Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Siapa yang asing dengan bait-bait puisi di atas? Rasanya hampir tidak ada! Barisan kata yang sangat elok lewat lema ”hujan” itu ciptaan maestro puisi kelahiran Surakarta 76 tahun silam. Dia adalah Sapardi Djoko Damono.
Selain sebagai pujangga kelas wahid, Eyang Sapardi juga pernah menjadi dosen fakultas budaya di Universitas Indonesia. Horison, yang menjadi corong majalah sastra dan budaya Indonesia, pernah dijadikan tempat untuk mengasah kemampuan kepenulisannya.
Hujan Bulan Juni telah menjadi salah satu karya terbaik Eyang Sapardi. Selain berisi tentang kumpulan puisi, pada 2015 Hujan Bulan Juni juga diterbitkan dalam bentuk novel setebal 135 halaman. Bahkan, pada 2 November lalu difilmkan dan kisahnya bikin baper banyak orang.
Eyang Sapardi menggambarkan begitu tabahnya (kehadiran) hujan di bulan Juni yang rindu merintikkan air pada tanaman. Dengan diam-diam, dengan sunyi, dengan tiba-tiba, rintik hujan ingin turun membasahi pohon dengan tangkai bunganya. Karena bulan Juni belum waktunya musim hujan, rinai hujan harus sabar dan bisa menahan diri untuk turun ke bumi.
Secara umum, hujan –di bulan Juni– dipersonifikasikan sebagai orang yang tabah memendam keinginan karena belum tiba waktunya. Dalam ragam Jawa, ada istilah tirakat.
Yakni kemampuan seseorang untuk menahan hawa nafsu. Lebih romantik, bisa juga diartikan sebagai rindu sekaligus cinta seseorang kepada pujaan hatinya, tapi belum waktunya diutarakan. Pesannya, ketabahan alias kesabaran itu penting dimiliki agar yang didapat bisa lebih baik ketimbang memaksakan, padahal belum waktunya.
Kata Dahlan Iskan dalam buku inspiratifnya, Sepatu Dahlan, jika semua yang kita impikan segera terwujud, dari mana kita akan belajar sabar. Kesabaran bakal berakhir manis.
Lantas, di baris selanjutnya muncul gambaran mengenai jejak-jejak kaki yang ragu-ragu berada di jalan. Selain tabah, hujan di bulan Juni begitu bijaksana dapat menghapus atau mengendalikan keragu-raguan dalam batinnya.
Ada pesan mendasar yang ingin disampaikan pengarang lewat karakter hujan. Seseorang haruslah dapat mengendalikan emosi. Jika ada keragu-raguan dalam melangkah, urungkanlah. Jika kurang enak hati dengan apa yang akan dilakukan, batalkanlah. Dalam literatur Islam pun kita dapat menemukan petunjuk melalui da’maa yuribuuka. Tinggalkan hal-hal yang meragukanmu.
Puisi tersebut memang romantis. Di bagian akhir, Sapardi menutupnya dengan manis. Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu. Keinginan-keinginan yang tertunda, rindu-rindu yang terkekang, dan kasih-kasih yang tak sampai secara arif dibiarkan perlahan-lahan raib begitu saja seperti air yang diserap oleh akar.
Tak cukup dengan satu puisi, penyair yang pernah menerima penghargaan SEA Write Award pada 1986 itu menulis lagi soal ”hujan” dalam tujuh baris berjudul Kuhentikan Hujan.
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Karya tersebut memerikan keterkaitan antara hujan, matahari, dan tanah dalam sebuah kehidupan di semesta ini. Ada kesinambungan hidup di antara ketiganya sehingga dapat memunculkan bunga-bunga yang indah.
Cerita pergantian dari malam yang sedang hujan, lalu dini hari, sampai pagi yang menggantikan hujan lewat mengangkat kabut pagi perlahan. Sirkulasi itulah yang membuat kembang-kembang bermekaran.
Selain senja, hujan memang menjadi situasi yang sering digunakan penyair dalam menghidupkan karya-karyanya. Ada magis tersendiri dalam dua kondisi alam tersebut.
Dalam ”senja”, penikmat sastra pasti langsung tertuju pada cerpen tersohor Seno Gumira Ajidarma berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku. Sedangkan Sapardi merupakan satu di antara banyak pujangga yang memilih kata ”hujan”.
Eyang Sapardi memang penyair yang secara cerdas mampu mempersonifikasikan hal-hal sederhana di sekitar menjadi lebih bermakna. Bahasanya jauh dari kata sulit dimengerti.
Dia juga mampu menghidupkan hal-hal biasa yang diperoleh dari alam. Sapardi Djoko Damono memang pantas disebut pujangga alam. Lain hujan, lain lagi dengan daun.
Hatiku selembar daun melayang jatuh ke rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin kupandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi
Hatiku Selembar Daun juga menjadi salah satu karya legendaris yang sederhana, tapi sarat makna. Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini memperlihatkan bahwa daun pun ketika jatuh dari tangkainya tak ingin cepat-cepat diempaskan angin ataupun disapu oleh orang.
Ia ingin sejenak berbaring di bawah pohon, menikmati ”masa-masa terakhir”. Ia ingin paling tidak bersantai-santai sambil melihat sesuatu lewat sajak ada yang masih ingin kupandang. Bagi daun, sebentar saja adalah sebuah keabadian.
Manusia juga begitu. Hati mereka diibaratkan selembar daun yang sering begitu rapuh dan tiba-tiba jatuh dengan sendirinya. Daun yang jatuh diibaratkan manusia yang sudah mangkat. Ia ingin menikmati sejenak kepergiannya dengan mengenang masa-masa hidupnya. Bait-bait puisi yang sunyi dalam balutan religi.
Membaca puisi Hatiku Selembar Daun, penulis membayangkan kumpulan syair Makrifat Daun Daun Makrifat milik Kuntowijoyo. Ada keterkaitan di antara keduanya, yaitu sama-sama menjadikan daun sebagai wadah untuk bertafakur. Daun, yang dianggap biasa dan hanya sesuatu yang terbuang sia-sia, dapat dihidupkan dan dibuat sedemikian bermakna.
Kata-kata kayu, api, abu, awan, dan, lagi-lagi, hujan juga tertera dalam karya legendaris lainnya dalam sajak ”Aku Ingin”. Puisi ini, jika dicari di peramban, jamak ditemukan dalam berbagai analisis. Memang elok kata-katanya.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Seperti isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Mencintai seseorang, menurut penyair, cukup dilakukan dengan sederhana. Mencintai itu ibarat hujan yang menjadikan awan tiada, ibarat api yang dengan cepat menjadikan kayu sebagai abu. Tentang seseorang yang mencintai pujaan hati secara diam-diam, yang tidak diumbar dengan banyak kata dan tanda.
Untuk sepasang suami istri, mungkin cara ini pas dijadikan pedoman dalam menjalani biduk rumah tangga. Mencintai pasangan dibutuhkan dengan hal-hal sederhana, cara-cara sederhana, namun bermakna. Ambil contoh, bagi suami, ucapkan terima kasih ketika sudah disiapkan makanan oleh istri.
Puisi memang salah satu karya sastra pembakar semangat. Kata salah seorang sastrawan, puisi itu soal membangkitkan kejaiban kata-kata. Dan, Sapardi berhasil membangkitkan spirit melalui hujan, daun, api, dan awan. Dia termasuk penyair yang cerdik menghidupkan benda mati seakan punya roh. Kebanyakan karyanya memang terinspirasi dari alam.