Sabtu, April 20, 2024

Kebangkitan Adat Masa Kini: Mandataris Politik Abdon Nababan

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya

Prahara ketersisihan selalu menjadi persoalan masyarakat adat, suatu proses yang muncul dari ketiadaan akses untuk bernegoisasi kepada pemerintah dan terlibat dalam perumusan kebijakan guna mengamankan hak-hak adat yang melekat. Sebab ketiadaan akses ini harus segera teratasi jika bangsa ini tidak ingin terjebak pada kondisi demokrasi parsial, hanya sebatas prosedur namun mengabaikan substansi.

Kondisi ini mengakibatkan konflik tanah dan sumber daya alam berlarut dan memakan waktu menahun. Bayangkan, perampasan tanah adat dengan dalih hak menguasai Negara terjadi seluas 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia. Banyak kasus juga memperlihatkan bagaimana penghancuran sistem sosial masyarakat adat, ini ancaman nyata terhadap identitas budaya masyarakat adat yang selama ini memiliki relasi erat dengan tanah jika kemudian terus diabaikan.

Dengan konflik dan perlawanan yang terjadi, pembangunan kemudian dipandang sebagai agresi karena menjadi pembenaran atas perampasan wilayah, tanah dan sumberdaya milik masyarakat adat tanpa persetujuan mereka. Dewasa ini masyarakat adat berada dalam situasi menuju kepunahan, karena pelanggaran HAM, pemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap layanan publik yang melanda mereka.

Padahal, akses politik semakin terbuka, pemerintahan semakin terdesentralisasi, semangat untuk membentuk kebijakan di tingkat lokal atau daerah yang memberi pengakuan dan hak berpartisipasi masyarakat adat pun semakin dinamis.

Namun, peluang itu tidak termanfaatkan dengan baik untuk digunakan oleh masyarakat adat agar terlibat pada tiap-tiap agenda politik dalam mendesign kebijakan dan melindungi hak-hak mereka melalui struktur politik. Itu kenapa partisipasi politik menjadi penting di tengah arus zaman yang semakin predatoris.

Perlu ada pejuang adat yang bergerilya dalam sistem politik, bukan untuk meraup keuntungan sebagaimana biasa yang terjadi. Melainkan menyuarakan hak-hak adat dan mengamankan wilayah adat melalui jalur politik. Sebab bersuara lantang, tak melulu ditempuh dengan jalur konfrontasi semata.

Melalui Jalur Politik, Abdon Lanjutkan Perjuangan Adat

Pertanyaan ini kerap muncul dalam gerakan masyarakat adat selama beberapa dekade ini, sebab berpolitik masih dipandang negatif dari beberapa pihak dalam kalangan aktivis masyarakat adat.

Wajar saja, selama beberapa lama ini kalangan gerakan hanya fokus pada strategi konfrontasi untuk menyuarakan hak-hak masyarakat adat sebagai satu-satunya cara, namun kita masih melihat sepanjang 2016 konflik agraria yang bersentuhan dengan masyarakat adat mencapai 450 kejadian. Mayoritas konflik muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10) dan pertanian (7).

Konflik itu melulu terjadi dalam masyarkat adat, setiap tahun mereka harus menghadapi keterasingan, pemiskinan, kehilangan kedaulatan bahkan kekerasan dari aparat-aparat pemerintah. Kondisi itu menjadi wajah quo vadis masyarakat adat, tak kunjung ada perubahan soal perlindungan hak mereka meski kini telah di akui.

Berangkat dari persoalan itu yang mendasari pentingnya masyarakat adat untuk terlibat pada tiap agenda politik, sebab jika masyarakat adat terus mengambil jalan konfrontasi sebagai satu-satunya cara maka prahara keterasingan dan perampasan akan melulu menjadi status quo dalam masyarakat adat.

Tantangan masyarakat adat semakin dinamis, liberalisasi perdagangan, investasi global yang semakin kuat menyebabkan potensi persaingan semakin terbuka. Itu kenapa negara harus memulihkan hak-hak adat dan mengakkan otonomi lembaga-lembaga adat sehingga mereka mampu mempertahankan diri, dan melakukan perlawanan terhadap berbagai pelanggaran hak politik, sosial, ekonomi dan budaya melalui sistem politik.

Intervensi negara terhadap sistem politik masyarakat adat harus dikurangi seminimal mungkin sehingga kekuatan adat yang masih dimiliki oleh sebagian besar rakyat Indonesia bisa difungsikan untuk menata kembali struktur dasar konsep “nation-state”.

Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) 1999 telah memandatkan AMAN untuk memperluas partisipasi politik masyarakat adat hingga ke pusat-pusat pembuat kebijakan negara. Keputusan ini diperkuat oleh KMAN 2007 dan KMAN 2012 yang memutuskan bahwa AMAN sebagai seantero gerakan masyarakat adat harus mendorong, memfasilitasi dan memenangkan masyarakat adat yang ingin memperjuangkan melalui agenda-agenda politik.

Memasuki arena politik jelas bukan dalam arti sederhana seperti membentuk partai politik, tetapi lebih dimaksudkan untuk membawa aspirasi otonomi masyarakat adat sebagai agenda politik. Ini harus dikerjakan mulai dari tingkat kampung, daerah, nasional bahkan internasional.

Seharusnya keputusan kongres itu dapat menjadi pintu gerbang untuk mendorong masyarakat adat terlibat aktif dalam agenda politik. AMAN sebagai “ruang dan jalan” bisa menjadi jalan keluar sekaligus sebagai wadah untuk memperjuangkan hak-hak dan keberadaan masyarakat adat. Sebab hanya AMAN yang hari ini memiliki akses dekat dengan masyarakat adat, karena menaungi 2.332 komunitas adat, yang terdiri dari 17 juta jiwa anggota individu.

Atas dasar mandataris kongres, dan mendorong terwujudnya partisipasi politik masyarakat adat. AMAN menugaskan Abdon Nababan untuk maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara periode 2018-2023 mendatang. Keputusan pencalonan Abdon ini didasarkan pada beberapa hal. Pertama, pengembalian hak-hak atas tanah milik masyarakat adat di Sumatera Utara yang tidak terselesaikan sampai saat ini. Kedua, Pemerintah Sumatera Utara sampai saat ini tidak pernah membuat peraturan yang melindungi hak-hak masyarakat adat.

Di samping itu, terdapat ratusan kasus-kasus konflik agraria di Sumatera Utara yang belum diselesaikan hingga kini. Banyak diantaranya bermuara pada kriminalisasi masyarakat adat maupun petani yang berupaya memperjuangkan wilayahnya.

Itu kenapa Abdon, sosok penerima Ramon Magsasay Award 2017 sekaligus mantan sekjen AMAN yang sudah 20 tahun belakangan memperjuangkan masyarakat adat di utus untuk mereformasi sistem di Sumatera Utara dan memberdayakan masyarakat adat Tano Batak.
Ini merupakan salah satu gambaran kebangkitan masyarakat adat masa kini, Abdon memutuskan untuk maju guna memanfaatkan hak politiknya demi mewujudkan konsep partisipasi politik masyarakat adat.

Menurut Abdon, ada 2 hal yang harus dipastikan di masa depan. Pertama agar politik perwakilan melalui demokrasi liberal tidak masuk ke wilayah-wilayah adat, dan kedua agar politik permusyawaratan ini dikembangkan sebagai cara bagi masyarakat adat untuk memilih dan menentukan utusan-utusan politiknya ke dalam lembaga-lembaga politik negara, dari mulai tingkat kabupaten, Provinsi sampai ke Nasional. Hal ini kemudian harus sudah mulai di konsolidasikan masyarakat adat agar suara-suaranya dapat terdengar secara langsung melalui lembaga pemerintahan.

Perjuangan politik Abdon Nababan, merupakan semangat baru gerakan masyarakat adat yang sudah harus merubah strateginya dari konfrontasi ke terlibat dalam agenda politik. Karena dengan begitu, masyarakat adat dapat secara langsung mengamankan wilayah adat dan haknya dari ancaman perampasan kedepannya.

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.