Orang sering terheran-heran, kadang setengah tak percaya sehingga kemudian memilih meyakini teori konspirasi, ketika seseorang yang mereka lihat sebagai manusia yang baik, yang santun, dituduh sebagai teroris, atau ditangkap atas dugaan terorisme. Ada pula yang tak habis pikir bagaimana sebagian orang tak bisa berempati kepada polisi korban aksi brutal para napi di sebuah rutan dan lebih memilih berempati pada korban nun jauh di palestina yang tak punya hubungan apa-apa dengan mereka.
Ini kurang lebih menunjukkan bahwa banyak orang berasumsi bahwa altruisme bersifat umum, bahwa ketika seseorang menunjukkan indikasi mampu bersikap altruis, dia akan bersikap altruis pada semua orang tanpa kecuali.
Sebenarnya, manusia tidak dilahirkan sebagai moralis yang ulitarian, yang memberi nilai dan derajat yang sama pada semua manusia. Altruisme kita bukan tak terbatas. Toh memang kita tak mungkin membantu atau menyelamatkan semua orang. Kita sering kali harus memilih, membuat prioritas.
Dalam memilih dan membuat prioritas ini, ternyatalah bahwa kita tak memberi nilai yang sama untuk semua nyawa. Bila diberi pilihan antara menyelamatkan nyawa seorang anak yang tak dikenal dan nyawa anak kandungnya, kira-kira apa yang akan dipilih seorang individu? Apakah dia akan memberi nilai yang sama pada kedua nyawa manusia itu? Semua orangtua tahu jawabannya adalah tidak.
Apa yang membuat nyawa satu orang lebih berharga dari yang lain?
Selain hubungan darah seperti dalam kasus orangtua dan anak tadi, hal lain yang berpengaruh adalah mekanisme psikologi kelompok. Mereka yang dianggap ingroup hampir selalu dianggap lebih berharga daripada mereka yang dianggap outgroup. Tapi bagaimana benak kita memilah mana ingroup dan mana ougroup?
Salah satu ahli psikologi kenamaan dalam hal prasangka, Allport, mengatakan bahwa benak manusia secara otomatis mengategorisasi. Kategori termudah adalah berdasar yang kasat mata: warna kulit yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, etnis yang berbeda. Namun ada pula kategorisasi lain yang lebih sublim berdasar negara, ideologi, agama, atau entah fiksi apa lagi yang diciptakan benak kita.
Manusia terlahir dengan kemampuan altruisme terbatas. Seorang ibu disiapkan secara alamiah dengan bantuan hormon-hormon untuk bersikap altruis pada anak-anaknya. Rata-rata manusia pun masih mampu menunjukkan simpati dan altruisme yang alamiah pada kerabat terdekatnya.
Untuk memperluas jangkauan altruisme, diperlukan formulasi pembenaran yang untuk mudahnya akan kita sebut fiksi. Fiksi yang perlu. Fiksi yang berguna. Kita jadi merasa bersaudara dengan teman-teman satu organisasi dan mampu lebih berempati kepada mereka misalnya, atau kepada mereka yang tidak punya pertalian darah tetapi lahir dan hidup di area dalam cakupan pemerintahan yang sama, entah kampung atau negara.
Kadang jangkauan altruisme yang dimunculkan oleh fiksi berupa identitas kelompok itu bisa sedemikian luas hingga melampaui batas negara. Orang dapat berempati pada individu lain yang berbeda jenis kelamin, usia, etnis, kewarganegaraan, tetapi selama dasar altruisme atau moralitasnya adalah kategorisasi kelompok tadi, altruisme yang muncul tetaplah terbatas.
Bila dasarnya adalah identitas keagamaan, maka altruisme dan empati berhenti di garis batas agama yang berbeda.
Bila dasarnya adalah identitas kebangsaan, maka altruisme dan empati berhenti di garis batas bangsa yang berbeda.
Bila dasarnya adalah identitas politik, maka altruisme dan empati berhenti di garis batas ideologi politik yang berbeda.
Maka tidak mengherankan ada orang-orang yang terlihat baik, ramah, suka menolong pada sesamanya tetapi bisa bertindak sedemikian keji pada manusia-manusia yang mereka persepsikan sebagai berbeda, entah apa pun garis batas yang mereka tarik: ideologi politik, agama, kepentingan, atau kesukuan.
Sering kali dalam mekanisme psikologis ini, mereka yang di luar kelompok dipersepsi hanya sebagai data statistik atau sosok-sosok abstrak yang entah apa, nyaris bukan manusia.
Otak manusia penuh dengan keterbatasan. Sometimes, it is tragically so.