Belum lama ini pada awal Bulan Februari terjadi aksi penganiayaan yang menimpa seorang driver ojek online di daerah Gamping, Sleman, Yogyakarta. Kejadian terjadi pada dini hari Sabtu (1/2/2020) saat penyintas sedang mendapat orderan.
Tak disangka saat mengantar penumpang ia bertemu dengan seorang gerombolan pemuda yang berboncengan membawa sebilah senjata tajam dan tiba-tiba mengayunkannya pada tubuhnya tepat dibagian wajah dan harus mendapatkan perawatan medis.
Kilas Balik Klitih
Istilah “Klitih” ini sudah sangat santer terdengar oleh masyarakat Yogyakarta. Diartikan sebagai kegiatan semacam keluyuran atau cari angin dimalam hari oleh seseorang yang memang tak lepas dari budaya masyarakat kita sendiri hobi cari angin demi mencari ketenangan dan kedamaian.
Namun, berbeda dengan cari angin yang satu ini sampai mengakibatkan orang lain malah tidak nyaman, tidak tenang, dan takut. Bagaiamana tidak, kegiatan yang sebenarnya untuk mencari ketenangan dan hiburan diri sekarang bergeser menjadi sebuah konotasi buruk suatu aksi penganiayaan yang disinyalir tanpa adanya alasan atau motif tertentu.
Sehingga pelaku akan secara serampangan (acak) mencari korban yang kebetulan bertemu dengannya. Dikatakan, bahwa aksi semacam ini dulunya sebagai ajang unjuk diri dalam sebuah perkumpulan anak-anak remaja sekolah menengah yang disebut “Geng”.
Aksi klitih dulu dilakukan dengan merampas benda milik seseorang yang sebenarnya kurang bernilai bila berorientasi ekonomi, misalnya saja merampas baju seragam milik anak sekolah lain. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kontestasi jati diri geng yang satu dengan yang lainnya. Sampai kemudian aksi klitih berubah menjadi aksi pembegalan yang berorientasi kepada penganiayaan dan kepuasan tersendiri.
Kontrol Sosial
Membahas juvenile delinquency atau kenakalan remaja dari aksi klitih harus melalui aspek yang mendasar dari yakni dari subyek/aktornya yang mana tidak lain adalah anak-anak remaja belasan tahun.
Mereka akan menghadapi krisis pembentukan karakter sampai mendapatkannya. Mereka dihadapkan pada dinamika proses sosial melenceng yang menghasilkan proses pertumbuhan jati diri yang salah. Bagaimana tidak,seorang remaja seusia mereka sedang mengalami pencarian jati diri dan dihadapkan pada skema proses sosial di lingkungan sekolah yang tidak sehat.
Padahal kontrol sosial yang paling berpengaruh terhadap seseorang yang pertama keluarga dan yang kedua lingkungan sekolah. Apa yang terjadi disuatu keluarga dalam mendidik seorang anak akan tercermin oleh tingkah laku anak baik di lingkungan sekolah,teman sebaya,dan masyarakat.
Disatu sisi didikan orang tua yang keras dan minim perhatian akan menggiring anak menjadi berwatak keras pula. Mereka akan mencoba mencari identitas diri di lingkungan sekitar dari sebuah pengakuan oleh teman sebaya atau lingkungannya ia berada. Sehingga kemudian identitas diri dan ingin diakui oleh orang ialah satu simpul alasan dari aksi penganiayaan dan kekerasan yang dilakukannya.
Antara Kenakalan Remaja dan Tindak Pidana
Aksi klitih ini selain sebagai bentuk dinamika sosial yang berupa kenakalan remaja,namun juga sudah tergolong menjadi tindakan kriminalitas yang konsekuensinya berupa sanksi pidana. Pelaku dapat dikenai delik penganiayaan yang secara expressive verbis tercantum dalam Pasal 351 KUHP yang sekiranya memberikan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Jika penyintas atau korban mengalami luka berat maka diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun. Terkait isitlah penganiayaan sendiri menurut R.Soesilo dalam buku yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal tidak ada yang menjelaskan arti terkait penganiayaan. Namun,yang pasti bentuk akibat dari suatu tindakan penganiayaan itu menimbulkan perasaan tidak enak (takut),sakit,dan, luka.
Pembahasan mengenai unsur tindak pidana penganiayaan dalam aksi klitih dengan pelaku yang masih anak-anak remaja tidak bisa dilepaskan dari dua instrument hokum yang secara lex specialis mengatur terkait perlindungan anak dan system peradilan anak. Sebelum itu perlu diketahui dahulu bahwa yang dimaksud anak dalam hukum pidana itu bagaimana.
Secara expressive verbis dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak terdapat klausul mengenai “anak yang berhadapan dengan hukum” yaitu anak yang berumur 12 tahun sampai berumur 18 tahun.
Sehingga jika pelaku klitih remaja yang berusia antara 12 hingga 18 tahun maka tata cara persidangannya menggunakan sistem peradilan anak yang memberikan hak-hak tertentu sebagai seorang anak yang sedang berkonflik dengan hukum. Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk memberikan perlindungan bagi anak itu sendiri.
Terlebih lagi dalam sistem peradilan anak ini berfokus pada pendekatan Restorative Justice dimana difokuskan pada kebutuhan dari pada korban,pelaku,dan pula pelibatan masyarakat untuk penyelesaiannya. Restorative justice ini tidak melulu berujung pada penjatuhan pidana.
Menurut Clifford Dorn, sebagai seorang penganut teori ini mengatakan restorative justice ini sebagai suatu filosofi keadilan yang memfokuskan pada pentingnya pelibatan dan keterkaitan pelaku, korban,masyarakat,dan juga pemerintah yang diwakilkan oleh penegak hokum untuk menyelesaikan permasalahan kasus kejahatan atau kenakalan remaja. Pendekatan ini sudah banyak diaplikasikan di berbagai negara di dunia dengan sistem hukum common law seperti Indonesia ini.
Sebagai contoh dalam system peradilan anak dalam Undang-Undang yang disebutkan diatas,terdapat mekanisme diversi. Diversi sendiri merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana yang artinya dimungkinkan penyelesaian dilakukan secara baik-baik oleh para pihak baik pelaku dan korban dengan syarat anacaman pidananya kurang dari 7 tahun.
Tujuan dilakukannya diversi ini untuk mencapai solusi yang terbaik yakni damai bagi para pihak. Sehingga kerap kita temui ketika aparat kepolisian yang mendapati laporan tidak pidana yang dilakukan oleh Anak maka tidak langsung dilakukan penyelidikan,aparat akan berusaha mempertemukan kedua pihak baik korban dan pelaku untuk mencari solusi bagi keduanya sebelum dilakukannya penyelidikan hingga persidangan.
Pertanyaan pun akan muncul,lantas apakah dengan adanya system peradilan anak yang demikian aparat penegak hokum seakan tidak serius jika yang melakukan tindak pidana itu Anak?
Memang perlu diketahui meskipun instrumen hukum sudah mengatur sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan dan hak anak,aparat juga memiliki peran sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Sudah diketahui bahwa aksi penganiayaan klitih ini menganggu ketentraman warga masyarakat sehingga sudah sepatutnya dilakukan penindakan tegas dengan merangkul setiap elemen masyarakat.
Perkuat peran Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Kamtibmas) yang ada disetiap desa atau kelurahan bersama-sama dengan masyarakat untuk memberikan perlindungan dan bimbingan kepada anak-anak remaja di lingkungan sekitar.