Sabtu, April 27, 2024

Siapa Penguasa KPK Sebenarnya?

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial

Siapa yang sebetulnya berkuasa di Komisi Pemberantasan Korupsi?

Alexander Marwata, Komisioner KPK 2015-2019, yang mengikuti tes Calon Pimpinan KPK 2019-2023 pernah bercerita. Dia pernah ditolak penyidik hanya untuk melihat berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebuah kasus.  Padahal, katanya, surat perintah penyidikannya ditandatangani oleh pimpinan.

Eh, begitu BAP, dia tidak diperbolehkan mengakses dokumen.

Tentu saja aneh. Masak anak buahnya bisa punya kewenangan yang begitu luar biasa sampai hasil kerjanya enggak boleh dilongok pimpinannya sendiri. Seolah kekuasaan penyidik jauh lebih tinggi ketimbang kekuasaan komisioner.

Masalahnya, SOP (standard operating procedure) di KPK, kata Alexander, tidak terlalu detail dan lengkap. Banyak bolongnya. Nah, bermodal SOP yang bolong itulah sebagian karyawan seolah punya wewenang jauh melebihi komisioner. Mereka menguasai lembaga antirasuah itu.

Memang komisioner berganti setiap empat tahun. Tapi, karyawan KPK bisa duduk di posisinya dalam waktu lama. Aturan kepegawaian KPK, kabarnya, juga enggak jelas. Apakah pegawai KPK ikut aturan aparatur sipil negara (ASN) yang usia pensiunnya ditentukan oleh UU. Atau ikut aturan pegawai BUMN?

Nyatanya banyak pegawai KPK yang sudah melampaui usia pensiun ASN tetap dipergunakan. Demikian juga dengan hak dan kewajibannya, standarnya tidak sama dengan lembaga pemerintahan lain.

Dalam urusan mengatur karyawan, KPK seperti lembaga tersendiri yang tidak mengacu ke mana-mana. Seolah lembaga ini begitu spesialnya hingga dalam soal aturan kepegawaian juga berbeda dengan lainnya. Entahlah, kita tidak tahu bagaimana sistem renumerasi dan sebagainya.

Problem SOP juga yang tampaknya menjadi ihwal konflik di internal KPK.

Karena ketidakjelasan SOP, ada kabar perekrutan penyidik tanpa prosedur yang jelas. Demikian juga dengan pergeseran posisi yang banyak ditengarai hanya menguntungkan satu kelompok sambil menyingkirkan kelompok lainnya. Problem inilah yang kemudian mencuatkan isu bahwa di dalam tubuh KPK ada kelompok Taliban ada juga polisi India.

Kelompok polisi India tersingkir. Sementara kelompok Taliban berhasil menancapkan kukunya sangat dalam di KPK. Modalnya adalah SOP yang banyak bolongnya itu.

Jadi, jangan kaget jika dalam proses seleksi capim KPK sekarang ini karyawan KPK ikut bermain. Mereka menolak calon tertentu sambil menjadi “tim sukses” calon lainnya. Mereka juga mengkritik panitia seleksi yang dimandatkan Presiden Jokowi. Padahal mereka yang duduk sebagai Panitia Seleksi Capim KPK ini adalah orang-orang yang sejak dulu pasang badan membela KPK sebagai lembaga.

Tapi, begitu hasil panitia seleksi tidak sesuai dengan kepentingan kelompok karyawan yang menguasai KPK, panitia seleksi juga kena hajar.

Artinya, siapa saja yang dianggap melawan kepentingan penguasa KPK ini, mereka akan disudutkan sebagai pembela koruptor. Atau menentang memberantasan korupsi. Sebuah stigma yang tentu saja buruk. Sepertinya yang suci hanya mereka yang mendukung kepentingan kelompok penguasa KPK itu.

Seperti biasa, suara karyawan dianggap mewakili KPK sebagai lembaga. Jadilah isu save KPK digaungkan. Padahal mungkin saja sesungguhnya yang mau di-save adalah hanya kepentingan kelompok karyawan yang sudah begitu menggurita menguasai lembaga antikorupsi itu.

Bahkan untuk kompetisi pemilihan capim KPK, mereka mendengungkan lagi isu Cicak vs Buaya. Mereka mau mengkapitalisasi kenaifan rakyat agar berdiri berderet lagi di belakangnya. Seperti beberapa tahun lalu.

Rakyat yang naif membela para pejuang antikorupsi. Padahal, ini hanya soal gaya tim sukses calon pimpinan KPK yang prosesnya sedang berlangsung.

Calon pimpinan yang didukung tentu yang “nurut” pada karyawan KPK. Sebab, kekuasaan komisioner enggak boleh melebihi penguasa KPK sesungguhnya. Wong, sekadar menengok BAP saja dihalangi.

Atau seperti yang pernah ditengarai berbagai kalangan: kelompok Taliban yang menguasai KPK sekarang hendak menjegal masuknya orang yang dianggap bisa menghambat gerak mereka.

Kita wajib menjaga marwah KPK. Kita harus menjaga lembaga ini dari dominasi satu kelompok. Apalagi jika ternyata kelompok itu juga punya orientasi politik.

Buktinya Prabowo pernah bicara, Novel Baswedan  adalah calon jaksa agungnya. Dan kita tahu ke mana afiliasi penguasa KPK ini bermuara.

Baca juga

Radikalisme dalam Tubuh KPK

Menjawab Radikalisme di Tubuh KPK

Denny Siregar dan Usaha Merobohkan Independensi KPK

Pak Jokowi, KPK Menjemput Maut

Awas! Ada Musang Pro Koruptor Di KPK

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.