Dalam sebuah seri diskusi, seorang akademisi pernah mengucapkan bahwa perempuan sebagai proletarnya proletariat. Lebih lanjut diterangkan, bila si buruh lelaki diartikan sebagai seorang yang tergilas oleh sebuah tatanan sistem tidak adil, maka istri dari lelaki tersebut ialah seorang yang mengalami ketertindasan ganda dari sistem tersebut.
Diabstaraksikan pula ketika adanya seorang buruh laki-laki yang di PHK oleh perusahaan, dalam situasional tertentu, berujung pada kekerasan rumah tangga ataupun tindakan lain yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek pelampiasan frustasi yang dialami. Ibarat sebuah pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah tafsiran potret dari penamaan proletarnya proletariat.
Mirisnya, saat situasi demikian terjadi, negara sebagai lembaga yang didirikan untuk mewujudkan keadilan, absen dalam melindungi perempuan tersebut. Terlebih pula, bila hal tersebut disebabkan oleh ketidakcukupan sistem hukum negara untuk mempanyungi dan memberi sanksi dari tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan. Kondisi tersebutlah yang hari-hari ini menjadi perbincangan sekaligus perjuangan oleh gerakan masyarakat sipil yang berupaya menghadirkan keadilan bagi para korban (perempuan) yang mengalami kekerasan seksual.
Sejak tahun 2012 (ketika gagasan muncul), manifestasi gerakan itu terlihat hingga saat ini salah satunya ialah upaya mendorong RUU penghapusan kekerasan seksual yang masih berada pada jalan yang berliku. Adapun pada dasarnya gagasan inti dari RUU tersebut terbit sebagai respon atas kejahatan terhadap perempuan yang kian marak terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Namun belum ada payung hukum yang cukup komprehensif untuk memberi sanksi pada pelaku. Alhasil, tidak jarang tindakan kekerasan seksual menyebar, pelaku lepas begitu saja dan korban, terkadang terbalik menjadi seorang “pelaku” dalam sebuah case tertentu. Oleh karena itu, atas kesadaran akan “ruang kosong” inilah maka RUU PKS dihadirkan untuk mengisi dan harus segera diwujudkan. Sebelum itu, mari kiranya membuka soal yang setahun ini ramai diperbincangkan terkait isu kekerasan seksual terhadap perempuan.
Realitas Dalam Masyarakat
Jika merujuk pada realitas yang terjadi di masyarakat. Baru-baru ini tersiar kabar terjadinya pelecehan seksual di BPJS Ketenagakerjaan. Dina (nama samaran) yang bekerja sebagai sekertaris pribadi dewan pengawas BPJS TK, diminta menandatangani surat PHK sejak 5 Desember 2018.
Surat tersebut ialah keputusan yang diberikan oleh ketua Dewan Pengawas BPJS TK atas laporan Dina yang mengungkapkan bahwa, bosnya memaksa ia berhubungan seksual sebanyak empat kali dan juga melakukan pelecehan seksual secara verbal dan non-verbal (Tirto.od, 28 Desember 2018). Peristiwa tersebut memberi gambaran, artinya ada sebuah “relasi kuasa” yang melahirkan sebuah ketidakadilan. Dengan kata lain, memakai kekuatan dari “kekuasaan”, dalam hal ini jabatan, sebagai alat untuk memproduksi ketidakadilan sekaligus menyembunyikan kejahatan.
Hal serupa pula dialami ibu Baiq Nuril, seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban pelecehan seksual, namun bak jatuh tertimpa tangga, ia divonis bersalah oleh Mahkamah Agung karena melanggar UU ITE. Ibu Nuril dianggap sebagai perusak nama baik karena merekam percakapan telepon dari kepala sekolah SMAN 7 Mataram Muslim yang diduga memuat unsur pelecehan verbal dan menyebarkannya.
Meski yang menyebarkan ialah rekannya yang bernama Imam kepada Dinas Pendidikan dan DPRD setempat (Tirto, 15 November 2018). Dapat dicermati, apa yang dialami ibu Nuril ialah akibat atas ketidakcukupan definisi pelecehan seksual yang sifatnya verbal dalam kitab UU, membuat seorang ibu, 40 tahun, menjalani penjara selama enam bulan dan denda 500 juta. Belum lagi beban sosial yang juga diterima oleh keluarga.
Bila berbasis pada data yang dilaporkan oleh Komnas Ham Perempuan, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus, naik drastis di tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus. Adapun penyebabnya ada pada, ketimpangan relasi kuasa, kuatnya budaya patriarki, pembiaran oleh masyarakat, dan penegakan hukum yang lemah (Tempo, 6 Desember 2018).
Itu artinya, soal kekerasan seksual bukanlah wacana yang biasa, data dan realitas yang terjadi telah mengkonfirmasi untuk dikuantifisir sebagai situasi “darurat”. Darurat menandakan penangan harus segera dilakukan karena statusnya menjadi penting dan genting. Oleh karena itu RUU PKS kian didorong untuk disahkan.
Mengapa RUU PKS penting?
Point dasar menurut penulis, mengapa RUU ini diperlukan meski sudah ada UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, KUHP, UU Tentang Perkawinan, dan lain-lain, ialah karena adanya pemaknaan frasa “kekerasan seksual” yang baru ataupun berbeda. Sebab itu, mesti ada perumusan ulang jenis kekerasan seksual sebagai tindak pidana dan penetapan beberapa unsur-unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, setidaknya ada 9 hal, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Dalam Sistem Hukum Indonesia hingga saat ini, definisi kekerasan seksual ditempel akan adanya unsur kekerasan dalam sebuah kasus, bersifat fisik. Dengan pemaknaan demikian, realitas seperti yang dialami oleh ibu Nuril dan Dina tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual karena tenden bersifat verbal. Namun bila mengambil perpesktif dari RUU PKS, apa yang dialami dua perempuan tersebut tergolong pelecehan seksual, salah satu point dari kekerasan seksual. RUU PKS jauh lebih memadai sekaligus memberikan edukasi baru pada masyarakat bahwa kekerasan seksual bukan hanya bersifat fisik melainkan juga non fisik.
Misalnya batasan definisi perkosaan (dalam KUHP) yang mensyaratkan adanya penetrasi (hubungan antara penis dan vagina) dengan pemaksaan. Maka kemungkinan korban yang mengalami “kekerasan seksual” dalam kondisi dibius ataupun tidak sadar menjadi soal menohok yang tidak mungkin bisa diakomodir oleh hukum di Indonesia. Seperti apa yang pernah terjadi di Gorontalo (2012) ketika seorang pacar yang mencekik pacarnya hingga tidak sadarkan diri, lalu disetubuhi. Ujungnya, hakim tidak menemukan unsur kekerasan dari hasil visum vagina korban. Lalu, apakah keputusan demikian dapat dikatakan adil? Atau sebaliknya?
Adapun sudut pandang RUU PKS serupa dengan definisi UN Women yang mengatakan bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan pemaksaan seksual yang bertentangan dengan kemauan orang lain, baik tanpa persetujuan korban atau tidak dapat memberikan persetujuan, karena ia seorang anak penyandang disabilitas mental, atau dalam keadaan tak sadar akibat pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang. Bentuk kekerasan seksual beragam pula, yakni pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual, percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, pemaksaan hubungan seksual pada pasangan, pemaksaan untuk terus melahirkan, sampai pemaksaan hubungan seksual dengan tujuan komersial. (Kumparan, 29 Januari 2018).
Dari sekadar “isu”, masuk ke formulasi kebijakan, melahirkan kebijakan, hingga kebijakan tersebut diimplementasikan lalu di evaluasi, begitulah kebijakan diolah secara umum. Dalam menghasilkan kebijakan pula perlu memperhatikan konteks (lingkungan) dan konten (isi) dimana kebijakan tersebut akan dioperasionalkan. Jika diuraikan berdasarkan gambaran di atas, proposisi RUU PKS dari segi konteks dapat diterangkan melalui kejadian yang dialami ibu Nuril dan Dina, kendati itu 2 dari beberapa kasus yang dilaporkan, belum lagi yang tidak dilaporkan. Sedangkan dari konten, sudah cukup jelas dari redefinisi frasa kekerasan seksual yang menjadi lebih kompleks. Sehingga perangkat hukum dapat menyentuh persoalan seperti yang dialami ibu Nuril dan Dina, yang dalam aturan saat ini belum dapat diakomodir.
Terakhir, persoalan di atas bukanlah persoalan kekerasaan seksual semata, namun juga menjadi persoalan HAM yang melekat pada tubuh perempuan. Artinya, respon pemerintah sangat ditagih untuk memberikan tanggapan yang cepat. Sikap menunda tentu sama dengan negara menginginkan apa yang dialami ibu Dina dan Nuril berlipat ganda dalam kehidupan masyarakat. Negara harus tegas. Penulis memahami bahwa rezim ini memiliki catatan merah menyikapi kasus HAM dalam beberapa tahun ini dan pemerintah tinggal memilih, ingin menghentikan rapor merah tersebut atau malah memperpanjangnya. Dengan kata lain, bila yang terakhir terjadi, potensily rezim ini semakin bengis. Sahkan RUU PKS! Salam.