Santri merupakan sebuah diksi yang selama ini termarginalkan. Dalam segala aspek kehidupan kontruksi sosial berbangsa dan bernegara. Peringatan hari santri setiap tanggal 22 Oktober adalah pengakuan eksistensi bagi kaum santri.
Santri selama ini digambarkan sebagai kaum tertinggal. Tidak mampu mengikuti perkembangan kekinian. Secara fashionable tidak hits, paradigmanya kolokan (ndeso), secara politik hanya warganegara kelas kedua.
Kesan itu sebenarnya tidak berdiri sendiri. Melainkan sengaja dibangun untuk menekan potensi dan kekuataan santri. Penekan tersebut tentu saja hasil dari kebijakan politik disebuah rezim yang sedang berkuasa.
Pada era orde baru, santri tidak memiliki hak dalam sektor-sektor strategis. Misalnya, di sektor aparatur pemerintahan sipil ataupun militer. Santri yang notabene mereka yang belajar di bangku pesantren. Tidak bisa menjadi ASN. Karena rekruitmen ASN standarisasinya adalah lembaga pendidikan reguler.
Pada era tersebut, orang tua ketakutan apabila anaknya menempuh pendidikan di pesantren. Karena memondokan anak di pesantren masa depannya tidak jelas.
Reformasi 1998 menjadi titik awal kebangkitan santri. Saat rezim orde baru tumbang oleh gerakan Mahasiswa. Yaitu, Abdulrahman Wahid atau Gus Dur, terpilih sebagai Presiden ke-empat. Hasil Sidang Umum DPR dari Pemilihan Umum multi partai pertama kali.
Anasir-anasir yang tidak menghendaki kebangkitan politik santri. Terlihat sangat kuat bercokol di Politik Tanah Air ini. Kebijakan Gus Dur dianggap berbahaya dan mengancam pengaruh kelompok anti-santri. Sehingga Gus Dur pun tidak sampai berakhir periodisasinya. Gus Dur dijatuhkan melalui Sidang Istimewa.
Dis-stabilisasi Lembaga Politik Santri
Kendati tidak sampai lima tahun. Sentuhan Gus Dur mempengaruhi tata kelola kebangsaan dan bernegara sangat signifikan. Keran aspirasi dan kesetaraan terbuka lebar. Kaum santri mulai memiliki peran dalam kehidupan politik. Baik politik formal maupun politik non-formal.
Arus deras politik santri ini bagi kekuataan lain sangat berbahaya. Cara menghadangnya pun harus diperlukan cara yang halus. Santri tidak mudah lagi dikebiri.
Paling nampak di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Politik santri tetap boleh eksis tapi tidak boleh berdaya. Artikulasi dan representasi politik santri dibuat sibuk dengan konflik internal. Partai politik yang menjadi wadah politik kaum santri, yaitu PKB terjadi konflik internal berkepanjangan.
Tercatat, PKB melakukan muktamar yang merupakan forum tertinggi pengambil keputusan sebanyak 3 kali. muktamar Semarang, muktamar Surabaya, hingga muktamar Ancol. Dalam muktamar tersebut, akibat konflik yang berujung pergantian Ketua Umum.
Di-era ini juga, Gus Dur terhempas dari Partai yang didirikan dengan beberapa Kiai Sepuh. Gus Dur berkonflik dengan Muhaimmin Iskandar. Konflik ini tidak mampu direkonsiliasikan hingga saat ini. Sepeninggal Gus Dur, Muhaimmin tidak mampu merangkul keluarga dan simpatisan Gus Dur.
Hari Santri Kebangkitan Kedua
Kendati masih meninggalkan dendam di seputaraan elit politik santri. Ketetapan Presiden No. 22 tahun 2015 tentang tanggal 22 Oktober, sebagai Hari Santri Nasional. Kebijakan politik Presiden Jokowi tersebut, adalah apresiasi dan berpihaknya rezim Jokowi kepada Santri.
Santri mempunyai kedudukan yang setara dalam segala aspek sosial masyarakat. Santri bukan warga negara kelas dua lagi. Santri bisa menduduki tempat-tempat strategis di pemerintahan.
Kebijakan ini tidak hanya seremonial saja. Penetapan hari santri efeknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak ada kesenjangan pranata sosial yang selama ada. Santri bukan kaum kolokan atau ndeso. Semua atribut khas santri adalah kekayaan dan karakter bangsa.
Santri juga bisa menempati posisi strategis dalam bingkai lembaga politik. Yang selama ini distigma bahwa santri tidak layak menempati posisi strategis di lembaga politik. Seorang tokoh politik tidak lagi digambarkan dengan fashion model branded Eropa. Yang sarungan dan kopyah, bukan hal yang tabu dikenakan politisi.
Tentu saja, kebangkitan ini pertaruhan besar bagi kaum santri. Kaum santri harus bisa menunjukkan kemampuan dan kesempatan tersebut. Mengubah stigma miring soal santri.
Kuncinya, adalah profesionalitas yang didukung dengan kemampuan intelektualitas. Karena dua faktor itulah syarat yang menjadi tolak ukur netizen.
Santri yang mempunyai posisi strategis dalam sektor politik. Harus mampu menciptakan kebijakan yang pro-rakyat. Jauh dari praktek-praktek korupsi. Dan jauh dari nepotisme. Semua mengunakan parameter logis di masyarakat.