International Organization for Migration atau yang kita kenal dengan sebutan IOM, organisasi tersebut yang dimana bergerak dalam bidang kepengurusan migrasi di kancah internasional. Pada 8 April 2021 yang lalu telah menggelar sebuah webinar bertajuk “Tren, Pola, dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)”.
Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai bentuk sekaligus respon atas rasa kecemasan terhadap maraknya kasus praktik perdagangan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Karena polemik ini tidak bisa begitu saja kita biarkan atau malah menganggapnya sebagai sebuah hal yang kecil. Kendati demikian, ini bisa menjadi sebuah pukulan telak dan bahkan bencana bagi Indonesia di kancah domestik ataupun dunia.
Jika kita meninjau sekilas rekam jejak dari tahun ke tahun akan problematika tersebut. Maka dapat disimpulkan bersama bahwa ini menjadi sebuah penyakit yang mendarah daging di Indonesia. Beberapa pihak justru menilai ini menjadi sebuah peluang dalam hal meraup keuntungan semata, tentunya tanpa meninjau dari eseni nilai hukum ataupun bahkan segi hak asasi manusia bagi pihak yang bersangkutan.
Dari riwayat itulah yang sampai detik ini membuat Pemerintah Amerika Serikat pada Laporan Perdagangan Manusia 2021 menempatkan Indonesia di posisi 2 sebagai negara dengan kasus tertinggi perdagangan manusia. Lanjut lagi bahwa AS menambahkan Indonesia sebagai negara yang belum mampu untuk memenuhi standar minimum dalam penyelesaian isu tersebut (dunia.tempo.co, 2021).
kasus demi kasus yang terjadi pun melibatkan banyak pihak dan tentunya sang pelaku/traffickers menyusun siasat dengan akal yang cukup cerdas. Modus yang kerap kali dipakai pun seperti diiming-imingkan menjadi pembantu rumah tangga, supir, dan juga pekerja di sektor umum lainnya.
Adapaun negara-negara yang menjadi target utama ialah, Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, dan Singapura. Tidak mengherankan lagi bahwa Indonesia bisa dikatakan sebagai negara dengan tingkat perdagangan manusia yang cukup tinggi (cnnindonesia.com, 2019). Adapun data sampai detik ini ialah sebanyak 1.962 anak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual, dan 50 anak menjadi korban eksplotasi.
Data yang bersumber dari International Organization for Migration (IOM), sejak Maret 2005-Januari 2008 telah mencatat perdagangan manusia sebanyak 3.024 dengan rincian 5 bayi, 132 anak laki-laki, 651 anak perempuan, dan 2.504 orang dewasa. Dari data tersebut 55% di antaranya sebagai korban eksploitasi di sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT), 21% pada sektor pegawai sex paksa, 18,4% pada sektor pekerja formal, 5% eksploitasi ketika proses transit, dan 0,6% adalah bayi.
Ironisnya dari total kasus tersebut yang berhasil ditangani di meja peradilan hanyalah 1% saja. Kita pun di satu sisi mengetahui bahwa Indonesia sendiri sejatinya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun sangat disayangkan sekali bahwa upaya tersebut belumlah berjalan efektif. Maka, dibutuhkan peran dari bingkai hukum internasional untuk sama-sama saling menguatkan satu dengan yag lainnya.
Menurut PBB sendiri, perdagangan manusia (human trafficking) termasuk di kategorikan sebagai salah satu perusahaan gelap terbesar ketiga di dunia. Hal ini pun terbukti dari pemasukan yang terbilang fantastis, yaitu sejumlah 9,6 jt USD. Tidak hanya sampai di situ saja, melainkan perdagangan manusia merupakan salah satu perusahaan gelap yang sangat erat berdampingan dengan elemen-elemen lainnya. Seperti pencucian uang, pemalsuan dokumen, perdagangan obat-obatan terlarang (Narkoba), dan juga penyelundupan imigran (smuggling).
Perdagangan manusia bukan hanya menjadi catatan hitam Indonesia saja, melainkan sudah menjadi isu secara global. Maraknya praktik ini dan terus melonjak kasusnya dari waktu ke waktu hingga pada akhirnya membuat PBB kemudian membentuk United Nations Office on Drugs an Crime (UNDOC) sebagai sebuah badan organisasi yang berfokus untuk penaggulangan polemik perdagangan manusia dan juga beberapa dicetuskannya rangkaian konvensi internasional untuk membahas isu yang cukup krusial tersebut. Antara lainnya yaitu;
1. International Convention for The Suppression of White Slave Traffic, tahun 1921
2. International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children, tahun 1921
3. nternational Convention for the Suppression of Traffic in Women of Full Age, tahun 1933
4. Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women, CEDAW, tahun 1979
5. Asean Convention Against Trafficking in Persons
Pada tahun 2017 yang lalu, Kementerian PPN/Bappenas menandatangani lembar dokumen kerjasama dengan pihak United Nations Office on drugs an Crime (UNODC). Program kerjasama tersebut bernama UNODC Indonesia Country Program Tahun 2017-2020. Program tersebut sebagai pertanda bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen penuh untuk mendukung dalam meratifikasi serta mempersiapkan penyelenggaraan perjanjian hukum internasional, termasuk salah satunya yaitu dalam ranah pembangunan kebijakan nasional terkait dengan isu Narkoba, kejahatan, dan juga terorisme.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen penuh dan juga berupaya secara maksimal mungkin guna melawan praktik perdagangan manusia. Hal itu pun terbukti dengan sangat jelasnya dari beberapa indikator yang dijelaskan di bawah ini;
1. Pembentukan 32 gugus tingkat provinsi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA RI) untuk mengatur dan mengawasi perekrutan tenaga kerja
2. Indonesia meratifikasi perjanjian hukum internasional tentang human trafficking
3. Terlibat aktifnya Indonesia pada konvensi-konvensi internasional yang membahas seputar human trafficking
4. Menjalin hubungan kerjasama dengan pihak UNODC serta negara-negara lainnya
5. Dicetuskannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang membahas tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dari tulisan di atas kita sama-sama mampu untuk menarik benang merah bahwasanya sampai detik ini masih maraknya praktik perdagangan manusia yang hinggap pada rongga kehidupan ibu pertiwi dan juga dunia. Tindakan keji tersebut sangatlah bertolak belakang sekaligus bertentangan dengan nilai luhur yang terdapat pada HAM.
Karena human trafficking atau perdagangan manusia ialah ketika seseorang dirampas haknya dan juga tidak dapat kedaulatan hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Maka ini adalah suatu hal yang sangat sekali serius dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Perlu adanya upaya preventif yang tegas guna menanggulangi problematika tersebut.
Namun di satu sisi kita selaku masyarakat Indonesia patut untuk bersyukur dan juga berterimaksih kepada pemerintah yang telah berkomitmen penuh dalam merespon dan kemudian mengambil tindakan tegas pada isu ini. Dengan rangkaian upaya nyata yang telah diperjuangkan oleh pihak Indonesia maupun global, kita sama-sama berharap bahwa polemik tersebut dapat segera dibasmi sampai ke akar-akarnya.