Selasa, Oktober 8, 2024

Ecocide: Kala Hak Asasi Dimonopoli Manusia

Vania Lutfi Safira Erlangga
Vania Lutfi Safira Erlangga
Vania is a researcher at the Center for Human Rights Studies at Universitas Islam Indonesia and a law master's student at Leiden University who's into jamming with pop culture to keep her sane.

Hak asasi dan manusia ialah hal yang tak bisa dilepaskan. Sebutkan rangkaian kejahatan hak asasi yang mampu membuat darah bergejolak, maka jawabannya tak akan jauh berbeda; genosida, perang, atau pelanggaran kemanusiaan lainnya. Ya, semakin banyak jumlah nyawa manusia yang dimatikan atau makin ramai penduduk yang harus terusir maka semakin besar juga amarah yang dihasilkan. “Mari adili para pelanggar hak asasi manusia!” Kurang lebih begitulah sentimennya.

Lalu bagaimana dengan entitas selain manusia? Apakah nyawa hewan dan pohon-pohon bisa dianggap sama pentingnya dengan jiwa manusia? Coba saja lihat 906 ribu hektare lahan, jutaan pohon juga hewan yang menjadi korban kebakaran hutan hujan Amazon pada semester kedua tahun 2019.

Kerusakan luar biasa tersebut timbul akibat ulah para petani urban yang melakukan deforestasi dengan cara membakar hutan guna menangani ancaman gagal panen. Luar biasa bukan? Bahwa demi memenuhi hak asasi manusia untuk mendapatkan pangan dan tetap sehat, kita sampai harus mengorbankan nasib entitas-entitas lainnya.

Jangan disalahpahami dulu. Pendapat di atas sama sekali tidak bermaksud mengecilkan akibat dan goresan luka akibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Jelas kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan pembakar hutan di Kalimantan masih terasa kecil bila dibandingkan jejak kebengisan Pol Pot di Kamboja. Begitu pula ulah PLTU penyebar polusi yang meracuni udara tak bisa dibandingkan dengan perbuatan Anwar Congo kepada para tertuduh PKI di Medan semasa era orde baru.

Bahkan sebenarnya masih banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang belum menemui kejelasan nasib. Bahkan tak perlu jauh-jauh, Anwar Congo yang menjadi contoh pada para paragraf sebelumnya pun tidak pernah diadili sampai akhir hayatnya dengan alasan kasusnya telah kadaluarsa. Mandeknya kasus-kasus tersebut mendapat justifikasi pula dari mantan Jaksa Agung, HM Prasetyo, yang bersikukuh bahwa kasus pelanggaran HAM di masa lalu sukar diselesaikan secara yudisial.

Hanya saja jika dilihat secara umum, mandeknya penanganan atas pelanggaran HAM lebih disebabkan oleh ketidakseriusan negara untuk benar-benar mengadili. Sedangkan dari segi hukumnya, HAM di Indonesia sudah cukup dilindungi baik dari segi hak sipil dan politik yang telah dimuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 hingga terkait pengadilan HAM yang diatur oleh UU Nomor 26 Tahun 2000. Kompleks dan banyaknya perlindungan hak asasi manusia tersebut berbeda dengan nasib hak asasi entitas non manusia yang saat ini masih abu-abu.

Sejauh ini belum banyak perlindungan hukum yang mengatur hak asasi dari entitas non manusia. Di Indonesia sendiri, perlindungan hukum itu terwujud dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sudah sedikit peraturannya, masih pula ditambah dengan wacana penghapusan analisis dampak lingkungan (Amdal) dan izin mendirikan bangunan (IMB) demi kemudahan investasi.

Tidak pedulinya masyarakat dan pemerintah pada hak asasi makhluk hidup yang bukan termasuk ke dalam spesies homo sapiens memang bisa dibilang sudah memasuki level akut. Ketidakpedulian itu kemudian menuntun tangan-tangan nakal manusia untuk terus menggerayangi setiap centimeter yang masih tersisa dari tubuh lingkungan hidup.

Eksploitasi keberlanjutan terjadi, “pembakaran hutan demi membuka lahan sawit” atau “pembunuhan orang utan karena menjadi hama oleh petani” merupakan jenis peristiwa yang sudah umum menghiasi pemberitaan. Kejadian yang terus berlanjut hingga melahirkan pola yang pasti; Apa pun yang perlu ditempuh demi membuat hidup manusia lebih nyaman pasti akan didahulukan, sekalipun itu merenggut hak-hak entitas lain.

Keganasan manusia di hadapan para makhluk hidup lain itu pun melahirkan istilah Ecocide. Istilah tersebut diambil dari kata ‘eco’ yang berarti tempat tinggal seluruh umat manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, air, udara, dan matahari. Sedangkan ‘cide´ yang berarti membunuh.

Dalam definisinya, ecocide adalah tindakan terencana langsung maupun tidak yang ditujukan untuk menguras dan menghancurkan serta memusnahkan eksistensi dasar ekologi dari sebuah tata kehidupan semua makhluk di dalamnya. Atau secara ringkas dapat kita pahami bahwa ecocide ialah tindakan genosida, tetapi korbannya bukanlah berdasarkan ras atau etnis tertentu melainkan karena perbedaan kingdom, ordo, ataupun genusnya.

Langgengkan Ecocide dengan Karhutla

Di Indonesia sendiri ecocide bukan lagi sekadar istilah melainkan telah menjadi praktik umum. Pada 2019 lalu misalnya, telah terjadi karhutla besar-besaran di Sumatera dan Kalimantan. Tak main-main, BNPB telah mengumumkan bahwa tahun ini saja jumlah lahan yang menjadi korban dari karhutla ialah seluas 857.756 hektare. Dengan luas kerusakan seperti itu, tak terhitung lagi berapa besar kerusakan ekologi dan pemusnahan sumber daya flora maupun fauna selama karhutla.

Alih-alih menindak tegas, pencarian keadilan pada kasus karhutla justru berjalan lambat. Tajam ke bawah tumpul ke atas ialah praktik yang lazim ditemukan dalam kasus karhutla. Di Riau misalnya, banyak tersangka kasus karhutla justru ditimpakan kepada parah buruh sawit dan petani. Stigma tersebut semakin diyakinkan dengan ucapan Manager Kajian Eksekutif Nasional WALHI, Boy Even Sembiring, bahwa penegakan hukum kasus karhutla lebih banyak menyasar individu daripada korporasi.

Sekalinya harus berhadapan dengan ikan-ikan besar korporasi, proses hukum justru melunak. Tentu masih hangat di benak kita bagaimana gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada PT Bumi Mekar Hijau ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Jika sudah lupa, mungkin kutipan Parlas Nababan sebagai ketua majelis kala itu yang mengatakan “Bakar hutan itu tidak merusak karena masih bisa ditanami lagi” mampu mengingatkan kembali betapa bebalnya penegakan hukum kasus lingkungan hidup di Indonesia.

Rentetan catatan buruk selama pencarian keadilan dalam kasus karhutla ini kemudian menimbulkan rasa skeptis akan masa depan lingkungan hidup kita. Jika tidak segera berbenah maka jangan salahkan bila jargon-jargon jagalah lingkungan yang diusung pemerintah saat ini hanya dianggap bualan semata. Toh, untuk apa menghemat kantong plastik atau menggunakan sedotan stainless jika pada skala lebih besar selalu saja ada pelaku-pelaku yang masih bisa bernafas lega meski telah menyebabkan karhutla?

Sayangnya, pasrah pun bukanlah pilihan. Karena pada akhirnya masa depan lingkungan ialah masa depan manusia juga. Mau sampai berapa triliun lagi dana harus dihabiskan untuk mematikan titik api selama kebakaran hutan? Mau berapa manusia lagi yang menderita ISPA sampai akhirnya kita paham bahwa perbuatan merusak alam sama saja menghancurkan ekosistem kehidupan? Sampai kapan kita bisa paham bahwa melanggengkan praktik Ecocide sama saja dengan memperburuk kualitas hidup manusia?

Karena pada dasarnya konstitusi kita telah mengamanatkan melalui 28H ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Atas dasar itu pula upaya konservasi harus dilandasi alasan yang sama, menghargai hak asasi, baik milik manusia maupun lingkungan itu sendiri.

Vania Lutfi Safira Erlangga
Vania Lutfi Safira Erlangga
Vania is a researcher at the Center for Human Rights Studies at Universitas Islam Indonesia and a law master's student at Leiden University who's into jamming with pop culture to keep her sane.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.