Memasukkan E-Sport ke dalam kurikulum merupakan sedikit dari wacana kemendikbud yang saya apresiasi. Sayang, banyak orang yang tidak paham justru gagal melihat gambar besarnya.
Melihat beberapa guru kolot yang menolak tanpa mencoba memahami game dan gaming terlebih dahulu, saya jadi ingat kisah bintang sepakbola paling sukses sepanjang masa, Cristiano Ronaldo.
Dulu, sebelum industri sepakbola menjadi sebesar sekarang, sebelum para bintang sepakbola dapat menjadi orang-orang terkaya, seorang guru kolot mengejek Ronaldo bahwa sepakbola tak akan memberinya apa-apa, bahkan untuk makan. Untungnya Ronaldo bermental baja. Ia juga didukung penuh oleh orang tua dan pelatih sepakbola yang menyadari bakat hebatnya. Kita semua tahu sekarang bahwa omongan sang guru hanyalah bullshits semata.
Tidak hanya mampu memberinya makan setiap hari, dengan kerja kerasnya, sepakbola hampir memberikan segalanya kepada Ronaldo. Kepoluleran, kekayaan, yang saya yakin tak mampu dicapai guru kolotnya dulu. Dengan kekayaannya Ronaldo dapat berbuat lebih banyak kebaikan. Ya, beramal dengan banyak uang memang lebih mudah.
Benar, game dulu hanya sebuah permainan pelepas penat semata. Super Mario, Harvest Moon dan sederet game jadul memang hanya sebuah permainan anak-anak. Tak pernah ada orang yang kaya mendadak karena menamatkan Super Mario. Juga tak ada orang tenar karena menyelesaikan Harvest Moon.
Tapi, berbeda dengan game saat ini. Game sudah menjadi salah satu industri besar dunia. Genre game yang ada saat ini seperti RPG (Role Playing Game), Adventure, Arcade, Hack and Slash, sampai Turn Based Strategy (seperti Final Fantasy), tidak hanya menuntut kelincahan tangan, tapi juga kecerdasan logis dan linguistik. Game-game saat ini membutuhkan lebih banyak kinerja otak. Coba anda yang nyinyirin e-sport, bisa anda memainkan PUBG atau Mobile Legend tanpa berpikir? Setidaknya, pernahkah anda mencoba?
Kenapa E-Sport harus masuk kurikulum? Jawabnya, karena setiap hal yang membutuhkan pembelajaran patut dimuat di kurikulum. Jaman dulu, orang bermain bola hanya asal-asalan saja, tapi sekarang sekolah sepakbola (SSB) menjamur dimana-mana bahkan masuk kurikulum sebagai pelajaran ekstra. Dahulu orang baris-berbaris hanya ketika hendak ada upacara, tapi sekarang paskibraka judah jadil mapel ekstra yang bergengsi di sekolah. Lalu apa bedanya dengan E-Sport?
Ada yang mengatakan, tanpa masuk kurikulum, para siswa sudah ahli bermain game. Yah, biasanya pandangan seperti itu berasal dari guru kolot yang melihat game hanya sekedar senang-senang. Faktanya, para juara dari jaman game Clash of Clans sampai Mobile Legend selalu didominasi oleh gamer dari luar negeri. Para juara itu tidak asal bermain game, mereka mendapatkan sponsorship (dibayar untuk bermain game). Mereka mempelajari struktur, sistem yang berlaku pada game.
Lalu, kalau sudah masuk kurikulum, apa manfaatnya buat hidup siswa? Ooee, wahai bapak/ibu yang kolot, pernahkah bapak/ibu mengenal kata “endorse”? Ya, para gamer sukses sekarang tidak lagi kesulitan mencari uang. Mereka bisa mempromosikan banyak produk, mulai dari game, konten di dalamnya dan produk-produk digital pendukung kegiatan gaming.
Coba deh, anda lihat salah satu gamer Indonesia yang termasuk berpenghasilan tertinggi seperti Reza Arab. Uang yang dia hasilkan perbulan bisa jadi lebih dari penghasilan guru-gurunya per tahun. Dan, ya, itu semua karena aktivitas gaming-nya. Bukan karena mengerjakan PR fisika dan matematika.
Lalu bagaimana dengan akhlak dan akidah para gamer itu? Lah, kan sudah ada pelajaran dan guru agama di sekolah. Itu tugas pokok mereka. Lagian, apakah ada jaminan mereka yang bukan gamer lebih baik akhlaknya? La wong yang kelihatan sopan saja kadangkala masih korup juga.
Loh, bukannya e-sport banyak menyimpan sisi negatif? Iya, saya sepakat tidak sedikit sisi negatif e-sport. Tapi bukankah selalu ada dua sisi dalam semua hal. Ilmu akuntansi yang digunakan untuk mengatur keuangan pun dapat disalahgunakan untuk pencucian uang. Matematika yang sakti itu juga banyak digunakan untuk menipu. Jadi, jangan salahkan e-sport atau gamenya, tapi salahkan kita yang gagal mengendalikannya.
Masih ingatkan dengan salah satu quote Bobby Deporter yang sangat terkenal, “Daripada memaksa siswa memasuki dunia kita, lebih baik masuklah ke dunia mereka dan bawa dunia kita ke dunia mereka”. Paham kan dengan maksudnya?
Daripada kita sebagai guru melarang e-sport, ada baiknya kita menggunakannya sebagai media pembelajaran. Tidak sedikit game yang punya jalan cerita menarik, yang bisa dijadikan sarana belajar bahasa (English malah). Ada juga game-game yang punya timeline sejarah. Juga cukup banyak game yang membutuhkan kemampuan matematika.
Dengan memasuki dunia siswa, kita bisa lebih mudah mengaturnya. Contoh saja, beberapa tahun yang lalu ada game yang cukup adiktif, flappy bird namanya. Game ini banyak memakan korban karena banyak orang yang mengabaikan kehidupan sekitarnya hanya karena keasyikan mengejar skornya.
Tapi, itu dijadikan pembelajaran bagi beberapa game developer untuk memberikan batasan waktu (durasi) bermain game. Hal semacam itu bisa dicontoh para guru atau orang tua untuk mengendalikan siswa dari kecanduan game. Dengan mengenal dunia game dan kekurangannya, bukankah lebih mudah bagi kita melakukan pencegahannya.
Saya sendiri juga pernah melakukan hal serupa. Saya paham beberapa game semacam Clash of Clans memuat konten berbayar (micro-currency) yang bisa “menjebak” siswa untuk melakukan pembelian yang berpotensi memboroskan uang.
Karena saya paham bagaimana sistem game itu bekerja, saya dapat mengingat mereka bahwa, konten berbayar hanya untuk ‘pecundang’ yang ingin memperoleh jalan pintas tanpa mau bekerja keras. Sebagai gantinya saya memberikan tips kepada mereka bagaimana mereka tetap bisa menaikkan levelnya tanpa mengeluarkan uang, sembari saya tunjukkan level Town Hall hasil jerih payah saya.
Sudah selayaknya kurikulum itu harus visioner dan berpandangan jauh ke depan. Mestinya, jangan cuma e-sport, masukkan sekalian pelajaran untuk menjadi Content Creator atau YouTuber yang sukses. Sudah seharusnya guru mendidik siswanya agar mampu hidup di masa depan. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata, “Didiklah anakmu, sebagaimana ia akan menghadapi jaman yang bukan jamanmu”.
Salam Mabar, daru Guru Gamer.