Sabtu, April 20, 2024

Islam, Feminis, Istri dan Suami

Ingrit Dilla Farizna
Ingrit Dilla Farizna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta #Sine Amor Nihil Est Vita

Pernikahan merupakan hal yang didambakan bagi setiap manusia untuk menyalurkan fitrahnya dalam mencintai pasangannya. Selain bentuk cinta, pernikahan juga dianggap sebagai ibadah yang menggenapkan setengah dari kesempurnaan agama seseorang.

Seseorang yang sudah sanggup untuk menikah berarti dirinya telah sanggup untuk menjalankan segala hak dan kewajiban terhadap satu sama lainnya. Oleh karena itu, setelah menikah suami dan istri wajib untuk bekerja sama dalam menyeimbangkan hak dan kewajibannya, seperti berbagi pikiran dan perasaan, beradaptasi satu sama lain, saling menyayangi dan mencintai, saling membutuhkan, dan saling memenuhi apa yang menjadi kebutuhan satu sama lainnya.

Diantara salah satu kebutuhan utama dalam menjalankan hubungan rumah tangga ini adalah kewajiban suami menafkahi istrinya. Telah banyak kita jumpai di masyarakat, bahwa permasalahan yang timbul dalam rumah tangga adalah masalah finansial. Mulai dari nafkah yang tidak mencukupi hingga seorang wanita yang tidak diberikan nafkah lagi padahal masih berstatus sebagai istri.

Persoalan tersebut seringkali berujung pada perceraian. Padahal sebuah studi mengungkapkan bahwa pasangan yang telah menikah dan mengelola keuangan bersama-sama justru cenderung berada dalam hubungan yang lebih bahagia dan stabil.

Nafkah adalah kewajiban yang timbul sebagai akibat perbuatannya yang memiliki tanggung jawab, yaitu berupa pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya. Pada dasarnya, kewajiban memberikan nafkah dibebankan kepada suami sebagai kepala keluarga. Istri yang telah dinafkahi oleh suaminya wajib untuk mentaatinya.

Lantas,bolehkah seorang perempuan berhenti mentaati suaminya apabila sudah tidak diberikan nafkah lagi?

Dari Nafkah hingga Sisi Feminis Q.S An-Nisaa: 34

Perempuan, manusia dengan identitas kelas dua di dalam masyarakat. Seringkali ia dianggap sebagai subjek lemah dan terbelakang. Lantaran paradigma masyarakat yang selalu menekan bahwa laki-laki merupakan superior dalam aspek kehidupan; pekerjaan, pendidikan, politik, dan keluarga. Pandangan masyarakat telah membebankan bahwa perempuan sejatinya tinggal di rumah, mengurus keluarga dan anak. Sebaliknya, laki-laki mendapat peran sebagai pekerja di luar rumah, pemimpin, atau kepala rumah tangga di dalam keluarga.

Dalam keluarga, sosok laki-laki dijadikan pemeran utama sebagai kepala rumah tangga. Tentu saja tugas dari kepala rumah tangga adalah memimpin, melindungi, menyayangi, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam Islam, laki-laki dipercaya sebagai kepala rumah tangga karena ia diberikan kekuatan lebih oleh Allah SWT untuk bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Sebagaimana dijelaskannya kedudukan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Allah berfirman dalam surat An-Nisaa ayat 34:

Yang artinya: “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat (kepada Allah) lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalua perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.

Dalam ayat tersebut, secara konkret Allah SWT menjelaskan tentang hak dan kewajiban yang diberikan kepada laki-laki, yaitu kekuatan lebih untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya. Seorang laki-laki harus siap menanggung segala resiko dan konsekuensi apabila ia merasa mampu untuk menikahi wanita, baik mampu secara materi atau non materi.

Tetapi, ada sesuatu yang menarik dalam kandungan ayat tersebut. Ayat di atas tidak secara dominan menyebutkan kekuasaan laki-laki terhadap kepatriarkalnya. Kesamaan derajat terhadap laki-laki dan perempuan diatur secara gamblang dalam ayat tersebut. Apa sisi feminis yang dimaksud surat An-Nisaa ayat 34 itu?

Pembahasan yang dapat kita cerna secara mudah dalam ayat ini, pertama adalah laki-laki adalah pelindung sekaligus pemimpin bagi perempuan. Kedua, laki-laki harus menafkahi. Ketiga, wanita (istri) harus taat kepada laki-laki (suaminya). Ayat ini menyinggung kata “taat” yang diberikan kepada wanita. Sehingga dalam masyarakat awam, kata tersebut beredar dalam masyarakat dan memunculkan perspektif jika seorang istri tidak taat kepada suaminyamaka ia terkena sanksi agama, yaitu dosa.

Bahkan untuk zaman modern sekarang ini, perspektif tersebut juga tidak dapat dihindari, sehingga mungkin saja telah melekat kuat menjadi dogma di dalam masyarakat. perspektif tersebut telah menakut-nakuti perempuan dalam sisi kebebasannya. Dengan demikian, apakah seorang istri harus taat terus menerus kepada suaminya?

Jawabannya adalah tidak. Seorang istri boleh saja untuk tidak menaati suaminya karena alasan tertentu. Istri boleh untuk tidak mentaati suaminya (Nusyuz) apabila suaminya tidak menafkahi dirinya lagi. Ketentuan tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama, bahwa seorang istri boleh untuk tidak menaati suaminya selama suaminya itu tidak memberikan nafkah kepada sang istri.

Ingrit Dilla Farizna
Ingrit Dilla Farizna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta #Sine Amor Nihil Est Vita
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.