Presiden Joko Widodo baru saja menginstruksikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi untuk “merevisi” batas atas harga tes PCR, dari yang semula sebesar Rp 900.000 menjadi “hanya” sebesar Rp 400.000- Rp 550.000. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat, sebab dengan harga PCR yang lebih murah akan mengurangi beban masyarakat yang harus melakukan tes PCR untuk berbagai kegiatan.
Penurunan harga juga berdampak baik pada penanganan dan pengendalian pandemi di Indonesia, sebab asumsinya semakin terjangkau harga tes PCR semakin memungkinkan masyarakat dari berbagai kelompok untuk melaksanakan tes PCR secara mandiri, hal ini akan membantu kita untuk mengendalikan rantai virus dimasyarakat.
Instruksi Presiden tidak tiba-tiba
Instruksi Presiden untuk menurunkan harga tes PCR seharusnya tidak terlalu mengejutkan publik, sebab sebelum presiden mengumumkan penurunan harga tes pcr kritik publik telah banyak dilayangkan terkait mahalnya harga tes pcr di Indonesia.
Beberapa hari ke belakang media massa telah dipenuhi kritik tokoh publik atas mahalnya biaya tes PCR di Indonesia, bahkan harga PCR di Indonesia sempat dibanding-bandingkan dengan India, yang mana saat itu harga tes pcr di Indonesia hampir mencapai 10X lipat dari harga tes PCR di India.
Kritik mengenai harga PCR sebenarnya sudah muncul jauh sebelum derasnya kritik publik akhir-akhir ini, misalnya saja pada bulan Juni Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menyatakan bahwa harga tes PCR di Indonesia masih terlalu mahal dan dianggap membebani kelompok berpenghasilan rendah.
Jauh sebelumnya kritik serupa pernah dilayangkan, tepatnya pada Oktober 2020 Epidemolog UI Pandu Riono telah melayangkan kritik mengenai harga PCR yang dianggap terlalu mahal, bahkan Pandu Riono berharap agar harga tes PCR bisa seharga Rp 200.000. Tetapi kritik PCR yang lalu tidak sederas akhir-akhir ini, yang lalu kritik hanya disampaikan oleh sejumlah pakar, sehingga riuh kritiknya kurang terdengar bagi publik.
Kritik demi kritik publik inilah yang rasanya menjadi dasar Presiden mengeluarkan instruksi terbaru agar harga tes PCR bisa diturunkan di kisaran Rp 400.000- Rp 550.000 . Wajar bila masyarakat berprasangka bahwa banjir kritiklah yang menyebabkan pemerintah “merevisi” harga PCR yang selama ini dianggap terlalu mahal, sebab sebelum masyarakat secara beramai-ramai melayangkan kritik tentang tingginya harga tes PCR sekedar isu perubahan harga PCR saja tidak pernah terdengar, apalagi sampai terealisasi.
Masih efektifkah kritik publik?
Tidak bisa dipungkiri bahwa publik saat ini merasa pesimis dalam mengkritik pemerintah, selain karena ada anggapan kritik masyarakat kurang didengar oleh pemerintah, kini publik juga dibenturkan sejumlah pasal karet yang dianggap mengekang kebebasan kritik, hal ini tidak jarang menimbulkan ketakutan di publik dalam melancarkan kritik pada pemerintah, ditambah beberapa kasus ada mereka-mereka yang kritis justru menjadi korban doxing di sosial media.
Khusus untuk publik yang merasa kurang didengar kritiknya tidak lepas dari sejumlah kebijakan pemerintah yang terkadang kurang sesuai dengan kritik maupun aspirasi publik, misalnya yang baru-baru ini terjadi yaitu pemberhentian sejumlah pegawai “inti” KPK akibat diadakannya TWK, yang mana publik beramai-ramai mengajukan kritik pemberhentian pegawai KPK kepada pemerintah.
Tetapi seperti kita tahu kritik publik tidak membawa banyak perubahan, sejumlah karyawan tetap harus berhenti menjalankan tugas di KPK. Belum lagi banyak masyarakat mengeluhkan PPKM yang terus menerus diperpanjang, mereka mengeluhkan mengenai perpanjangan PPKM yang seakan tiada akhir.
Perlu kita sadari bahwa kekecewaan publik merupakan bagian dari risiko demokrasi, harus kita akui masih begitu banyak kritik publik lainnya baik dimasa pandemi maupun sebelum pandemi yang tidak bisa sepenuhnya diakomodir oleh Pemerintah.
Tapi bila kita mencoba untuk “berdewasa”, maka kita akan memahami bahwa tidak setiap kritik publik dapat dijalankan oleh Pemerintah, sebab di dalam demokrasi ada begitu banyak aspirasi dan kritik sehingga tidak semuanya dapat diserap oleh pemerintah. Jika kita mencoba untuk objektif maka memang benar masih ada kritik publik yang tidak bisa diakomodir oleh pemerintah dalam membuat kebijakan, tetapi tidak bisa dipungkiri ada juga kritik publik yang dilayangkan kepada pemerintah yang akhirnya berhasil mengubah kebijakan yang dibuat pemerintah.
Misalnya bila kita tarik jauh ditahun 2018 kritik publik berhasil membuat Presiden membatalkan rencana kenaikan BBM, kemudian ada juga kebijakan Kemendikbud yang membatalkan rencana dana hibah ke Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation di periode Juli tahun lalu akibat kritik sejumlah Ormas Islam dan PGRI terhadap kebijakan Kemendikbud.
Bila kita kembali ke masa saat ini, maka dapat kita lihat bahwa sejumlah kebijakan PPKM yang dibuat oleh pemerintah selama ini telah banyak disesuaikan dengan kritik masyarakat. Misalnya saja tempat ibadah yang bisa beroperasi dengan pengurangan kapasitas, hingga warung makan yang kembali diperbolehkan makan di tempat, maupun berbagai penyesuaian lain yang dilakukan untuk mengurangi dampak ekonomi pada UMKM dimasa PPKM. Hal-hal tersebut menunjukkan kritik masih efektif dalam mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah.
Publik harus tetap mengkritik
Publik masih memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kritik pada pemerintah, walaupun kritik publik tak selalu direspons oleh pemerintah, tetapi yang perlu disadari bahwa kritik publik tetap penting dalam demokrasi Indonesia, sebab kritik yang dilakukan publik setidaknya dapat mengontrol pemerintah agar tetap sesuai jalur demokrasi.
Melihat pemerintah yang merespons positif kritik masyarakat mengenai harga tes PCR menjadi momentum untuk masyarakat tidak ragu untuk menggunakan hak kritiknya pada pemerintah, dengan demikian kebijakan demi kebijakan pemerintah akan semakin mendekati harapan publik.
Refrensi:
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5682838/jokowi-minta-tes-pcr-turun-jadi-rp-450-rp-550-ribu-hasil-keluar-1×24-jam
https://nasional.tempo.co/read/1494767/jokowi-instruksikan-hasil-tes-pcr-bisa-diketahui-maksimal-1×24-jam
https://amp.kontan.co.id/news/pengamat-tes-pcr-dengan-harga-sekitar-rp-800000-masih-sangat-mahal
https://m.bisnis.com/amp/read/20201004/106/1300413/epidemiolog-ui-harapkan-harga-tes-swab-covid-19-cukup-rp200000