Rabu, April 24, 2024

Buzzer, Fake News, dan Frame

Aliurridha Alhabsyi
Aliurridha Alhabsyi
Penerjemah dan peneliti bahasa yang memiliki hobi olahraga, membaca, dan menulis. Bisa dikunjungi di https://orcid.org/0000-0003-2639-408x

Buzzer, fake news, dan frame adalah beberapa kosakata yang marak kita temukan akhir-akhir ini. Ketiganya adalah satu kesatuan yang hadir dalam politik pasca-kebenaran. Buzzer politik menggunakan fake news dalam menggiring opini dan membangun suatu wacana yang menyulut emosi publik. Beberapa kali buzzer ini mendiskreditkan pihak-pihak yang menentang kekuasaan.

Masihnya maraknya aktivitas buzzer ini semakin meresahkan saja karena setelah Pilpres 2019 berakhir masyarakat yang mengharapkan adanya ketenangan justru semakin geram. Masyarakat semakin tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah dengan banyaknya fake news dan penggiringan opini yang diproduksi oleh para buzzer poltik. Sehingga banyak yang menginginkan untuk buzzer ini bisa ditertibkan karena dianggap mengganggu kelangsungan demokrasi.

Sosial Media seringkali disalahkan sebagai penyebab hadirnya apa yang disebut sebagai era pasca-kebenaran. Hoaks dan fake news yang diproduksi buzzer menggunakan sosial media dianggap sebagai penyebab datangnya zaman ini. Namun menurut Harari, manusia sebenarnya selalu hidup dalam era pasca-kebenaran. Pasca-kebenaran bukanlah barang baru yang hadir karena lahirnya sosial media namun sesuatu yang sudah hadir jauh sebelum itu.

Bagaimana Fake News Bekerja?

Harari menjelaskan sejak zaman batu manusia telah berhasil membangun berbagai fiksi yang digunakan untuk menyatukan manusia. Bahkan, menurutnya hal inilah yang membuat manusia berhasil berdiri di puncak rantai makanan dan menaklukan dunia. Fiksi ini dibranding dengan cara menceritakan secara berulang-ulang sampai manusia meyakini bahwa ini kebenaran.

Dengan menggunakan konsep yang sama fake news diciptakan. Keduanya memiliki tujuan, jikalau fiksi bisa digunakan untuk tujuan yang baik namun fake news biasanya digunakan untuk  mendapatkan keuntungan dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya.

Harari memberikan contoh bagaimana Coca-cola yang menjadi sponsor untuk acara olahraga seringkali disalahtafsirkan sebagai minuman sehat. Padahal meminum Coca-cola justru akan membuatmu overweight hingga menderita diabetes. Karena yang menjadi model iklan seringkali adalah atlit muda dan sehat menanamkan gambaran dalam pikiran penonton seolah-olah Coca-cola adalah minuman sehat.

Fake news hanya bisa bekerja jika informasi cocok dengan frame. Dalam bukunya Don’t Think of An Elephant, Lakoff (2014) menjelaskan bahwa otak manusia tidak bekerja dengan memproses informasi berdasarkan fakta dan hanya jika informasi cocok dengan frame maka informasi bisa diterima. Karena itu perlu apa itu frame dan bagaimana frame bekerja?

Frame adalah struktur mental yang membantu manusia untuk memproses informasi. Informasi hanya bisa diterima jika dia cocok dengan frame. Jika informasi tidak cock dengan frame maka informasi akan ditolak, meskipun informasi tersebut merupakan fakta. Sebagai contoh frasa “keringan pajak” yang digunakan George W. Bush ketika dia terpilih menjadi presiden yang mana diulang-ulang olehnya maupun timnya sebagai bahan kampanye untuk 4 tahun ke depan.

Ketika kata “keringanan” ditambahkan ke kata “pajak” akan menghasilkan metafora “pajak adalah beban”. Sehingga siapapun yang memberikan keringan pajak ini adalah pahlawan, dan siapapun yang akan menghentikan pahlawan ini adalah penjahatnya. Ini adalah frame yang muncul dari frasa “keringan pajak”. Hasilnya banyak dari masyarakat Amerika dengan senang hati menerima kebijakan Bush, karena tidak seorangpun suka membayar pajak meskipun faktanya tidak banyak orang yang bisa mendapatkan keringan pajak ini.

Menertibkan Buzzer

Pemerintah sampai saat ini masih mengandalkan Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai alat untuk memukul para buzzer. Namun sampai saat ini UU ITE justru lebih sering digunakan untuk menyerang buzzer dari pihak oposisi. Apakah UU ITE bisa digunakan untuk memukul mundur para buzzer yang mendukung kekuasaan?

Meski Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menilai perlunya menertibkan buzzer karena dirasakan justru lebih banyak dekstruktif. Para buzzer pro pemerintah kini dirasakan lebih merugikan ketimbang menguntungkan. Para buzzer yang memberikan informasi yang tidak diverifikasi kemudian menghapus informasi tersebut. Aktifitas yang dilakukan para buzzer ini justru membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menurun.

Sebut saja dua blunder besar para buzzer ini, yang pertama adalah mengatakan ambulans milik Pemprov DKI Jakarta menyuplai batu dan bensis untuk para demonstran yang kemudia hari terbukti tidak benar. Yang kedua adalah penyebaran tangkap layar grup WhatsApp anak STM yang setelah diselidiki oleh netizen dan wartawan justru dimiliki oleh aparat kepolisian.

Namun tentu saja menertibkan buzzer tidak akan mudah karena buzzer tidak selamanya digerakkan oleh uang semata ada juga yang digerakkan karena faktor ideologis. Ideologi seperti halnya kepercayaan membawa manusia untuk mempercayai bahwa apa yang mereka lakukan benar, bahwa apa yang mereka lakukan bermakna.

Menertibkan buzzer sepertinya akan susah dilakukan karena buzzer juga tidak selamanya dalam satu komando. Tidak semua buzzer digerakkan oleh uang, ada yang bergerak karena kesamaan ideologi yang diperjuangkannya. Menggunakan UU ITE untuk memukul mundur para buzzer sepetinya akan susah dilakukan apalagi dengan kecurigaan keterlibatan aparat kepolisian.

Selain itu Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga secara tegas mengatakan bahwa pihaknya tidak memberikan perhatian khusus terhadap aktifitas buzzer, yang mana hanya memantau apa yang telah dilakukan. Jadi apa yang harus dilakukan masyarakat?

Solusi yang bisa diambil masyarakat adalah memahami bahwa semua aktifitas yang muncul di sosial media maupun media arus utama memiliki kepentingan. Baik itu kepentingan politik, ekonomi, maupun ideologi. Karena itu masyarakat harus kritis dalam memilah informasi. Melihat rekam jejak pemberi informasi menjadi penting.

Untuk mencegah produksi fake news dan menjaga keberimbangan informasi maka masyarakat dihimbau untuk jangan terburu untuk menyebarkannya. Karena fake news dibuat oleh orang yang memiliki kepentingan, disebarkan oleh orang bodoh, dan diterima sebagai kebenaran oleh orang idiot.

*Sumber Gambar: www. suarausu.co

Aliurridha Alhabsyi
Aliurridha Alhabsyi
Penerjemah dan peneliti bahasa yang memiliki hobi olahraga, membaca, dan menulis. Bisa dikunjungi di https://orcid.org/0000-0003-2639-408x
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.