Setiap 10 Desember, banyak negara di seluruh dunia merayakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) atau Human Rights Day. Momentum ini diinisiasi oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menggagas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia pada 10 Desember 1948.
Ada 6 jenis HAM, yaitu hak asasi sosial, hak asasi ekonomi, hak asasi politik, hak asasi budaya, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan, dan hak mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan.
Namun meskipun diperingati, di Indonesia sendiri tak banyak masyarakat yang tahu apa sebenarnya maksud di balik peringatan Hari HAM tersebut. Melihat realitas ini, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kesadaran tentang HAM. Salah satunya melalui pemanfaatan momentum Hari HAM dengan mengadakan acara yang bertajuk “Kerja Bersama Peduli Hak Asasi Manusia” di Solo, yang dihadiri langsung oleh 01 RI, Presiden Joko Widodo (Tribunnews.com).
Pemerintah Indonesia telah berupaya lebih lanjut untuk memajukan dan menegakkan HAM guna melindungi warga negaranya dengan meratifikasi atau mengadopsi perjanjian internasional (kovenan) yang sebelumnya dideklarasikan oleh PBB.
Kovenan internasional tersebut memuat tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) serta hak Sipil dan Politik (SIPOL). Ratifikasi tersebut dituangkan dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak-Hak EKOSOB dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak SIPOL.
Pelanggaran HAM di Indonesia
Salah satu tokoh perjuangan yang secara konsisten dan tegas menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia adalah Munir. Namun nasib seorang pejuang di negeri ini nampaknya selalu mengalami kisah yang tragis. Munir ditemukan meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika munir melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004.
Banyak spekulasi yang bermunculan terkait kejadian tersebut. Sampai saat ini, kasus tersebut belum menemui titik temu meskipun telah diajukan di Amnesty Internasional. Kemudian pada tahun 2005, Pollycarpus, seorang pilot Garuda dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena ditetapkan menjadi pembunuh munir. Meskipun banyak pendapat yang meragukan jika Pollycarpus merupakan otak dari kasus pembenuhan Munir.
Selain kasus pembunuhan Munir, tragedi lain adalah kasus pembunuhan Aktivis Buruh Wanita bernama Marsinah yang terjadi pada tahun 1993. Marsinah ditemukan tewas setelah malakukan aksi mogok kerja bersama buruh PT Catur Putera Surya Porong yang menuntut kepastian perusahaan yang melakukan PHK sepihak tanpa alasan. Marsinah diduga menjadi korban penculikan, penganiayaan dan pembunuhan. Penyelidikan kasus ini belum menemui titik terang hingga sekarang.
Hal ini semakin menjadi ironi, karena dua perjanjian internasional atau kovenan Internasional telah diratifikasi (diadopsi) dan disahkan sebagai Undang-Undang (UU) sejak 2005. Akan tetapi nampaknya pemerintah belum benar-benar berhasil mengimplementasikan isi pokok dari kovenan tersebut.
Dengan meratifikasi kovenan internasional itu saja, berarti pemerintah telah menyadari pentingnya aspek-aspek HAM yang harus diperhatikan dan dilindungi. Tapi sayangnya kesadaran tersebut belum mampu membawanya sampai kepada aksi nyata dengan benar-benar menanggulangi berbagai permasalahan HAM yang ada di negeri ini.
Faktanya, hak mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan, merupakan salah satu isi dari Kovenan Internasional. Tapi jika melihat dari usianya, ratifikasi kovenan internasional jauh lebih muda dibandingkan dengan kasus Munir ataupun Marsinah. Sehingga ini memunculkan anggapan bahwa sebenarnya pemerintah telah memiliki inisiatif untuk memperbaiki sistem hukum di negeri ini, dengan berkaca pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah merampas hak rakyat.
Akan tetapi, inisiatif saja tak dapat membuat keadaan lebih baik jika tidak dibarengi dengan implementasi dan juga pemberian hak rakyat untuk mendapatkan persamaan hukum. Sehingga pada akhirnya, tak ada lagi kasus yang dibiarkan “mandek” tanpa adanya penyelidikan yang tuntas.
Karena jika melihat fakta yang terjadi, kasus Munir dan Marsinah bukan satu-satunya kasus pelanggaran HAM di negeri ini. Terdapat ribuan bahkan jutaan kasus-kasus serupa dan banyak diantaranya yang belum menemukan titik penyelesaian yang jelas.
Berdasarkan laporan tahunan KOMNAS HAM, pada tahun 2016 terdapat 7.188 pengaduan mengenai pelanggaran HAM selama tahun tersebut. Itu baru jumlah yang dilaporkan, bisa jadi jumlah kasus yang belum terlapor lebih banyak dari itu. Meskipun telah memiliki payung hukum yang jelas, akan tetapi faktanya Indonesia belum mampu mengusut tuntas kasus-kasus tersebut.
Euforia Peringatan Hari HAM
Banyak sekali hal yang dilakukan dalam memperingati Hari HAM. Mulai dari diskusi di warung kopi hingga turun aksi untuk menyuarakan hak-hak sebagai warga negara. Seakan sejalan dengan hal tersebut, dalam setiap tahun memperingati hari HAM pemerintah selalu mengadakan serangkaian acara untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dan ajakan peduli terkait permasalahan HAM. Euforia dalam memperingati Hari HAM itu sah-sah saja.
Namun jika dalam setiap tahun peringatannya hanya menggaungkan tentang solidaritas saja, maka apakah latar belakang dan alasan diperingatinya Hari HAM sedunia juga “sedangkal” itu? Membangun solidaritas bukan lagi hal yang konkret dilakukan dalam keadaan seperti ini. Solidaritas masih terlalu dangkal mengingat sudah puluhan bahkan ribuan kasus pelanggaran HAM terjadi tanpa adanya tindakan dan pengusutan yang jelas. Bukan hal yang tidak mungkin jika jumlah tersebut akan terus bertambah jika upaya penyadaran tidak diimbangi dengan aksi konkret yang dilakukan oleh pemerintah.
Progres atas pengungkapan dan penyelidikan pelanggaran HAM menjadi salah satu contoh sebagai aksi konkret dalam kondisi seperti ini. Dengan mengusut tuntas kasus HAM yang masih belum menemukan titik temu atau menindak lanjuti permasalahan-permasalahan lain yang merebut hak-hak rakyat, akan lebih “berkesan” hasilnya.
Jika hal itu berhasil dilakukan, para “calon” pelanggar HAM pasti akan berpikir ulang ribuan kali untuk melancarkan aksinya. Dan pada akhirnya, betapa tentramnya negeri ini apabila setiap inisiatif selalu diimbangi dengan aksi yang aktif! Karena yang dibutuhkan adalah “progres” nya, bukan hanya sekedar “solidaritas” nya!