Senin, Oktober 14, 2024

Dibalik Penolakan CPO Indonesia

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Richad Ade Sastra
Richad Ade Sastra
Laboratory chemist

Emisi gas telah menjadi perbincangan yang cukup serius untuk saat ini dan beberapa dekade kedepan. Pasalnya dunia telah sepakat berkomitmen untuk bekerja sama dalam menjaga kesehatan alam baik daratan, perairan dan atmosfir bumi.

Negara-negara besar yang terhimpun dalam Uni Eropa telah sepakat melalui komisinya, dimana setiap Negara wajib menjaga batasan-batasan emisi gas karbon yang dilepaskan ke udara. Selain itu, komisi Uni Eropa juga menekankan pentingnya menjaga kesetimbangan ekosistem agar tidak muncul lagi masalah yang melanda iklim bumi.

Sepintas menjadi panggung bagi Negara-negara yang adidaya sumber daya alam renewable untuk unjuk gigi di perekonomian dunia. Pasalnya, Negara-negara tersebut memiliki kelimpahan sumber daya minyak nabati yang melimpah melalui tanaman sawit, alga, bunga matahari dan lain sebagainya.

Termasuk juga Indonesia, yang merupakan Negara dengan produktifitas tanah gambut yang tinggi. Indonesia merupakan salah satu raksasa yang menguasai pangsa perkebunan kelapa sawit di dunia, bersaing dengan negeri sebelah, yaitu Malaysia. Banyak perusahaan dalam negeri baik BUMN, swasta dan bahkan perusahaan multinasional berbondong-bondong menanam investasi di bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Selain PTPN sebagai operator BUMN perkebunan, bisnis kelapa sawit juga digeluti oleh Wilmar Nabati hingga Astra Internasional di tanah Indonesia. mayoritas persebaran kebun kelapa sawit terdapat di daerah Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga terdapat pada Pulau Sumatera dan salah satunya adalah Provinsi Sumatera Utara.

Salah satu perusahaan perkebunan tanaman ini yang terbesar dimiliki oleh perusahaan milik negara yaitu PTPN yang luasnya mencapai lebih dari 300.000 ha dan luas areal perkebunan milik rakyat ada lebih dari 400.000 ha. Perkebunan di Pulau Sumatera mampu memproduksi CPO (Crude Palm Oil) hingga mencapai 14 juta ton pada tahun 2012 dan meningkat setiap tahunnya.

Minyak dari kelapa sawit yang biasa disebut dengan CPO (Crude Palm Oil) merupakan salah satu bahan baku yang potensial untuk dioptimalkan menjadi bahan bakar nabati berupa biodiesel atau biosolar. Sepanjang 2018 dan 2019 lalu, BUMN operator migas terbesar Indonesia, PT. Pertamina telah merevitalisasi sejumlah kilang untuk dibangun teknologi Biorefinery. Dari kilang Biorefinery ini nantinya PT. Pertamina akan mulai memproduksi biofuel yang salah satunya adalah biodiesel dari minyak kelapa sawit.

Sementara ini, sudah 2 kilang yang menerapkan teknologi Biorefinery, yaitu Pertamina RU III Plaju dan Pertamina RU IV Cilacap. PT. Pertamina juga bekerja sama dengan perusahaan swasta nasional dan multinasional untuk mengakselerasi distribusi biodiesel ke seluruh tanah air, salah satu mitra kerjanya adalah PT. Wilmar Nabati Indonesia.

Biodiesel di Indonesia memang masih belum bisa digunakan secara keseluruhan atau 100%. Biodiesel yang diproduksi melalui kelapa sawit masih bisa digunakan sebesar 20%, yang mana artinya masih harus dicampur dengan bahan bakar solar dari fosil.

Akan tetapi, dengan ditemukannya biofuel tersebut, tentu Indonesia telah menemukan lajur yang tepat untuk mengembangkan bisnis yang menjanjikan, bersahabat dengan lingkungan (green energy) dan berkelanjutan.

Pada bulan Maret 2019 negara-negara pengembang kelapa sawit digemparkan dengan deklarasi komisi Uni Eropa yang menyatakan pemberhentian penggunaan kelapa sawit untuk Uni Eropa.

28 negara sepakat untuk tidak membeli minyak dari kelapa sawit lagi dengan dalih menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah deforestasi dan menjaga kesetimbangan iklim.

Mereka memaparkan bahwa dengan mengimpor kelapa sawit besar-besaran bisa mempengaruhi kesetimbangan tanah gambut dan berpotensi menyebabkan deforestasi. Hal tersebut sontak menjadikan para petinggi Negara dengan komoditi kelapa sawit geram, tak terkecuali petinggi Negara Republik Indonesia.

Spontan presiden RI, Bapak Jokowi langsung memberikan statement miring terkait kebijakan yang telah dideklarasikan oleh komisi Uni Eropa. Beliau berpendapat, bahwa ini adalah permainan pasar yang telah mereka (Uni Eropa) buat.

Dengan bijak, Pak Jokowi tak langsung menyalahkan kebijakan Uni Eropa yang demikian, tetapi beliau bersama para stakeholder bidang migas terus memikirkan bagaimana langkah yang akan diambil kedepan.

Semakin kesini semakin terang langkah yang akan diambil oleh pimpinan Negara. Mereka (pimpinan Indonesia) optimis Indonesia bakal membuat Uni Eropa menyesal telah menghentikan pembelian CPO kelapa sawit dari Indonesia. Bapak presiden memaparkan bahwasannya bisa jadi Uni Eropa menghentikan pembelian ini, karena mereka sadar bahwa harga minyak kelapa sawit jauh lebih murah ketimbang minyak nabati bunga matahari yang mereka produksi.

Kedepan Presiden menekankan bahwa kita tidak akan menjual kelapa sawit dalam bentuk CPO lagi, tetapi kelapa sawit akan kita olah menjadi bahan bakar yang riil, seperti biodieseil (B20), bio avtur dan hingga menuju biogassoline (Pertalite).

Presiden RI menyatakan bahwa segala sesuatu telah siap dilaksanakan untuk menunjang hal tersebut. Salah satunya adalah penggelontoran dana besar kepada stakeholder migas, seperti PT. Pertamina untuk segera merevitalisasi kilang agar bisa memproduksi biofuel yang berkualitas darri minyak kelapa sawit. Kedepan, bahan bakar nabati dari kelapa sawit ini diharapkan dapat menguasai pasaran minyak dan bahan bakar dunia.

Richad Ade Sastra
Richad Ade Sastra
Laboratory chemist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.