa yang terjadi di tanah Palestina saat ini, dapat dikatakan bahwa orang dewasa saja mampu menjadi tidak berdaya bahkan putus asa, apalagi anak-anak. Banyak dari anak-anak Palestina merasa putus akan harapan, hilang keinginan hidup, tidak mampu berpikir jernih, menyalahkan kondisi yang terjadi, bahkan memiliki gangguan kesehatan mental berkepanjangan.
Apakah ini yang sewajarnya dirasakan oleh anak-anak? Bahkan orang dewasa pun tidak sewajarnya memiliki kondisi mental yang hancur berkeping-keping seperti ini. Anak-anak Palestina hanyalah anak-anak biasa tanpa dosa. Mereka berhak merasakan kehidupan layak dengan leluasa, bukan malah menjadi sasaran rudal tanpa putus asa.