Pernahkah kita bertanya: mengapa kita bisa merayakan Agustusan bukan Septemberan atau Novemberan? Ceritanya berawal pada tanggal 10 Agustus 1945, salah satu bapak pendiri bangsa kita, Sutan Sjahrir, mendengar informasi melalui siaran radio ilegal mengenai kabar kekalahan Jepang setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sjahrir menjadi salah satu orang pertama yang mengetahui informasi penting ini.
Bagaimana Sjahrir bisa memiliki radio tersebut? Melalui Chairil Anwar dan Des Alwi. Chairil Anwar yang dikenal sebagai penyair terkemuka merupakan keponakan Sjahrir dari jalur ibu, sementara Des Alwi adalah anak angkat Sjahrir saat Si Bung Kecil (panggilan akrab Sjahrir) diasingkan ke Banda Neira. Di masa pendudukan Jepang, mereka pernah tinggal bersama di rumah Sjahrir di Jalan Damrink No. 19, kini Jalan Latuharhary, Jakarta.
Cikal Bakal Proklamasi
Dalam buku Friends & Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement (2008), Des Alwi menceritakan bahwa dia dan Chairil membeli sebuah radio Philips seharga 125 gulden dari seorang nyonya Belanda yang sedang mengalami kesulitan keuangan karena suaminya ditangkap Jepang.
Saat itu, satu-satunya cara untuk mendapatkan perkembangan berita politik dunia terkini memang dengan mendengarkan radio illegal. Hal ini bukan tanpa alasan. Pada bulan Maret 1942, saat tentara Jepang mulai menguasai Batavia yang kini dikenal sebagai Jakarta, salah satu hal yang dilakukan Jepang adalah merazia, mendata, dan menyegel seluruh pesawat radio di Batavia.
Hanya ada satu frekuensi yang bisa didengar rakyat: Hosso Kyoku. Siaran ini hanya digunakan sebagai alat propaganda Jepang untuk masyarakat Indonesia. Situasinya memang amat mencekam. Di masa itu, apabila ada orang yang ketahuan mendengarkan siaran radio-radio sekutu maka resikonya bisa dipenjara atau dipancung polisi militer Jepang yang terkenal sadis yaitu Kempetai. Jadi, tindakan yang dilakukan Sjahrir untuk mendengarkan siaran radio ilegal secara diam-diam sangatlah berani.
Chairil dan Des Alwi bisa mendapatkan radio Philips karena pernah berprofesi sebagai tukang loak. Mereka sering membeli dan menawarkan barang-barang bekas ke rumah-rumah orang Belanda. Awalnya, karena nganggur dan butuh uang, Chairil memberanikan diri untuk meminjam uang sebagai modal usaha jual-beli barang bekas ke Sjahrir. Sjahrir mengabulkan. Sjahrir memberikan pinjaman sebesar 500 gulden. Uang inilah yang digunakan oleh Chairil dan Des Alwi untuk membeli barang-barang bekas termasuk radio Philips.
Radio Philips yang didapat Chairil dan Des Alwi kemudian dijual kepada Sjahrir. Mereka tahu Sjahrir sedang mencari sebuah radio untuk memantau situasi dunia. Setelah dicek dan diotak-atik oleh Sjahrir, radio tersebut bisa berfungsi dan menangkap siaran ilegal seperti BBC London, VOA (Voice of America), dan siaran Brisbane dari Australia. Melalui siaran radio ilegal tersebut, Sjahrir banyak mendapat informasi-informasi penting terkait situasi dan perkembangan Perang Dunia II. Informasi ini diteruskan ke jaringan gerakan bawah tanah Sjahrir, seperti kelompok-kelompok pemuda revolusioner, mahasiswa, dan kalangan seniman.
Hasan Aspahani dalam buku Chairil (2016) menjelaskan bahwa radio Philips tersebut dibungkus dengan sehelai kain batik lalu disimpan di dalam lemari. “Batik” menjadi kode dari Sjahrir kepada Chairil dan Des Alwi apabila ingin disiapkan radio dan mendengarkan siaran ilegal.
Menurut Lily Gamar Sutantio dalam buku Mengenang Sjahrir (2010), jika Sjahrir sedang mendengarkan radio tentang informasi-informasi terbaru dari pihak sekutu, Sjahrir memanggil beberapa anak angkatnya seperti Lily dan Mimi untuk menjaga di depan rumah agar bisa cepat memberitahu apabila ada tamu-tamu yang nggak dikenal atau ada Kempetai yang datang. Rumah Sjahrir, Perdana Menteri Pertama Indonesia itu, memang beberapa kali pernah didatangi Kempetai yang berasal dari rakyat Indonesia.
Puncaknya, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sjahrir mendengar informasi dari radio mengenai kabar kekalahan Jepang dari sekutu. Sjahrir langsung memanggil Lily, Mimi, dan Chairil Anwar untuk berbagi tugas menjadi kurir kemerdekaan. Sjahrir menugasi Lily dan Mimi untuk menyampaikan informasi kekalahan sekutu ke rumah Bung Hatta, sedangkan Chairil Anwar mendapat tugas untuk menyampaikan informasi ini agar viral ke kalangan pemuda pergerakan dan seniman.
Rosihan Anwar dalam buku Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995), menerangkan bahwa pada pukul 10.00 WIB, Chairil Anwar datang ke Komite Bahasa Indonesia di Jalan Pengangsaan Timur No 23 menemui Soebadio Sastrosatomo untuk menyampaikan pesan kekalahan Jepang dari sekutu. Akhirnya, Soebadio meneruskan pesan ini kepada simpul-simpul pergerakan pemuda revolusioner yang berujung kepada peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Berakhir Tragis
Bagaimana nasib radio Philips tersebut? Berakhir tragis. Dalam buku Mengenang Sjahrir (2010), Lily mengisahkan bahwa beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, Sjahrir pernah mengajak anak angkatnya Lily dan Mimi berkunjung ke rumah iparnya di Cipanas menggunakan kereta api. Mereka berangkat dari Stasiun Manggarai dengan tujuan Stasiun Cicurug, Sukabumi.
Radio bersejarah tersebut dibungkus menggunakan besek dan diletakan di atas bangku kereta. Di tengah perjalanan tiba-tiba kereta api berhenti dan masuklah tentara Jepang untuk mencari orang. Tentara Jepang berhenti di depan Sjahrir, Lily, dan Mimi dengan pandangan yang tajam. Sjahrir berbisik kepada anak angkatnya: “Diam-diam saja dan jangan memperlihatkan rasa takut.” Setelah beberapa menit, tentara Jepang itu pergi. Sjahrir, anak angkatnya, dan radio tersebut selamat.
Setelah sampai di Cipanas, Sjahrir memberikan radio tersebut kepada iparnya untuk disimpan selama beberapa bulan. Namun, ketika Sjahrir ingin mengambil radionya kembali, Sjahrir kecewa dan sedih sekali mengetahui kondisi radionya yang rusak parah dan sudah nggak bisa berfungsi lagi. Ternyata radio bersejarah tersebut dikubur dalam-dalam selama berbulan-bulan di dalam tanah. Hal ini karena ipar Sjahrir takut menyimpan radio tersebut di dalam rumah dan berinisiatif untuk mencari tempat yang lebih aman.
Radio yang seharusnya bisa menjadi benda yang bersejarah untuk bangsa Indonesia dan disimpan di museum, jejaknya sudah tidak bisa terlacak lagi. Namun, jasanya harus selalu kita ingat sebagai cikal bikal peristiwa sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karena berkat radio Philips ini, kita dapat merayakan Agustusan dengan berbagai perlombaan dan perayaan.