Kamis, Maret 28, 2024

Bagaimana Kalau DPR Difilmkan Saja?

Rio Belvage
Rio Belvage
Pembaca, pesepeda, penonton film, yang merangkap peneliti Antropologi.

Bagaimana kalau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) difilmkan saja? Pertanyaaan ini terdengar main-main, tapi sekaligus juga bisa serius. Serius karena buktinya sudah ada lagu-lagu pengiring (soundtrack) yang pas dan tidak asing di telinga kita. Ambillah misalnya, lagu-lagu Iwan Fals dari “Surat Buat Wakil Rakyat” sampai yang berjudul “Negara” dengan lirik kalimat kedua dari belakang yang berbunyi “Bubarkan saja…”

Tapi tunggu dulu, coba kita pilih film jenis apa kiranya yang cocok kalau DPR betul-betul dijadikan film? Tentunya selain genre drama komedi mahzab korea yang boros tissue. Karena akan mengurangi pamor anggota dewan, yang naga-naganya bisa mematikan minat rakyat yang ingin menjadi anggota legislatif nantinya. Dan itu berarti merongrong trias politika dari dalam (wew!).

Kalau dipikir-pikir, jenis film yang pas andaikata DPR difilmkan mungkin adalah soal mafia. Karena selain politikus, agaknya makhluk yang punya ambisi besar berkuasa adalah mafia. Lagipula di Indonesia, telinga kita toh juga sudah diakrabkan dengan kata mafia. Ada “mafia beras”, “mafia migas”, “mafia peradilan” dan “mafia beneran”.

Ngomong-ngomong tentang mafia, kebetulan saya pernah keranjingan dengan genre itu, gara-gara “The Godfather”. Sampai suatu hari pernah dengan sengaja saya meminjam buku kajian antropologi sosial milik bapaknya seorang kawan. Bapaknya itu dulu adalah seorang dosen dari mantan dosen-dosen saya saat kuliah. Sementara anaknya adalah kawan saya yang juga menjadi murid dari muridnya bapaknya yang bukunya sedang saya pinjam (bingung?). Judul bukunya “The Mafia of a Sicilian Village 1860-1960” terbitan tahun 1974. Dan tentu saja ndak selesai, karena ternyata uraiannya membuat bayangan saya tentang mafia seketika menjadi buyar. Saya juga pernah iseng berburu tulisan seputar mafia akibat film Mario Puzo itu. Seperti “The Historical Development of the Mexican Mafia”, “Transformation of the American Mafia 1880-1960”, serta tulisan lain yang banyak bertebaran di internet. Salah-satu yang saya ingat adalah istilah Capo Di Tutti Capi.

Capo Di Tutti Capi konon (entah benar entah tidak) adalah julukan untuk Bosnya para Bos dalam sistem kekerabatan mafia Sisilia di Italia sana. Sebagai organisasi yang mengedepankan asas kekeluargaan dalam menyelesaikan setiap masalah, mafia memiliki kode etik tersendiri, yang tidak bisa disamakan dengan kode etik DPR, meskipun keduanya sama-sama punya kode etik dan dari media kita biasa mendengar kalimat “pelanggaran kode etik”. Sementara di bawah Capo Di Tutti Capi, ada Capofagmilia, yaitu mereka yang biasa mengepalai rapat-rapat kecil. Dan di bawahnya lagi Capo Bastone atau bos kecil, yang menjadi representasi kehadiran Capo Di Tutti Capi di lapangan.

Saya jadi membayangkan, sekiranya dulu Mario Puzo riset lebih dahulu ke Indonesia sebelum menulis The Godfather, mungkin karyanya bisa lebih menarik. Lagipula kalau melihat karakter dalam tokoh rekaannya yang cenderung tempramental dan melankolis (ada yang belum nonton The Godfather?), agaknya ia memang perlu datang ke sini untuk menambah-nambah referensi. Mengkliping berita bertema kriminalitas kerah putih sebanyak-banyaknya. Sebab kalau boleh dibilang, Indonesia adalah surganya. Tempat bagi penjahat kelas kakap bisa tampil rileks di depan kamera sambil leluasa mengumbar senyum di media tanpa ekspresi rasa bersalah. Untuk ukuran penggila film mafia, Don Vito Corleone tentu tak cukup sebanding dengan…. ya, itulah, you know who.

Sekedar contoh kecil, bolehlah mengingat-ingat kembali apa yang terjadi pada bulan November tahun 2015 lalu. Di bulan itu Tempo menurunkan berita eksklusif tentang penyuapan industri farmasi kepada para dokter untuk membantu melariskan jualan obat dengan meresepkannya ke pasien. Memasuki tahun 2016 tersiar kabar perdagangan ginjal. Ada empat warga Bandung diberitakan menukar ginjalnya dengan uang 75 juta demi memenuhi kebutuhan hidup, di mana pada bulan yang sama seorang mantan menteri agama divonis hukum karena kedapatan korupsi yang merugikan keuangan negara 27,283 milyar. Artinya, jika uang itu digunakan untuk memenuhi pasal 34 UUD 1945, maka ada 363 ginjal yang bisa selamat dari cangkok’an lantaran motif ekonomi – atau berapa banyak anak jalanan yang terbantu dengan uang sebanyak itu?

Saat itu panggung politik nasional juga baru saja digaduhkan oleh rekaman percakapan Ketua DPR dengan seorang taipan bersama presiden direktur PT.Freeport yang sebelumnya pernah jadi wakil dari kepala dinas intelijen. Kabar itu menyebar demikian cepat di media sosial. Bahkan rekaman percakapan sampai bocor ke publik dan diputar berulang-ulang di televisi. Tentu saja hal tersebut membuat banyak orang kesal (sekesal publik akhir-akhir ini yang dikabari oleh media bahwa DPR menyambangi koruptor dalam rangka tindaklanjut panitia hak angket untuk merespon Komisi Pemberantasan Korupsi. Hedeuhh!).

Pasalnya polemik yang bermula dari laporan menteri ESDM itu berisi obrolan tentang kontrak tambang di Papua. Membaca celah tersebut, sebuah televisi swasta nasional (24/11/20015) melalui tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) dengan cekatan mengulasnya dalam judul provokatif “Sinetron Perang Antar-Geng?”. Entah apa yang terbayang di benak si pembuat judul ketika mengidentifikasi polemik itu sebagai sinetron dan sinetronnya bercerita tentang perang antar-geng. Tetapi kelak, stasiun televisi ini pula yang melalui siarannya menjadi salah-satu pemantik aksi 411 dan 212. Meski kabarnya di minggu sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah memberikan peringatan pada stasiun tv tersebut, namun terlambat. Emosi penonton sudah terlanjur mendidih sampai tumpah berupa aksi online maupun offline. Sesaat menjelang aksi 212, masih segar diingatan saya ketika publik dihebohkan oleh berita penangkapan beberapa orang atas tuduhan makar. Di tengah hiruk-pikuk itulah terslenting kabar bahwa lembaga DPR mengumumkan hasil revisi UU No.11/2008 pasal 26 ITE berisi “Hak untuk Dilupakan”.

Sudah lupa dengan serentetan peristiwa tersebut?

Ketika mengingat kembali fragmen-fragmen peristiwa di atas, lalu menghubungkannya dengan Capo Di Tutti Capi tadi, tentu tak bisa disangkal bila Indonesia punya sumber melimpah untuk memberikan data-data menarik. Mendiang Mario Puzo sudah tentu akan mendapat banyak inspirasi bilamana ia mengetahui seperti apa negeri yang memasok kekayaaannya lintas benua itu, dengan penanganan Papir Panama yang bak balon kempes di udara. Ia hanya perlu mengamati gerak-gerik elit di daerah yang diam-diam melestarikan politik dinasti. Apalagi pengarang berlatarbelakang veteran perang itu juga memiliki pengalaman dalam bidang jurnalistik. Melalui liputan investigatif dan riset ala detektif, saya yakin ia dapat menghasilkan kisah cemerlang, dengan eksploitasi titik bengis manusia yang baginya – dan juga mungkin bagi banyak orang, hanya ada dalam film-film action.

Dalam versi ilmiah, barangkali wujud dari karya Mario Puzo akan tampak seperti yang telah dikerjakan oleh mendiang George Junus Aditjondro dalam kumpulan naskah penelitiannya, “Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga” dan trilogi ekologi-politik; “Kebohongan-kebohongan Negara”, “Korban-korban Pembangunan” dan “Pola-pola Gerakan Lingkungan”. Siapa tahu, kelak kita mendapati sutradara gila yang tertarik menggubah DPR ke dalam film, melampaui The Godfather yang abadi itu.

Long live DPR!

Rio Belvage
Rio Belvage
Pembaca, pesepeda, penonton film, yang merangkap peneliti Antropologi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.