Negara Indonesia terdiri dari beribu pulau dan bermacam-macam suku. Kemajemukan bangsa ini menjadi ciri khas yang berbeda dengan bangsa lain.
Menurut laporan terbaru dari Worldometres, Indonesia memiliki luas wilayah sebesar 1,9 juta km2. Dengan besaran luas wilayah tersebut, maknanya masyarakat Indonesia tersebar di penjuru nusantara meskipun persebarannya tidak merata.
Kemajemukan tersebut menjadi problematika antara masyarakat dengan entitas suku tertentu. Rasa kecintaan seseorang yang berada pada suatu kelompok terkadang menimbulkan rasa untuk lebih mendominasi kelompok lain.
Rasa Etnosentrisme dalam Masyarakat
Berawal dari anggapan in group dan out group seakan menjadi tameng bagi seseorang dalam menilai kesesuaian kelompok lain harus sesuai dengan apa yang menjadi tolak ukur dalam kelompoknya. In group dan out group merupakah istilah yang dikemukan oleh sosiolog W.G. Sumner dalam mengidentifikasi kelompok sosial.
In group bermakna sebagai kesatuan diri seseorang dalam mengintroduksi atau memahami dirinya di dalam suatu kelompok, sedangkan out group bermakna pandangan seseorang terhadap kelompok lain yang dapat diartikan sebagai lawan.
Adanya in group dan out group akan melahirkan sikap etnosentrisme dalam diri individu, dengan memandang segala kebiasaan dan peraturan yang ada di kelompoknya merupakan hal yang terbaik dan kelompok lain harus memiliki pemahaman yang sama dan mengikuti peraturan tersebut. Peraturan-peraturan yang ada di kelompoknya harus menjadi patokan untuk dapat di jalankan oleh semua pihak.
Dalam diri seseorang kecintaan terhadap kelompok yang ia duduki merupakan suatu hal yang wajar. Contohnya seperti, suku bangsa, pada dasarnya seseorang tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari suku mana yang ia inginkan. Otomatis secara sadar atau tidak sadar, seseorang digerakan oleh struktur atau norma yang berlaku untuk mengatur individu dalam bertindak dan berperilaku.
Perbedaan kebudayaan antar daerah menjadikan masing-masing suku tersebut memiliki cara tersendiri dalam memaknai kehidupannya. Contohnya seperti Suku Jawa, yang dikenal dengan kehalusannya atau dengan istilah Jawa menyebutnya “Alon-alon asal kelakon”. Dalam bertindak mereka memiliki cara perlahan tapi pasti dalam mencapai tujuan mereka. Berbeda dengan Suku Batak yang terbiasa berbicara dengan nada keras.
Meskipun mereka tidak sedang terlibat percekcokan, namun berbicara dengan nada keras sudah menjadi suatu hal yang wajar. Dalam hal ini, masing-masing suku bangsa harus bisa menyadari adanya perbedaan karakteristik yang mendorong cara mereka untuk bertindak sesuai asal daerah dengan norma yang berlaku dalam budaya tersebut.
Etnosentrisme Melekat dalam Jiwa Individu
Sikap etnosentrisme dalam diri seseorang tidak bisa sepenuhnya dihilangkan. Seseorang dari kalangan manapun pasti pernah terbesit rasa bangga terhadap kelompoknya sendiri meskipun tidak tampak.
Seseorang akan merasa budaya yang dimiliki oleh kelompoknya berbeda atau mempunyai cara lain dalam memahami tindakan dan perilaku. Mereka merasa ada beberapa hal tertentu yang sekiranya diajarkan oleh kelompoknya, namun tidak ada pada kelompok lain. Dalam hal ini, kita harus memiliki jiwa terbuka tenggang rasa terhadap perbedaan yang ada.
Persebaran penduduk dan pembangunan yang tidak merata menjadi penyebab timbulnya rasa ketidaksesuaian dengan kelompok lain yang akhirnya meyebabkan konflik. Contohnya seperti Pulau Jawa yang menjadi pusat membangunan di negara ini. Padahal sebenarnya di Pulau Jawa sendiri masih banyak wilayah-wilayah yang tidak memiliki akses yang memadai dan bahkan tidak terjamah dalam pembangunan, seperti akses jalan, sekolah, dan kesehatan. Fasilitas-fasilitas masyarakat di seluruh daerah perlu diperbaiki, agar aktivitas masyarakat dapat berjalan dengan lancar dan juga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
Konflik Dipandang sebagai Penguat Solidaritas Antar Bangsa
Solidaritas bangsa harus diperkuat agar perpecahan dapat diantsipasi. Seperti ungkapan sosiolog Dahrendrorf dalam analisis mengenai teori konflik yang berbunyi “Setiap masyarakat memperlihatkan perpecahan, konflik sosial ada di mana-mana dan setiap elemen dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya”.
Pada hal tersebut, konflik dalam masyarakat dianggap sebagai seuatu hal yang wajar. Dengan adanya sebuah konflik dapat membawa masyarakat untuk lebih meningkatkan solidaritas dan meciptakan ikatan hubungan yang kuat dengan kelompok lain. Misalnya, apabila seluruh masyarakat menginginkan negara ini untuk lebih maju, maka masing-masing kelompok pada akhirnya berjibahu bersama-sama dalam membangun bangsa tanpa melihat lagi adanya perbedaan.
Mereka bersama-sama tergerak untuk memajukan bangsa dan negara, hingga akhirnya lambat laun konflik tersebut dapat berlalu dan solidaritas bangsa akan semakin kuat dan bersatu.