Tradisi kelompok terpelajar tempo dulu semenjak masa para sahabat nabi hingga pada generasi ketiga yang kesemuanya sering digolongkan dengan kelompok salaf menolak atau enggan berbicara pada sesuatu yang mereka tidak ketahui.
Tercatat bahwa Imam Malik ketika ditanya empat puluh delapan masalah hanya menjawab enam belas masalah dan sisanya beliau katakan tidak tahu. Para imam mazhab sebagai pendiri mazhab fiqih pada dasarnya juga melarang mereka untuk diikuti tanpa mengetahui dalil argumentasi mereka dalam suatu ketentuan hukum.
Mereka mengatakan “janganlah engkau bertaklid kepada kami, terkecuali engkau mengetahui landasan argumentasi dan dalil-dalil yang kami gunakan dalam menentukan sebuah hukum ”. Hal ini menunjukan kehati-hatian dan penghormatan mereka terhadap ilmu dan juga kesadaran mereka atas keterbatan dan kekurangan dirinya. Sikap demokratis dan legowo diatas juga tidak akan pernah lahir terkecuali dari orang-orang yang rendah hati.
Salafi-wahabi adalah sebutan untuk orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pengikut salaf (kelompok terpelajar abad 1-3 H) namun dalam praktik dan realitanya sebetulnya adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab (W. 1206 H) dengan slogan utama kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Gerakan wahabi sebagai gerakan pembaharuan dan pemurnian pemikiran Islam pertama kali didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab sebagai respon terhadap praktik-praktik keagamaan yang dianggapnya telah melenceng dari ajaran agama yang asli.
Meskipun begitu, aksi-aksi lapangan gerakan Wahabi dan komplotanya pasca kematian Muhammad bin Abdul Wahhab banyak yang melenceng dan tidak sesuai dengan pemikiran sang Pendiri. Tercatat, Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah melarang ziarah kubur seperti yang dilakukan oleh ustadz salafi-wahabi saat ini.
Ustadz-ustadz atau penceramah salafi wahabi pada era digital saat ini dapat kita temukan dan tonton diberbagai macam media sosial. Perkembangan yang massif tentang mereka memudahkan siapapun orang untuk melihat, menikmati atau sekalipun menertawai kepongahan atas kualitas ilmu mereka.
Tidak sedikit isi ceramah dan dakwah mereka yang bernunasa serangan, ejekan dan penyalahan pengetahuan atau praktik ibadah diluar mereka. Kebanyakan serangan mereka ditujukan kepada amalan-amalan ibadah Nahdlatul ulama yang oleh mereka diklaim sebagai pengidap TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Sebagai contoh seorang Ustadz Wahabi beberapa hari yang lalau dalam sebuah cermahanya mengatakan bahwa muslim Indonesia adalah pengikut ulama-ulama Syafiyyah (Kelompok terpelajar bermadzhab Syafi’i) bukan Imam Syafi’i.
Jadi Menurut mereka muslim Indonesia adalah pengikut ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i bukan pengikut Imam Syafii. Ini adalah satu dari beragam bentuk kepongahan dan kecongkakan mereka dalam berdakwah. Sebagai catatan tambahan, kelompok yang menamakan diri mereka sebagai salafi ini tidaklah menggunakan sistem bermadzhab dalam memahmi dalil. Sehingga aneh, lucu dan menggelikan jika mereka tiba-tiba berbicara tentang konsep madzhab.
Menurut mereka, mengirim pahala bacaan al-Qur’an terhadap orang yang telah mati dalam pandangan Imam Syafii tidaklah sampai, namun menurut ulama-ulama Syafi’iyyah sampai. Jadi muslim Indonesia yang memperaktekan dan meyakini sampainya pahala bacaan al-Qur’an terhadap orang mati menurut mereka adalah bermazhab ulama syafiyyah bukan Imam Syafii.
Sebagai bantahan terhadap tuduhan tak berdasar mereka saya kemukakan kutipan dari kitab Al-Ruh karya Ibnu Qayyim al-Juzi (W 751 H) sebagai salah satu ulama rujukan Wahabi Mazhab Hanbali dalam Al-Ruh 1/11 menuturkan:
Bahwa Hasan bin al-Sabbah al-Za’farani ( perawi qaul Qadim Imam Syafi’i) bertanya pada Imam Syafi’I tentang pahala bacaan al-Qur’an pada orang yang telah mati. Beliau menjawab: tidak apa-apa.
Artinya Imam Syafii mengakui dan mengiyakan sampainya paghal bacaan al-Qur’an terhadap orang yang telah mati. Jadi tuduhan ustadz salafi-wahabi ini tidak benar dan salah kaprah sebab Imam Syafii (W 204 H) mengakui sampainya pahala bacaan al-Quran terhadap orang yang telah mati. Ini adalah salah satu contoh tuduhan dan kepongahan mereka serta kebohongan tuduhan mereka.
Sebetulnya, saya sama sekali tidak mempermasalahkan ceramah, dakwah ataupun isi-isi ceramah orang-orang salafi-wahabi ini selama berdasarkan landasan yang kuat. Setiap orang dengan latar belakang akidah, aliran serta keyakinannya sekalipun dalam negara demokrasi memiliki hak dan kebebabasan untuk bersuara dan berpendapat.
Konstitusi kita sebagai ruh dan parameter dalam bernegara menjamin kebebasan setiap elemen bangsa untuk mengemukakan pendapat. Namun, tuduhan, penyalahan dan ucapan-ucapan tak berdasar dan tidak memiliki rujukan yang kuat sejatinya adalah menciderai kebebasan dan konstitusi serta ilmu pengetahuan itu sendiri. Terlebih dalam dunia akademik perbedaan seekstrim apapun selama berdsarkan pada argumentasi dan penalaran dan metode ilmiah adalah patut dihormati dan disanjung.
Ingatan kita reflek melayang pada testamen Nabi empat belas abad yang lalu berupa peringatan tentang sekelompok orang yang kerdil, penuh dengan kejahilan namun menempati posisi juru dakwah dan fatwa. Nabi ceritakan bahwa orang-orang semacam ini akan banyak ditanya tentang beragam masalah lalu menjawabnya dengan ngawur tanpa landasan dan pengetahuan. Kini ramalan nabi tersebut sudah benar-benar terjadi bahkan melebihi dari presdiksi nabi.
Sekali lagi ini tentang kepongahan dan keangkuhan dalam ilmu pengetahuan yang harus dihindari bukan hanya oleh sekolompok minoritas penceramah salafi-wahabi, tetapi oleh setiap orang yang mengaku dirinya bertuhan.