Sabtu, Oktober 12, 2024

Hari Konstitusi dan Amendemen

Mazdan Assyayuti
Mazdan Assyayuti
Peneliti PSHK FH UII, Mahasiswa Magister Hukum FH UII

Indonesia memastikan menjadi bangsa rechtstaat satu hari setelah proklamasi kemerdekaannya. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditetapkan oleh sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK). Penetapan 18 Agustus 1945 inilah yang kemudian menjadi tetenger Hari Konstitusi, dimana UUD 1945 pertama kali ditetapkan.

Meskipun kemudian ditetapkan kembali oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945, tetapi tidak bisa merubah fakta bahwa UUD 1945 telah ditetapkan satu hari setelah proklamasi. Berikut pula tidak kemudian merubah peringatan Hari Konstitusi menjadi 29 Agustus. Hari Konstitusi tetap diperingati pada kali pertamanya ditetapkan.

Bangsa Indonesia memiliki semangat menjadikan hukum sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Keberadaan konstitusi yang ditetapkan selang sehari itu, menunjukkan iktikad kuat hal tersebut. Selain itu, mengangkat derajat rakyat yang sama di mata hukum, tidak lagi terstratifikasi dalam kasta yang hidup selama periode kolonialisme. Semangat ini juga yang menjadikan bangsa ini memilih bentuk Republik.

Perjalanan konstitusi tidaklah mulus. Berulang kali, Indonesia harus mengganti konstitusinya dengan Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950). Ada alasan-alasan keadaan tertentu mengharuskan konstitusi berganti. Lantas kembali lagi kepada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Lalu, reformasi mengubah UUD 1945 dengan amendemen. Sejatinya, memang UUD 1945 disadari oleh para pendiri hanya bersifat sementara dan perlu dilakukan penyempurnaan.

Amendemen

Salah satu alasan agenda reformasi melakukan amendemen UUD 1945 adalah adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru dengan berlindung dibalik konstitusi. UUD 1945 mengalami bedah konstitusional yang kembali mengorek perdebatan lama bangsa Indonesia. Sehingga kemudian disepakati bahwa tidak mengubah sistem presidensial, bentuk negara kesatuan, Pembukaan UUD 1945, terkait keberadaan penjelasan ditiadakan, dan perubahan dengan cara adendum.

Kita mengenal bahwa amendemen dilakukan empat kali, sesuai jumlah tanda petik bintang yang mengisi buku saku UUD 1945 itu, demikian yang dijelaskan dalam footnote. Berikut pula penjelasan dari guru PPKn ketika dulu di bangku sekolah. Amendemen tersebut mengubah UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, sebagai nomenklatur perubahan.

Namun, sejatinya tanda petik bintang tersebut pun menuai berbagai penafsiran, setidaknya ada dua pendapat. Pertama, amendemen dilakukan empat kali, benar seperti tersirat dalam footnote di buku saku UUD 1945. Ketua, amendemen dilakukan sekali dengan empat tahap perubahan.

Menjelang Dua Dasawarsa UUD NRI 1945

Pada Hari Konstitusi tahun 2021, umur UUD NRI 1945 hampir mendekati dua dasawarsa. Beberapa akhir waktu ini, muncul kembali wacana untuk melakukan amendemen terutama dengan agenda penambahkan ketentuan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Kekhawatiran juga menyeruak, jika melebar kepada perubahan lain, seperti masa jabatan presiden.

Amendemen UUD NRI 1945 akan berbeda dengan merubah UUD 1945 tatkala reformasi dulu. Pertama, tidak ada momen penting yang memaksa perubahan. Kedua, regulasi untuk merubah konstitusi memiliki persyaratan yang lebih ketat daripada UUD 1945.

Pasal 37 ayat (2) UUD NRI 1945 telah memperjelas batasan agar tidak memperlebar bagian perubahan, hanya boleh pada bagian yang diusulkan secara tertulis saja. Usulan bagian perubahan pun juga harus disertai alasan yang mendasari harus dilakukan perubahan.

Ada beberapa celah yang harus diperhatikan oleh masyarakat, agar amendemen kelak tetap memiliki partisipasinya. Usulan perubahan harus diselenggarakan secara transparan. Masyarakat memiliki akses untuk mengetahui naskah usulan perubahan sehingga mengetahui bagian mana saja yang diagendakan perubahan.

Hal yang tidak kalah penting adalah memastikan konstitusi tetap memiliki konstitusionalisme. Pemegang kekuasaan harus dibatasi agar tidak menyalahgunakan wewenangnya, menimbang aspek check and balances, serta tidak menciderai hajat masyarakat luas. Amendemen selayaknya dilakukan atas tuntutan perubahan zaman bukan atas kepentingan segelintir golongan.

Mazdan Assyayuti
Mazdan Assyayuti
Peneliti PSHK FH UII, Mahasiswa Magister Hukum FH UII
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.