Jumat, Maret 29, 2024

Amalan Rebo Wekasan dan Makna Simbolik Tradisi Ngapem Cirebonan

Muhammad Nurkhotim
Muhammad Nurkhotim
Santri Pondok Pesantren APIK Kaliwungu Kendal, Alumni Pon Pes Al Hikmah 2, Mahasiswa Universitas Wahid Hasyim Semarang

Safar atau Sapar adalah bulan ke dua, tidak hanya dalam penanggalan kalender Islam tapi juga kalender jawa. Konon katanya bulan Safar juga dikenal dengan bulan yang banyak terjadi marabahaya, malapetaka atau orang Cirebon menyebutnya wulan sing akeh bilahi (sial) khususnya hari rabu terakhir bulan ini yang masyhur dengan istilah “Rebo Wekasan”. Asal usul keyakinan ini juga belum jelas, banyak versi tapi dari beberapa sumber yang diyakini masyarakat bahwa di hari rabu terakhir dibulan Safar ini biasanya banyak terjadi marabahaya. Hal ini juga diyakini masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa arab yang menganggap bulan safar adalah bulan sial.

Hari yang sangat fenomenal ini pun ikut disinggung oleh ulama besar pada awal abad 20, Imam Abdul Hamiid Quds, mufti dan imam Masjidil Haram Makkah dalam kitabnya “Kanzun Najah was-Suruur fil Ad’iyyati al Ma’tsuroh allati Tasyrohus-shudur” Imam Abdul Hamid mengatakan, “Banyak Wali Allah yang mempunyai kema’rifatan, ahli kasyf telah menandai bahwa setiap tahun ada 320 ribu marabahaya (Baliyyat) jatuh ke bumi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.” Banyak ulama berpendapat bahwa ayat Alquran, “Yawma Nahsin Mustamir” yang artinya “Hari berlanjutnya pertanda buruk” merujuk pada hari ini.

Imam Abdul Hamid juga memberi amalan-amalan  untuk hari rabu ini, dianjurkan melakukan shalat sunnah 4 rakaat, dua kali salam. Dengan bacaan setiap rakaatnya setelah surat alfatihah yaitu  surat al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat al-Ikhlas sebanyak 5 kali, surat al-Falaq.  surat an-Nas dibaca satu kali. Kemudian dengan setelah salam membaca do’a Asyura.

Amalan-amalan lain juga yang termaktub dalam kitab Kanzun Najah yang dinukil dari sebagian ulama yang menjelaskan perihal rebo wekasan bulan safar ini yang dikenal dengan istilah yawma nahsin mustamir yaitu disunahkan membaca surat yasin, dan setelah sampai pada ayat “salamun qowlan mirrobirrohim”,ayat tersebut diulang ulang sebanyak 313x kemudian membaca doa.

Rebo wekasan yang tahun ini bertepatan pada 6 oktober 2021, silahkan lakukan amalan tersebut pada hari tersebut, tidak juga tidak apa apa, semua bergantung keyakinan diri masing-masih. Masyarakat Cirebon sendiri percaya bahwa di bulan ini untuk tidak melakukan perjalanan jauh ataupun melakukan pekerjaan berat yang sekiranya mengundang bahaya,,wis pokoke mending ning umah bae. Dianjurkan untuk sering bersedekah dan bersilaturrahmi pada bulan ini. Hingga muncul adat atau tradisi di Cirebon yaitu ngapem (membuat kue apem) pada bulan safar.

Ngapem Wujud Simbolik Rasa Syukur

gapem sendiri berasal dari kata Apem yaitu sejenis kue yang terbuat dari tepung beras yang difermentasi kemudian karena menjadi tradisi membuat apem orang-orang biasa menyebutnya ngapem (membuat apem). Apem dicocol dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari gula jawa dan santan yang direbus. Ada juga apem yang digarang, berbentuk seperti kue dorayaki dalam kartun Doraemon. Mayoritas  masyarakat masih melestarikan tradisi ini dengan membagi-bagikan ke tetangga yang intinya adalah bersyukur (Selametan) di bulan Safar yang kita terhindar dari bala. Makna filosofis yang diambil dari Apem dan Kinca ini juga menyimbolkan juga mengingatkan kita untuk lebih memperhatikan, tetangga, kerabat dekat dan fakir miskin untuk lebih mempererat tali silaturahmi karena di bulan ini penuh dengan malapetaka.

Makna  apem itu maaf atau ampunan. Kata apem sendiri berasal dari bahasa Arab, ‘afwun yang artinya ampunan. Kata ini kemudian berubah dialek menjadi apem. Karena orang jawa yang sulit mengucap bahasa arab.

Apem juga melambangkan diri kita, pada saat kita memakannya harus di celupkan di kinca / kinco yang difilosofikan sebagai darah dan juga mengingatkan kita adanya kemungkinan diri kita akan terkena musibah. Konon juga beberapa cerita yang mengungkap bahwa tradisi ngapem ini berasal dari keraton Cirebon  yang sering membagi-bagikan apem di bulan safar, ada juga yang mengartikan apem sebagai Belanda yang harus dimusnahkan dari Cirebon dengan memasukan apem ke dalam kinca atau cairan gula jawa.

Namun lambat laun tradisi ngapem ini semakin pudar oleh dinamika zaman, akan tetapi esensinya harus tetap lestari agar kita tetap peduli pada orang lain selain diri kita sendiri, tradisi berbagi atau sedekah harus tetap terus diupayakan.

Waba’du, sebenarnya tidak ada hal hal buruk yang terjadi karena sebab-sebab tertentu,seperti datangnya hari demikian, datangnya tanda-tanda demikian atawa hal-hal lain yang bersifat mitos dan klenik.

Kita harus yakin semua yang terjadi pada diri kita (baik atau buruk) merupakan takdir dan kehendak Allah, seperti yang kita yakini dalam rukun iman yang kelima yakni meyakini bahwa qadha dan qodar, baik dan buruk itu dari Allah. Menukil penjelasan Syekh  Abdurrauf dalam karyanya Faidl al-Qadir juz 1, hal.62: “ Barang siapa meyakini mitos buruk, maka kejadian buruk itu benar-benar akan menimpanya. Barang siapa yang meyakini tidak ada yang memberi bahaya dan manfaat kecuali Allah, maka tidak akan terjadi kepadanya keburukan tersebut”.

Oleh karena itu dalam menyikapi rebo wekasan ini kita jadikan sebagai cerminan agar tetap waspada dan memperbaiki  diri akan segala kemungkinan buruk dalam hidup dengan selalu beribadah, berdoa, dan introspeksi diri.

Muhammad Nurkhotim
Muhammad Nurkhotim
Santri Pondok Pesantren APIK Kaliwungu Kendal, Alumni Pon Pes Al Hikmah 2, Mahasiswa Universitas Wahid Hasyim Semarang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.